• Kolom
  • PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #12: Persis Mendirikan Pesantren

PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #12: Persis Mendirikan Pesantren

Persis mendirikan pesantren yang pertama dengan nama Pesantren Persatuan Islam Bandung. Alasan mendirikan pesantren ini dilatari oleh bertambah anggota.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Contoh surat Perjanjian dalam Majalah Al-Lisaan 27 Maret 1936 sebagai syarat menjadi murid Pesantren Persatuan Islam Bandung. (Sumber Foto: Majalah Al-Lisaan)

29 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Sebagai Pengurus Persatuan Islam Bandung, Ahmad Hassan melalui tulisannya dalam majalah Al-Lisaan edisi 27 Februari 1936 mengumumkan bahwa Persis akan mendirikan pesantren yang pertama dengan nama Pesantren Persatuan Islam Bandung. Alasan mendirikan pesantren ini dilatari oleh bertambahnya cabang-cabang Persis yang berkembang hingga ke luar Bandung. Berdasarkan alasan ini muncullah inisiasi dari Ahmad Hassan agar perlu untuk mendirikan pesantren seiring dengan kebutuhan terhadap mubalig-mubalig Persis. Dengan kata lain, lulusan dari Pesantren Persatuan Islam ini nantinya akan disebar sebagai mubalig ke cabang-cabang Persis yang baru dibentuk.

Dalam tulisannya itu, Ahmad Hassan juga menjelaskan tentang syarat-syarat yang harus dijalani sebelum resmi menjadi murid di Pesantren Persis Bandung. Syarat-syarat tersebut antara lain: laki-laki yang beragama Islam dengan umur 18 tahun; mampu membaca dan menulis huruf Arab dan Latin termasuk bisa membaca Al-Qur’an; tidak mengidap penyakit menular maupun yang dianggap geli; berjanji untuk menjadi mubalig Persatuan Islam; berjanji akan berusaha untuk mendirikan cabang-cabang Persis di tempat tinggalnya masing-masing; dan berperilaku baik sesuai syariat (Al-Lisaan 27 Februari 1936).

Selain keenam syarat itu calon murid yang akan mondok di pesantren diwajibkan untuk membayar biaya sebesar f 2. Dengan bayaran tersebut si murid akan mendapatkan fasilitas seperti air, lampu, dan fasilitas mencuci pakaian. Hal itu tidak termasuk kebutuhan makan sehari-sehari. Di samping itu, calon murid wajib menulis surat perjanjian sebagai bentuk kesanggupan memahami bahasa Arab dan Latin dan juga merupakan bukti kesanggupan secara tertulis untuk menjadi mubalig Persatuan Islam disertai dengan tanda tangan kedua belah pihak, antara pihak pesantren dengan calon murid.

Lalu setelah semua persyaratan itu terpenuhi, murid di pesantren Persis ini akan disuguhkan ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu sosial selama kurang lebih 3 tahun masa pembelajaran. Mereka mendapatkan berbagai pelajaran seperti Ilmu Tauhid, Fikih, Ilmu Al-Qur’an, Hadis, Nahwu, Sharaf, Ushul Fikih, Ma’ani, Ilmu Bayan, Ilmu Hisab, Ilmu Alam, Ilmu jurnalistik, dan ilmu-ilmu lainnya yang dianggap perlu (Al-Lisaan 27 Maret 1936).

Berdasarkan Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Pesantren Persatuan Islam disebutkan bahwa pesantren tersebut didirikan di Bandung pada tanggal 4 Maret 1936 dengan nama Pesantren Persatuan Islam Bandung. Hal ini merujuk pula pada keputusan yang dihasilkan dalam Konferensi Persatuan Islam tahun 1935 untuk mengadakan kegiatan kursus mubalig. Namun, tidak disebutkan di mana letak secara pasti pesantren itu berada. Kemungkinan masih terdapat di kantor Pengurus Besar Persis, Jalan Pangeran Soemedangweg. Selain itu, untuk jajaran pengurus pesantren sendiri dipilih oleh Pengurus Besar Persatuan Islam dari anggota resmi Persis (Al-Lisaan 27 Maret 1936).

