PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #10: Debat Persis dengan Nahdlatul Ulama
Majalah Al-Lisaan untuk memuat perdebatan Persatuan Islam dan Nahdlatul Ulama terkait persoalan taqlid pada tahun 1935.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
15 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Pada 27 Desember 1935 Pengurus Persatuan Islam mengeluarkan majalah Al-Lisaan untuk pertama kalinya. Majalah yang terbit setiap satu bulan sekali dengan bahasa Melayu itu mula-mula diberi judul “Al-Lisaan Extra Nomor Verslag Debat Taqlied”, yang antara lain memuat perdebatan Persatuan Islam dan Nahdlatul Ulama (NU) terkait persoalan taqlid.
Konon, perdebatan ini bermula saat pengurus Persis mendapat berita bahwa pada tanggal 17/18 November 1935 Nahdhatul Ulama akan mengadakan khotbah terbuka di masjid Agung Bandung. Salah satu topik yang dibahas yakni, tentang permasalahan wajib taqlid. Sehingga dari sini guru-guru Persis bersepakat untuk mengirim surat secara resmi kepada pihak NU.
Surat tersebut antara lain, berisi tentang kesediaan Haji Abdoel Wahhab selaku ketua Nahdlatul Ulama sekaligus sebagai penceramah dalam khotbah yang memaparkan persoalan wajib taqlid itu. Dalam surat itu tertulis:
“Telah tersiar chabar bahwa pada malam Senen 17 November 1935 toean Hadji Abdoel Wahhab ketoea Nahdlatoel Oelama akan berchoetbah di mesdjid Bandoeng, salah satoenja tentang masalah wadjib taqlied kepada oelama… Lantaran itoe, kami harap toean Hadji Abdoel Wahhab soeka memboeang tempoh mengoeraikan masalah itoe di mesdjid Persatoean Islam kapan sadja ia soeka, tetapi diharap sangat kalau bisa di dalam tiga atau empat hari ini. Kalau tidak soeka datang di tempat kami boeat menerangkan masalah taqlied itoe, maka kami harap Nahdlatoel Oelama Bandoeng memberi kesempatan boeat kami berchoetbah di tempat toean-toean tentang tidak boleh taqlied dengan beralasan Qoer’an dan Hadits dan oelama Ahli Soennah waldjama’ah” (Al-Lisaan extra nomor, 27 Desember 1935).
Dengan mengatasnamakan Guru-guru Persatuan Islam, surat yang berisi ajakan pertemuan tersebut tidak mendapat afirmasi dari pengurus Nahdhatul Ulama. Bahkan pada hari berikutnya ketua Nahdlatul Ulama cabang Bandung, Said Hassan Wiratmana, menyampaikan kabar bahwa ajakan pertemuan itu dianggap hal yang percuma dan tidak akan memperoleh hasil. Maka mewakili Nahdlatul Ulama, Said Hassan pun menyatakan bahwa debat itu tidak akan terjadi (Al-Lisaan extra nomor, 27 Desember 1935).
Kendati demikian, pihak Persatuan Islam yang diwakili oleh Ahmad Hassan dkk. terus berupaya agar ajakan tersebut diterima oleh pengurus NU. Usaha itu antara lain, dengan mengabarkan permintaan debat kepada pihak NU melalui berbagai surat kabar. Sebagaimana klaim Persis dalam majalah Al-Lisaan yang terbit pertama kali itu. Dengan harapan, pihak NU dapat memenuhi undangan tokoh-tokoh Persatuan Islam yang sebelumnya ditulis melalui surat resmi.
Maka, upaya untuk memunculkan respons dari pihak NU itu akhirnya membuahkan hasil. Rengrengan Persis menerima surat balasan dari pengurus Nahdlatul Ulama cabang Bandung setelah menyebarkan ribuan selebaran dan membuat pengumuman di berbagai media kala itu. Dalam surat tersebut NU cabang Bandung menerima permintaan ajakan itu lalu mempersilakan pihak Persis untuk bertemu dengan pengurus NU secara langsung di markas pengurus NU cabang Bandung di Jalan Kopo. Sedangkan pengurus NU sendiri menginginkan agar pertemuan ini diadakan pada tanggal 18/19 November 1935 dengan diwakili oleh enam orang dari pihak Persis. Meskipun hanya satu orang yang dipersilakan untuk membahas masalah taqlid itu.
