PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #14: Persis Menerbitkan Majalah Berbahasa Sunda At-Taqwa
Majalah At-Taqwa, Persis, mempunyai dua alamat yaitu di Jalan Lengkong Besar, Bandung untuk alamat administrasi, dan Jalan Pangeran Sumedang 39 untuk alamat redaksi.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
26 September 2022
BandungBergerak.id - Pada tanggal 15 Desember 1936, pengurus Persatuan Islam bagian tablig menerbitkan seri pertama Majalah At-Taqwa. Media cetak ini merupakan majalah satu-satunya milik pengurus pusat Persis dengan menggunakan bahasa Sunda. Majalah itu menampilkan tagline, Matja At-Taqwa teu Kalawan Majar teh Sarua djeung Panghalang kana Kamadjoean, yang berarti, pembaca harus membeli majalah tersebut jika ingin maju dengan harga f 15 untuk pembeli di Indonesia, dan f 20 untuk pembeli di luar Indonesia.
Selain terbit satu bulan sekali, Majalah At-Taqwa juga mempunyai dua tempat yang berbeda, yaitu di Jalan Lengkong Besar 90, Bandung untuk alamat administrasi, dan Jalan Pangeran Sumedang 39 untuk alamat redaksi. Namun, tidak disebutkan siapa saja redaksi yang mengelola majalah tersebut. Majalah itu hanya menampilkan dua nama pengarang yakni, E. Abdurrahman dan O. Qamaruddin, seperti pada halaman pertama di bagian atas.
Pada edisi pertama 15 Desember 1936, majalah dibuka dengan perkenalan dari redaksi. Di situ dijelaskan bahwa sejak lama bidang tablig Persatuan Islam mempunyai keinginan untuk menerbitkan At-Taqwa. Lalu, dilanjutkan dengan artikel berjudul Hadiah yang berisi kajian washilah doa untuk orang yang sudah meninggal. Setelah itu ada juga artikel dengan judul, Srikandi Islam, Islam anoe Kapilih, bahkan isi khutbah Lebaran hingga laporan ringkas perjalanan dakwah mubalig Persatuan Islam Cabang Bandung.
Pada edisi selanjutnya, redaksi masih memuat tulisan-tulisan yang sama seputar masalah agama. Meski demikian terdapat perbedaan yang menampilkan soal jawab, terkait pertanyaan dari pembaca untuk dijawab oleh redaksi Majalah At-Taqwa. Seperti pertanyaan dari Cikalong mengenai salat witir. Lalu dari Lembang yang menanyakan soal kitab Bibel tentang balasan amal perbuatan. Bahkan pada nomor 2, 13 Januari 1937 redaksi memuat foto Sukarno disertai satu tulisan panjang tentang klarifikasi Sukarno akan mendirikan Cabang Ahmadiyah di Sulawesi, berdasarkan laporan dari surat kabar Pemandangan.
Dalam klarifikasinya itu Sukarno berterima kasih kepada Ahmad Hassan, para pengurus Persatuan Islam dan redaksi Majalah At-Atqwa. Sukarno yang kala itu sedang berada di Ende menyatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir maupun sebagai pembaharu. Sekalipun Sukarno menyebut bahwa tafsir Qur’an karya Muhammad Ali telah memberikan wawasan mengenai Islam. Di samping dirinya memperoleh bacaan dari Mesir, Jerman, India, Inggris serta buku-buku Muhammadiyah, Persatuan Islam, tafsir Al-Qur’an berbahasa Belanda dan Inggris.
“Boekoe-boekoe Moehammadijah, boekoe-boekoe Persatoean Islam, boekoe-boekoe Penjiaran Islam, boeoe-boekoe Ahmadijah, boekoe-boekoe ti India, ti Mesir, ti Inggris, ti Djerman, tafsir-tafsir basa Walanda sareng Inggris, boekoe-boekoe ti moesoeh Islam (Snouck Hurgronje, Becker, Dozij, Hartman dj.s.t) oge boekoe-boekoe ti anoe lain Islam, tapi sympathie (tjinta) ka Islam, eta djadi material (bahan) pikeun sim koering” (Majalah At-Taqwa nomor 2, 13 Januari 1937).
