PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #16: Polemik Persis dengan Machfoed Siddik
Andree Feillard mencatat bahwa Machfoed Siddik pernah membawa NU dalam ranah perjuangan nasional bersama sosok lain yakni KH. Wahid Hasyim.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
13 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Perdebatan Persatuan Islam dengan Nahdhatul Ulama (NU) di Bandung, nampaknya, masih menyisakan polemik berkepanjangan. Di Surabaya, muncul seorang tokoh NU yang disebut-sebut sebagai pengelola majalah Berita Nahdlatoel Oelama (NO). Tokoh yang bernama Machfoed Siddik tersebut menulis dalam Berita NO tentang perdebatan sebelumnya yang melibatkan Ahmad Hassan dari Persis dengan Haji Abdoel Wahhab dari NU di Bandung, yakni, mengenai bolehnya taqlied kepada seseorang.
Mula-mula masing-masing pihak mengirimkan beberapa edisi media, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengurus Persis yang mengirim edisi pertama, kedua, ketiga, dan ekstra nomor majalah Al-Lisaan. Sedangkan dari pihak NU mengirimkan Berita NO edisi 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 8 (Al-Lisaan nomor 4 27 Maret 1936).
Berdasarkan Berita NO yang dikirim itu pengurus Persis menilai bahwa Machfoed Siddik telah menulis serangan terhadap Ahmad Hassan dkk. terkait persoalan taqlied yang sempat mengemuka sebelumnya. Tulisan yang diberi judul Idjtihaad dan Taqlied, dianggap sebagai salinan dalam kitab Al-Inshaaf fi Sababi al Ikhtilaf, karya Syah Waliyullah Ad-Dehlawi Al-Muhaddits dari India. Dalam karya tersebut, pihak Persis mengklaim tidak mendapat sedikit pun dalil yang membolehkan taklid kepada seseorang.
Bahkan, menurut penelusuran Ahmad Hassan dkk., kitab yang dikarang oleh Syah Waliyullah Ad-Dehlawi itu mencatat empat keterangan yang cenderung satu pendapat dengan kelompok Persis. Empat keterangan itu antara lain, pertama, tentang fatwa yang diberikan oleh Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab dari Al-Qur’an dan Hadis. Melalui keterangan ini, pihak Persis menyebut bahwa kelompok Machfoed melegitimasi agar orang-orang bertaklid kepada Ulama.
Kedua, para sahabat Nabi memberikan fatwa yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadis. Jika tidak didapat, mereka melakukan ijtihad. Ketiga, para sahabat yang keliru dalam berijtihad dianjurkan untuk mengulang kembali ijtihadnya setelah memperoleh hadis yang sahih. Keempat, Imam Syafii telah menyalahi Khalifah Umar dalam permasalahan talaq tiga perempuan yang tidak mendapat nafaqah dan rumah. Konon, hadis yang ditolak oleh Khalifah Umar tersebut bagi pandangan Imam Syafii adalah sah. Dengan alasan itulah Machfoed Siddik melarang untuk menolak perkataan para Ulama, kendatipun pandangan ulama itu salah (Al-Lisaan nomor 4 27 Maret 1936).
Selain empat keterangan itu, terdapat pula catatan lain yang ditemukan oleh pihak Persis dalam tulisan Machfoed Siddik tersebut. Di antaranya, seperti yang tercantum dalam majalah Al-Lisaan nomo 4, “bahwa ulama wajib memberikan fatwa yang merujuk pada Al-Qur’an Hadis. Jika tidak diperoleh dari keduanya, maka bolehlah ia berijtihad. Itu pun dalam urusan keduniaan dan bukan soal ibadah”.
Tentu pendapat tersebut dianggap keliru oleh pihak Persis. Karena Machfoed tidak menyerang Persis dengan dalil-dalil Al-Qur’an maupun Hadis. Malah, redaktur Al-Lisaan menyebut serangan ini seratus persen ditujukan kepada Machfoed sendiri sebagai senjata makan tuan (Al-Lisaan nomor 4 27 Maret 1936).
