• Cerita
  • Gugatan Petani dalam Lakon “Bedol Desa Ode Tanah II”

Gugatan Petani dalam Lakon “Bedol Desa Ode Tanah II”

Lakon teater “Bedol Desa Ode Tanah II” garapan komunitas Celah-Celah Langit (CCL), Bandung, mengingatkan peran penting petani, profesi yang dilupakan.

Adegan dalam teater dengan lakon Bedol Desa Ode Tanah II garapan komunitas Celah-Celah Langit (CCL) di Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Rabu (5/10/2022) sore. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Virliya Putricantika6 Oktober 2022


BandungBergerak.idSuara derap kaki dan derai tawa ratusan anak-anak sekolah memecah suasana Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Rabu (5/10/2022) sore. Rintik hujan semakin mempercepat langkah mereka untuk mencapai gedung kesenian di kawasan Bandung utara itu, tempat akan dilangsungkannya teater “Bedol Desa Ode Tanah II” garapan komunitas Celah-Celah Langit (CCL).

Gedung pertunjukan pun segera penuh. Anak-anak sekolah tadi membaur dengan rombongan yang dibawa CCL. Lampu yang dimatikan tidak memberi celah cahaya masuk di antara kursi-kursi yang sudah terisi penuh.

Tahun ini untuk partama kalinya kelompok teater yang didirikan seniman Iman Soleh itu bisa menggelar teater di dalam gedung. 

Dua pemain, laki-laki dan perempuan, masuk ke area panggung. Mereka berdiri di atas jerami. Keduanya berbicara soal hakikat hewan, tumbuhan, manusia, dan perofesi petani.

Mereka mempersoalkan pekerjaan yang dilakoni petani, profesi yang sering dianggap hanya bekerja di ladang dan sawah. Pekerjaan mereka hanya diangap sekadar memanen beras. Tetapi nyatanya mereka memegang peranan penting bagi masa depan generasi penerus bangsa Indonesia.

Anggapan itu tidak hanya muncul dari anak-anak sekolah yang tidak memiliki keinginan menjadi petani. Pemerintah pun masih menganggap sebelah mata pada profesi tani. Nyatanya, petani yang pada dasarnya sudah tau bagaimana cara menanam, merawat, dan memanen, justru diberi pelatihan oleh individu yang dipercaya pemerintah sebagai ahlinya. Ini terlihat dalam program pemerintah provinsi Jawa Barat bertajuk Petani Milenial.

Pembangunan berkelanjutan demi memajukan bangsa dijadikan kedok ketamakan penguasa. Pembangunan justru mengorbankan lahan pertanian. Seolah kehidupan yang indah akan datang setelah menghilangkan lahan-lahan.

Penghilangan-penghilangan lahan akan menimbulkan kematian, bukan kehidupan, seperti digambarkan adegan di atas panggung di mana para pemain teater berlari di tempat seraya memegang bambu. Perjalanan waktu membuat lari mereka semakin cepat. 

“Mau ke mana?” pertanyaan itu menghentikan lari mereka, seakan tersadar bahwa mereka sedang mengejar hal yang tak kungjung digapai. Mengorbankan mimpi.

Dialog terus diteriakkan. Pemikiran-pemikiran kritis dilontarkan dalam kalimat dikeluarkan indah seolah bukan sindiran.

Mereka menyindir fenomena yang terjadi di masa pandemi. Banyak generasi muda yang hanya berfokus pada pendidikan. Mengejar mimpi untuk bekerja di kantoran. Tapi profesi petani dilupakan.

Pada adegan berikutnya, laung dua pemain perempuan memenuhi gedung. Mempertanyakan diri sendiri yang tidak dapat dikenali. Bagi mereka peradaban bergerak mundur. Realitas pengetahuan saat ini hanya dinilai sebatas jarum suntik.

Dentuman musik yang mengiringi gerak para pemain membuat para penonton terpana. Permainan cahaya yang tidak berlebihan semakin membuat penonton tenggelam dalam cerita.