Pada tanggal 19 November puluhan orang dari Persis berusaha untuk memasuki tempat pertemuan yang sudah direncanakan sebelumnya. Namun, usaha itu sia-sia karena salah satu dari petinggi NU bernama Hasboellah tidak memperbolehkan masuk. Kendatipun terjadi pembicaraan supaya tiga puluh orang dapat menyimak pembahasan soal taqlid itu. Malah beberapa saat kemudian sekitar 40 orang dari pihak Persis secara berangsur-angsur dapat menyaksikan pertemuan tersebut.
Acara pun dimulai. Mula-mula Haji Abdoel Wahhab menerangkan tentang dajjal dan Nabi Isa. Setelah itu pembicara menjelaskan soal wajibnya bertaqlid selama satu setengah jam. Ahmad Hassan yang mewakili Persis kemudian diberi kesempatan untuk membahas haramnya bertaqlid. Selanjutnya Abdoel Wahhab berusaha naik ke mimbar untuk menjawab penjelasan Ahmad Hassan, tetapi dilarang oleh polisi karena akan menimbulkan perdebatan (Al-Lisaan extra nomor, 27 Desember 1935).
Pertemuan yang dihadiri oleh para kiai NU itu memang tidak menghasilkan perdebatan yang krusial. Meski demikian, kalangan kiai dari pihak NU memberi nasihat dan mengajak supaya umat Islam berpegang teguh pada ajaran agama. Para kiai tersebut antara lain, Kiai Ruhiat dari Tasikmalaya, Kiai Dimyati dari Ciparay dan Kiai Samsudin dari Lembang mendapat perhatian lebih dari hadirin yang mengikuti pertemuan itu. Selanjutnya, ketua NU cabang Bandung menghaturkan banyak terima kasih kepada Ahmad Hassan dan rengrengan Persatuan Islam Bandung. “Masing-masing berpisah dengan cara persaudaraan yang baik” (Al-Lisaan extra nomor, 27 Desember 1935).
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #7: Polemik Persis dengan Sarekat Islam
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #8: Munculnya Comite Pembela Islam
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #9: Sipatahoenan Menampilkan Tokoh Persis
Mengedepankan Musyawarah
Pada Sipatahoenan 20 November 1935 berita tentang taqlid yang dipersoalkan oleh kedua organisasi Islam itu dimuat cukup panjang di halaman muka. Dalam surat kabar tersebut, berita itu diberi judul Taqlid: Katerangan Nahdhatoel Oelama djeung Persatoean Islam, yang di antaranya berisi laporan yang terjadi antara kedua belah pihak, seperti yang ditunjukkan oleh majalah Al-Lisaan pada edisi nomor ekstra.
Sementara itu, pertemuan Persis dengan NU, sebetulnya telah terjadi sebelum muncul permasalahan taqlid yang mencuat di Bandung. Dalam Al-Mawaidz edisi 26 Februari-5 Maret 1935 NU cabang Tasikmalaya melaporkan tentang pembicaraan dengan Persis yang dihadiri oleh Haji Zamzam dkk.
Media itu menyebutkan bahwa tokoh-tokoh Persis sempat mengadakan pengajian umum di Cisalak, Tasikmalaya. Di situ hadir antara lain, Haji Zamzam, Haji Soekanta Widjaja, Haji Romli, Abdoerrahman dari Cianjur, Qomaroedin dan Ahmad Hassan. Acara itu disaksikan juga oleh kalangan pejabat setempat seperti wedana, camat dan mantri disertai penjagaan ketat dari kepolisian.
Tokoh-tokoh Persis itu secara bergiliran menyampaikan tujuan utama berdirinya organisasi Persatuan Islam, di samping menjelaskan isu agama seperti munculnya ajaran Ahmadiyah. Bahkan berbagai pertanyaan dari kalangan NU diajukan kepada tokoh-tokoh Persis tersebut. Seperti pertanyaan A. Dahlan dari Cicarulang tentang pemahaman nash, A.H. Fadil yang pertanyaannya sama dengan A. Dahlan dan Ahmad Sadeli yang menanyakan ihwal masalah talafudh.
Selain itu, Soet Sen datang untuk menyampaikan keinginannya berkumpul dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam agar bermusayawarah membahas soal-soal agama yang cenderung mempunyai pemahaman berbeda. Seraya meggerakan telunjuknya, ia menyampaikan kepada para hadirin bahwa, “Kita, kamu, dan saya, bisa menimbang jangan hanya menertawakan orang yang menelan ludah. Oleh sebab itu, mari kita bermusyawarah. Bila sepakat, terima kasih. Jika tidak, kita buat perjanjian, jangan sampai saling menjelek-jelekan” (Al-Mawaidz 26 Februari-5 Maret 1935).