PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #17: Persis Menggelar Sunatan Massal
Khotbah Idul Adha yang diselenggarakan Persis disampaikan oleh mentor Sukarno saat berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng, Charles Prosper Wolff Schoemaker.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
20 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Tanggal 28 Februari 1936 bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha untuk mayoritas masyarakat muslim di Hindia Belanda. Lazimnya, seluruh umat Islam merayakan hari besar ini dengan menyembelih hewan kurban, usai melakukan ritual salat ied berjamaah. Bersamaan dengan ini, Pengurus Besar Persis di Bandung memanfaatkan momen hari raya tersebut dengan menggelar aksi sosial sunatan massal.
Di samping itu, khotbah dan salat Idul Adha yang digelar di tempat Pengurus Persis di Bandung pun berlangsung tidak seperti biasanya. Pada masa Idul Adha sebelumnya, para mubalig dari Persis selalu bertugas sebagai imam dan khatib. Namun kali ini khotbah diisi oleh arsitek ternama sekaligus mentor Sukarno saat berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), yakni Profesor Charles Prosper Wolff Schoemaker. Memang di masa-masa itu, Schoemaker telah menjadi mualaf. Bahkan sebagai muslim ia menambah namanya menjadi Kemal Charles Prosper Wolff Schoemaker.
Dalam majalah Al-Lisaan nomor 4, 27 Maret 1936, terdapat informasi tentang para mubalig yang mendapat tugas sebagai penceramah Idul Adha di cabang-cabang Persatuan Islam. Salah satunya ialah Profesor Wolff Schoemaker. Dalam majalah itu disebutkan bahwa Profesor Schoemaker Kamal menjadi khotib di Bandung dengan menggunakan bahasa Sunda. Meski tidak dijelaskan secara spesifik di mana ceramah itu berlangsung, informasi mengenai Wolff Schoemaker termuat dalam ruang khusus sebagai rubrik utama terkait seluruh berita kegiatan tablig para pengurus Persis. Dengan kata lain, khotbah Idul Adha itu berlangsung di antara para anggota dan pengurus Persis di Bandung. Karena informasi ini ditampilkan bersama dengan laporan tablig Persatuan Islam Cabang Bandung.
Charles Prosper Wolff Schoemaker memang telah beragama Islam jauh sebelum berkhotbah di tengah anggota dan pengurus Persis itu. Menurut catatan C.J. van Dullemen (2018), sejak tahun 1915 Schoemaker telah meninggalkan agama Katolik dan memeluk agama Islam. Nama Kamal tersebut merupakan nama kehormatan dari teman sesama muslimnya. Bahkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh M. Natsir yang berjudul Cultuur Islam (1937), Schoemaker memberikan kata pengantar dengan menggunakan nama Prof. Kemal C.P. Wolff Schoemaker sebagai Ketua Muda dari Persatuan Islam Barat. Hal ini juga mengindikasikan jika Schoemaker mempunyai kedekatan dengan aktivis Persis di Bandung. Meskipun tidak dapat dipastikan jika ia termasuk sebagai anggota Persis.
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #14: Persis Menerbitkan Majalah Berbahasa Sunda At-Taqwa
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #15: Polemik Persis dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyah
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #16: Polemik Persis dengan Machfoed Siddik
Sunatan Massal
Jalannya perayaan Hari Raya Idul Adha 28 Februari 1936 begitu meriah. Para pengurus Persis mempunyai dua kegiatan besar selain pelaksaanaan salat ied berjamaah, yaitu penyembelihan hewan kurban dan kegiatan sunatan massal. Untuk penyembelihan hewan kurban, Persis membentuk panitia yang terdiri dari H. Ismail sebagai ketua; Affandi sebagai sekretaris; Diatma, Atmadja, Adi, Herlan, Heroe dan Idris sebagai komisaris; lalu H. Azhari sebagai penasihat.
Dalam kurban kali ini Persis memperoleh enam ekor kambing dari para dermawan: dua ekor dari penjahit asal Palembang yakni, Abdullah bersama istrinya; satu ekor dari K. M. Saman; sedangkan sisanya dari kaum dermawan yang tidak disebutkan namanya (Al-Lisaan nomor 3 24 Februari 1936).