Berbeda dengan para murid yang dikenakan biaya, guru-guru di pesantren ini tidak diberi bayaran sepeser pun. Mereka yang tercatat sebagai guru di Pesantren Persatuan Islam Bandung ini antara lain: Haji Zamzam, Haji Azhari, H.M. Ramli, E. Abdurrahman, O. Qomaruddin, M. Natsir, Fakhruddin, Samsudin, A.A. Bana-ama, Sulaiman Abus-Suud, Ahmad Hassan, Abdul Kadir Hassan, dan lain-lain. Dari semua nama yang menjadi guru, ada juga di antara mereka yang menjadi pengurus pesantren selama tiga tahun masa khidmat (1936-1939). Para pengurus itu terdiri dari Ahmad Hassan sebagai ketua; Haji Zamzam sebagai wakil ketua; Samsudin sebagai sekretaris; M. Natsir sebagai bendahara dan pembantu; sedangkan Haji Azhari, E. Abdurrahman, H.M. Ramli dan Kemas Ahmad masuk dalam jajaran komisi pembantu (Al-Lisaan 27 Maret 1936).

Sementara itu, murid yang sudah resmi menjadi bagian dari pesantren diberikan kewajiban yang sudah ditetapkan oleh para pengurus pesantren. Kewajiban tersebut tercantum juga dalam AD-ART Pesantren, seperti tidak meninggalkan perintah agama, menjauhi semua larangan dalam Islam, tidak merokok di dalam ruangan pesantren, menjaga kebersihan badan dan pakaian, memelihara kesopanan sesuai dengan ajaran agama, membayar uang bulanan sebesar f 2 bagi murid yang menginap dan f 1 untuk murid yang tidak menginap, wajib menyimpan uang di bank sebesar f 0.50 bagi murid yang berasal dari luar Bandung, serta kewajiban lainnya yang berhubungan dengan kegiatan belajar (Al-Lisaan 27 Maret 1936).

Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #9: Sipatahoenan Menampilkan Tokoh Persis
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #10: Debat Persis dengan Nahdlatul Ulama
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #11: Persis Menggelar berbagai Ceramah Umum

Optimis Mencetak Mubalig Persis

Setelah berjalan lima bulan pengurus Pesantren Persis kembali mengadakan penerimaan untuk murid baru. Rencananya akan dimulai pada bulan Syawal (tahun 1355 H) di tahun 1936. Biaya yang dikenakan pun berbeda dengan sebelumnya. Kali ini para murid harus membayar uang tambahan yang semula hanya membayar sebesar f 2. Pengurus sendiri menyadari adanya kekurangan fasilitas jika terus menambah murid. Oleh karena itu para pengurus pesantren terpaksa menaikkan biaya untuk murid baru menjadi f 10 yang digunakan untuk gaji guru sebesar f 4, f 1 untuk uang simpanan, dan f 5 untuk uang makan.

Selain itu, pihak Pesantren menerima juga uang sokongan dari kalangan dermawan. Mereka mematok uang tersebut minimal sebesar f 0,25 per bulan. Sayangnya, pihak pesantren terpaksa menolak murid yang ingin belajar secara gratis di pesantren (Al-Lisaan 27 September 1936). Mungkin saja hal ini didasarkan pada pertimbangan dari fasilitas dan gaji guru yang seadanya. Sehingga perlu dengan tegas melarang murid yang ingin belajar tanpa dikenakan biaya.

Setelah lima bulan berjalan cukup efektif, pihak Pesantren Persis Bandung merasa puas dengan capaian yang dihasilkan oleh semua muridnya itu. Dalam waktu yang relatif singkat para murid mampu memahami pelajaran yang diberikan. Terutama pelajaran ilmu nahwu dan sharaf sebagai alat utama untuk memahami bahasa Arab dan ilmu agama. Dengan demikian, para pengurus pesantren optimis dalam waktu tiga tahun akan menghasilkan seorang mubalig yang diharapkan oleh Haji Zamzam dkk. “Lima bulan, dengan hasil yang demikian, memberi harapan bahwa di dalam tiga tahun akan menghasilkan maksud kami” (Al-Lisaan 27 September 1936).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//