Sebagai bagian dari Nahdhatul Ulama, Machfoed Siddik memang mempunyai pengaruh besar dalam pergerakan organisasi Islam yang lahir di tanah Jawa itu. Bahkan Andree Feillard mencatat bahwa Machfoed Siddik pernah membawa NU dalam ranah perjuangan nasional bersama sosok lain yakni KH. Wahid Hasyim, anak dari Kyai Hasyim Asy’ari. Machfoed Siddik yang waktu itu termasuk barisan pemuda dalam tubuh NU, pada tahun 1939, terlibat dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai salah satu wakil NU yang mendukung seruan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mendirikan sebuah parlemen (Feillard, 1999: 19).
Sementara di masa-masa awal perkembangan NU kiprah Machfoed Siddik semakin menonjol kala ia mengelola Berita Nahdlatoel Oelama sebagai pemimpin redaksi. Serangan-serangan yang ditujukan terhadap Persatuan Islam itu pun membawa namanya dikenal oleh Ahmad Hassan dan pengurus Persis lainnya yang juga memunculkan kembali polemik di antara Persis dan NU terkait perbedaan pendapat mengenai taqlied.
Polemik Persis dengan Machfoed Siddik ini terus meluas hingga pada pembahasan personal dan bahasan tentang satu ulama yang disinyalir tidak diketahui dalam berbagai keterangan mana pun. Pada hakikatnya pihak Persis banyak mengkritik kekeliruan tulisan yang disajikan oleh Machfoed dalam Berita NO itu. Selain berkenaan dengan isi tulisan, Persis juga menyerang balik bahasa yang digunakan oleh Machfoed, lantaran mengandung ejekan yang dianggap kurang sopan. Lalu ada juga sindiran terhadap Machfoed yang salah menggunakan istilah bahasa Inggris. Seperti penggunaan istilah “export agama”, yang seharusnya ditulis “expert agama”. Dari kekeliruan ini pihak Persis menyebut Machfoed sebagai orang yang berlagak seperti Tuhan yang menunjukkan kesalahannya (Al-Lisaan nomor 4 27 Maret 1936).
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #13: Persis Menggelar Konferensi
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #14: Persis Menerbitkan Majalah Berbahasa Sunda At-Taqwa
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #15: Polemik Persis dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyah
Polemik Soal Tabiin
Pihak Persis juga mencatat kekeliruan lain yang ditulis dalam Berita NO nomor lima. Tulisan itu, konon, menampilkan ulama tabiin dari Mekah bernama Athok bin Rabah. Meskipun pihak Persis mengklaim belum pernah menemukan nama tersebut yang berasal dari kalangan tabiin. Pembahasan ini kemudian berujung saling serang antara Machfoed melalui berbagai sayap NU dan Persis yang disampaikan lewat majalah Al-Lisaan. Dalam majalah Al-Lisaan no.7 pihak Persis memuat tanggapan-tanggapan yang dilancarkan oleh Machfoed disertai dengan jawaban dari penulis Al-Lisaan yang juga mewakili Persis. Serangkaian tanggapan itu diberi judul, Kepokrolan t. Machfoed “Athok”, ditulis oleh seseorang dengan inisial M.S.
Laiknya sebuah rekaman informasi, tulisan itu menampilkan jejak-jejak serangan Machfoed terhadap Persis. Diawali dengan informasi dari Soeara Nahdlatoel Oelama (NO) No.5. Jejak ini turut mengabarkan secara detail halaman, baris, dan kolom pada Soeara NO nomor 5 bahwa Machfoed pernah menulis tentang ulama Tabiin yang berasal dari Mekah bernama Athok bin Rabah. Lalu pembahasan ini langsung ditanggapi oleh seorang penulis dalam majalah Al-Lisaan nomor 4 yang berisi ketidakjelasan nama tabiin itu. Sampai kedua belah pihak terus melancarkan serangan secara personal.
Pada Soeara NO nomor 13 Machfoed menyampaikan kata-kata ejekan terhadap orang yang tidak mengetahui tabiin bernama Athok bin Robach. Kendati tidak ada serangan balik dari majalah Al-Lisaan, Machfoed kembali melancarkan tulisannya ihwal Athok bin Rabah ini. Bahkan dalam Soeara NO nomor 16, Machfoed menyebut Al-Lisaan sebagai pemalsu yang kemudian ditanggapi dengan serangan balik dalam majalah Al-Lisaan nomor 7 bahwa “Pemalsu berkata orang lain palsu” seraya menyebut Machfoed tengah bersiasat.