Kegiatan sunatan massal digelar di halaman gedung Persatuan Islam, Jalan Pangeran Sumedang 39, Bandung. Adapun panitia yang mengurus kegiatan ini terdiri dari H. Azhari sebagai ketua; A. Djalil sebagai sekretaris; Herlan sebagai bendahara; lalu Heroe, Affandi, dan Bang Oesman sebagai komisaris. Ditambah dua orang sebagai bengkong (tukang khitan) yakni Abdullah bersama anaknya, dan satu orang lainnya sebagai tukang cukur bernama Amhari (Al-Lisaan nomor 3 24 Februari 1936).
Di samping itu, anak-anak yang terdaftar dalam kegiatan sunatan massal ini pun berjumlah 12 orang. Semua anak tersebut tidak memiliki ayah dan ibu. Sedangkan uang derma yang didapat sebesar f14. Bahkan ditambah sumbangan pakaian berupa 12 sarung Madras dari K.M. Tamim; 5 kaos dari Asy’ari; 5 kaos dari Said Akil; 12 kopiah dari Moekri; 12 ikat pinggang dari Arsenotojo; 10 setel piyama dari Enggoes; dan 12 sarung batik dari Lijst No. 5 (Al-Lisaan nomor 3 24 Februari 1936).
Setelah 12 anak itu berkumpul untuk disunat, panitia berdoa agar kegiatan ini berjalan dengan lancar. Lalu, benkong pun bersiap-siap untuk menyunat kedua belas anak-anak itu satu per satu. Sesudah itu masing-masing anak yang disunat diberikan uang dan pakaian yang diperoleh dari para dermawan untuk dipakai. Keramaian pun terjadi ketika gendang ditabuh sebagai bentuk arak-arakan untuk meramaikan anak-anak yang disunat itu. Momen ini dilaporkan oleh Sipatahoenan edisi 5 Maret 1936 dengan nuansa penuh kegembiraan.
“Koe initiatiefna bestuur Persatoean Islam kamari dina powean Lebaran Rajagoeng, geus disoenatan 12 baroedak pahatoe di pakarangan gedong Persis di Pangeran Soemedangweg. Saenggeusna disoenatan teroes dirame-rame make kendang pentja nepi ka beurang pisan ngemprang dikaoelan koe noe haraat. Moal boa baroedak noe disoenatan teh soeka-boengaheunana lantaran salian ti disoenat teh oge make dirame-rame sagala samalah djeung pada njetjep” (Dengan inisiatif pengurus Persatuan Islam kemarin dalam Hari Raya Lebaran Iduladha, sudah berlangsung kegiatan sunatan massal untuk 12 anak-anak yatim piatu di halaman gedung Persis di Jalan Pangeran Sumedang. Sesudah disunat lalu diramaikan dengan alunan musik gendang sampai waktu siang terang dilayani dengan welas kasih. Sampai-sampai anak-anak yang disunat itu senang sekali karena selain disunat, mereka diramaikan dan diberi uang)”.
Selain sunatan massal yang berlangsung di halaman gedung Persatuan Islam Jalan Pangeran Sumedang 39, di Sukawarna diadakan juga sunatan massal dan penyembelihan hewan kurban. Di sana terdapat dua orang anak yang disunat dan ada tiga ekor kambing yang disembelih (Al-Lisaan nomor 3 24 Februari 1936). Kegiatan sosial seperti ini tentu saja mendapatkan respons yang baik dari masyarakat. Bukan saja dari seluruh pihak yang terlibat sebagai bagian dari Persis, tetapi juga dari kalangan lain yang menganggap kegiatan tersebut sangat bermanfaat. Respons baik itu diungkapkan juga oleh redaksi Sipatahoenan, bahwa kegiatan ini merupakan aktivitas yang mesti dipuji dan diikuti.
“Hidji pagawean amal ti Persatoean Islam anoe poedjieun djeung toeroetaneun (Satu pekerjaan amal dari Persatuan Islam yang patut dipuji dan diikuti)” (Sipatahoenan 5 Mret 1936).