Setelah terbit tiga nomor secara berkala, Majalah At-Taqwa mendapat sambutan hangat dari pembaca. Pada At-Taqwa nomor 4 terdapat surat pembaca yang ditujukan kepada rengrengan redaksi majalah At-Taqwa. Surat pembaca itu ditulis oleh seseorang dengan menggunakan inisial S.H., berisi ucapan terima kasih kepada redaksi, karena sudah menerbitkan majalah yang merupakan suara baru pergerakan dan kemajuan Islam. S.H. yang begitu gembira dengan munculnya majalah At-Taqwa tidak sepenuhnya setuju terhadap kiprah Persatuan Islam. Meski demikian S.H. sangat mendukung terhadap tulisan-tulisan yang terdapat dalam At-Taqwa, terutama mengenai cita-cita kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #11: Persis Menggelar berbagai Ceramah Umum
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #12: Persis Mendirikan Pesantren
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #13: Persis Menggelar Konferensi
Tujuh Poin Masalah Hukum
Pada nomor keempat itu, redaksi juga mengumumkan bahwa segala permasalahan hukum tidak perlu mengatasnamakan Pengurus Besar Persatuan Islam secara resmi. Hal ini, konon, akan menghalangi keinginan dan kemajuan ummat Islam dalam menelaah keterangan agama. Sehingga pihak Persis perlu untuk memasukan persoalan tersebut pada tujuh poin berikut:
Pertama, Perkumpulan Persatuan Islam tidak menetapkan salah satu hukum agama atas nama Persatuan Islam. Kedua, Persatuan Islam mempunyai sebuah badan yang diberi nama Bahagian Poestaka. Badan ini bertugas memeriksa soal-soal agama, yang disebarkan menurut penjelasan AL-Qur’an dan Hadis sampai dapat direnungkan dan dibandingkan oleh para pembacanya. Ketiga, Persatuan Islam meminta kepada kaum Muslimin, baik anggota Persis maupun bukan, agar memberikan teguran jika ada keputusan-keputusan yang keliru disertai dengan keterangan.
Keempat, Persatuan Islam mewajibkan kepada para mubalig Persis agar selalu mengamati berbagai persoalan yang disebarkan oleh Bagian Poestaka. Lalu wajib menegur bila ada kekeliruan disertai dengan keterangan. Kelima, terdapat dua aturan menegur yang diperuntukkan bagi kalangan Persis, yaitu: melalui surat kepada Pengurus Besar Persatuan Islam dan salinannya dikirimkan kepada Bagian Poestaka; kemudian lewat pembicaraan musyawarah yang sudah diatur.
Keenam, Pengurus Persis Bagian Poestaka bersedia ruju’ dari keyakinan yang salah. Bahkan kesalahannya akan disebarkan supaya dapat direnungkan dan dibandingkan oleh para pembaca. Ketujuh, jika salah satu anggota atau mubalig Persis menegur kekeliruan putusan hukum yang disebarkan oleh bagian Poestaka, sebelum membantah dengan cara yang sudah ditetapkan pada pasal kelima, tidak akan dianggap seperti penegur, namun seperti pengkhianat yang mengganggu ketertiban perkumpulan.
Tujuh poin tersebut merupakan upaya pengurus Persis dalam mengklarifikasi penentuan masalah hukum. Pola diskursus seperti itu memang sering dilakukan oleh Persis sejak awal mula kemunculannya. Selain itu, Majalah At-Taqwa sebagai sayap Persis terus berusaha untuk menampilkan soal-soal hukum beserta keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sampai nomor 10, Majalah At-Taqwa selalu konsisten memuat tulisan-tulisan soal ajaran Islam dan sejarah Islam pada umumnya. Pada At-Taqwa nomor 6, 1 Juni 1937, misalnya, terdapat tulisan berjudul, Sedjarah Pers di Mesir, tanpa disertai nama penulis. Tulisan itu mengulas pers di Mesir sejak Napolen Bonaparte membawa mesin cetak ke negara jajahannya itu.
Akhirnya, pada nomor 10, 1 November 1937 Majalah At-Taqwa menunjukkan dua foto pengarang yang selalu terpampang di bagian atas halaman muka sejak awal pertama kali terbit. Tampilan dua foto E. Abdurrahman dengan O. Qamaruddin itu menunjukkan bahwa Majalah At-Taqwa akan berhenti beroperasi. Di bawah foto tersebut redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada para pelanggan dan juga para penulis, termasuk kepada O. Qamaruddin sebagai pengurus majalah Islam berbahasa Sunda itu. Atas nama E. Abdurrahman, Majalah At-Taqwa menutup nomor terakhirnya.
“Anoe djadi sababna pangna doegi ka kitoe , eta teu djadi kaawonan oepami dipedar di dieu, oge teu djadi kabeuratan boeat nerangkeunnana, tapi kaemoet teu perloe, djadi tjekap koe disebatkeun, At-Taqwa liren, kalawan sabalakana, sarta ieu No. 10 kasanggakeun satjara nommer anoe panoetoepan”.