Nasib petani begitu kuat menguasai alur cerita teater yang disutradarai seniman Iman Soleh ini. Pada adegan berikutnya, seorang pemain membawa layang-layang berwarna merah. Dia berkeliling mengitari panggung seakan mewakili perasaan marah yang ingin disuarakan dan berakhir dengan tanya.

“Bagaimana kami tak cinta? Nenek moyang kami rela menjadi debu yang diinjak dalam sejarah penjajahan,” ucap lelaki yang membawa layang-layang berbentuk burung merah itu.

Negeri yang katanya agraris ini mulai kehilangan sawahnya. Bangsa maritim yang kapalnya tidak lebih banyak dari jumlah partai. Pembangunan yang tidak semua lapisan masyarakat dapat merasakan itu hanya dimiliki para pemilik modal.

Nyatanya hal itulah yang membuat anak-anak muda pergi ke kota, meraih pendidikan yang tinggi, dan enggan pulang ke kampungnya. Para petani yang tidak mendapat jaminan apa pun dari pemerintah semakin membuat profesi ini ditinggalkan.

Di satu sisi, angka-angka yang menjadi identitas masyarakat makin melekat. Mereka berlomba beradaptasi dengan dunia digital, tapi melupakan dari mana mereka berasal.

Namun di sisi lain, negeri ini mengalami krisis pangan, kebutuhan pokok masyarakat mengandalkan impor dari luar negeri.

Adegan penutup teater “Bedol Desa Ode Tanah II” disambut tepuk tangan meriah dari para penonton. Pesan yang disampaikan lakon berdurasi 60 menit ini mewakili suara kekinian.

“Isu-isu yang disampaikan dalam pertunjukan ini sampai (ke penonton), kalau buat aku relate gitu, jadi secara keseluruhan pertunjukannya keren,” cerita Devi (24), setelah menonton pertunjukan “Bedol Desa Ode Tanah II”, kepada BandungBergerak.id.

Baca Juga: Janji dan Pengkhianatan dalam Lakon Sokasrana
Jabang Tutuka dalam Balutan Wayang Wong di ISBI Bandung
Mebedah Karakter Keras Srikandi dalam Tarian Perang Bharatayudha

Para pemain dan kru teater CCL berjudul Bedol Desa Ode Tanah II di Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Rabu (5/10/2022) sore. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Para pemain dan kru teater CCL berjudul Bedol Desa Ode Tanah II di Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Rabu (5/10/2022) sore. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Mengoptimalkan Panca Indra

Lakon “Bedol Desa Ode Tanah II” berangkat dari pengamatan tim penyusun naskah yang melibatkan 24 pegiat. Dari 100 anak yang tinggal di kota dan ditanyai soal profesi petani, tidak ada di antara mereka yang ingin menjadi petani.

Latar belakang ini jelas miris dan memprihatinkan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mestinya bukan menyisihkan pertanian.

“Tinggal bagaiman cara kamu mengabdikan diri dengan tekun, sabar, tulus, ikhlas dengan sejumah kejujuran yang tidak ada kurikulumnya di perguruan tinggi,” kata Iman Soleh.

“Anak-anak diajak untuk memperhatikan sekitarnya yang paling dekat dengan mereka, apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, mempertajam panca indra sebenarnya latihan itu menjadi penting dan menghayati keadaan sosialnya” jelas Iman Soleh, yang menceritakan proses kreatif yang dilalui dalam produksi “Bedol Desa Ode Tanah II”.

Iman Soleh telah menekuni seni teater sejak tahun 1985. Waktu itu ia baru lulus dari bangku sekolah menengah atas. Melalui jalan seni ia memutuskan untuk mengkritisi hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitar.

Sejak 20 tahun lalu, tepatnya pada 22 Mei 1998, ia mendirikan komunitas Celah Celah Langit. Melalui komunitas ini ia mengajak para pemuda di sekitarnya untuk berkesenian lewat seni teater. Saat ini Iman Soleh berusia 56 tahun dan duduk sebagai Direktur Artistik CCL. Seni-seni lakonnya akan terus kritis.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//