• Kolom
  • PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #15: Polemik Persis dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyah

PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #15: Polemik Persis dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyah

Persatuan Islam terlibat polemik dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII). Salah satu soal polemik tentang hadiah untuk orang yang sudah meninggal.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Media propaganda milik Al-Ittihadiyatul Islamiyah yang berisi polemik dengan Persis. Pada tahun 1937 terjadi polemik antara Persatuan Islam dan Al-Ittihadiyatul Islamiyah. (Sumber Foto: Surat Kabar AS-Silah nomor 3 Maret 1937)

7 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Pada tahun 1937 terjadi polemik antara Persatuan Islam dan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII). Polemik ini bukan saja saling serang melalui media masing-masing, tapi juga ditampilkan dalam debat terbuka. Salah satu polemik itu berkenaan dengan pemahaman tentang hadiah amal kepada seseorang.

Bahasan ini memang mengandung tafsir yang berbeda di antara kedua pihak. Bahkan keduanya saling menunjukkan berbagai legitimasi dari Al-Qur’an, hadis maupun pendapat para ulama. Di satu sisi, pihak Al-Ittihadiyatul Islamiyah sepakat dengan hadiah yang bisa diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Di sisi yang lain, Persis menolak pandangan seperti itu karena tidak ada keterangan yang sesuai dalam ajaran Islam.

Mengenai hadiah ini, AII membagi pemahamannya kepada dua macam. Pertama, hadiah yang tidak diiringi doa untuk orang yang sudah meninggal. Konon, pandangan ini diambil dari pendapat Imam Syafi’i yang menyebut bahwa hadiah jenis ini tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal. Kedua, hadiah doa yang sampai kepada orang yang sudah meninggal. Pandangan ini merujuk kepada ulama-ulama Ahlusunnah. Di antaranya pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab Al-Uum Juz 4 yang berisi, yalhaqu al-mayyita min fi’li ghairihi wa ‘amalihi tsalaatsun hajjun yuaddi ‘anhu wa maalun yutashaddaqu bihi ‘anhu aw yuqdha wa du’aa’un (Akan sampai kepada mayit dari pahala pekerjaan orang lain dan dalam amalnya tiga perkara: (1) haji yang dikerjakan oleh yang di-haji-kannya; (2) harta yang disedekahkannya dan mendapat pahala kepadanya atau dibayarkan darinya; dan (3) doa (As-silah nomor 2 Maret 1937).

Dalam menanggapi persoalan hadiah ini Persis justru sepakat dengan pandangan Mu’tazilah dan Wahhabi bahwa bacaan doa tidak bisa diberikan. Bahkan bukan hanya itu. Seluruh ganjaran ibadah yang telah dikerjakan tidak bisa diberikan kepada siapa pun. Berdasarkan keyakinan bahwa ganjaran diperoleh dari kebaikan yang dikerjakan oleh diri sendiri bukan dari kebaikan orang lain. Dengan mengacu pada pendapat ini, maka, Persis mempunyai pendirian yang tegas jika hadiah pahala tidak ada dalam ajaran Islam (Al-Lisaan 22 Maret 1937).

Pembahasan tentang hadiah ini memang membuat kedua belah pihak terus saling serang dengan pendapat-pendapat dan tudingan-tudingan. Malah dalam As-Silah nomor 3 Maret 1937, pihak Al-Ittihadiyatul Islamiyah membalas serangan Persis yang menuduh AII sebagai pendusta, tukang fitnah, dan mengotorkan Persis, berdasarkan surat yang dikirim oleh Persis kepada redaksi As-Silah. Selain itu, dalam majalah Al-Lisaan 22 Maret 1937 pengurus Persis memuat sebuah percakapan antara kaum muda yang kontra terhadap persoalan hadiah itu, dengan kaum tua yang pro terhadap pandangan Al-Ittihadiyatul Islamiyah tentang pemberian hadiah ganjaran kepada seseorang. Dalam percakapan itu kaum muda menyebut As-Silah sebagai sampah pendusta dengan perangainya yang seperti bambu buruk. Meski diuraikan melalui majalah Al-Lisaan, nampaknya, pernyataan tersebut diketahui oleh redaksi As-Silah. As-Silah menyerang balik Persis berupa sindiran yang cukup pedas bahwa Persis hanyalah mujtahid tiruan.

“Dengan laga lagoe juga gagah Persis Bandoeng telah menoedoeh fihak A.I.I pendoesta, tukang fitnah, dan mengotorkan Persis. Melihat soesoenan kalimat beware Persis jang manis itoe, soesah kita boeat pertjaja bahwa Persis itoe satoe moedjtahid jang asli, atau Alim kepada Qoeran dan Hadits, tetapi kami tida berani kasi tjap salah kalau ada orang katakan bahwa Persis itoe hanja pajroel Awi atau Imitatie moedjtahid belaka” (As-Silah nomor 3 Maret 1937).

Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #12: Persis Mendirikan Pesantren
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #13: Persis Menggelar Konferensi
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #14: Persis Menerbitkan Majalah Berbahasa Sunda At-Taqwa

Debat Terbuka

Sementara itu, acara debat terbuka yang digelar di Bogor pada tahun 1937 menyeret nama H. Djoenaidi yang tidak mempunyai urusan sebelumnya. Dalam debat tersebut H. Djoenaidi berlaku sebagai pemandu jalannya perdebatan sengit itu. Malah konon, H. Djoenaidi menjadi sasaran pihak Al-Ittihadiyatul Islamiyah yang memberikan ucapan-ucapan kurang sopan saat H. Djoenaidi menjalankan tugasnya sebagai pemandu acara. Sehingga pihak AII, yang diwakili oleh Djarkasih bin H. Ahmad Sanoesi, mendapat teguran dari polisi karena telah membuat kekisruhan.

Dari kejadian ini para pengurus Persatuan Islam sangat menyayangkan sikap Al-Ittihadiyatul Islamiyah kepada H. Djoenaidi itu. Pihak Persatuan Islam mengklaim, bahwa sudah beberapa kali mengadakan debat terbuka dengan Ahmadiyah dan Nahdhatul Ulama, tidak pernah sekalipun menyampaikan kata-kata kasar kepada pemandu acara. Di samping itu, serangan yang ditujukan kepada H. Djoenaidi pun bukan saja saat debat itu berlangsung. Tetapi melalui selebaran-selebaran yang dibuat oleh AII, seperti pada As-Silah (Al-Lisaan 22 Februari 1937) yang terbit satu bulan dua kali di Sukabumi.

Debat terbuka yang berlangsung di Bogor itu mengantar Al-Ittihadiyatul Islamiyah kepada kekalahan. Karena keterangan yang digunakan tidak kuat. Bahkan forum menilai pembicara debat yang mewakili AII itu pun dianggap tidak sopan, tidak kompak, dan membuat kekacauan. Dari perwakilan AII menyatakan bahwa kekalahan debat yang diterimanya itu disebabkan oleh ketidakdilan H. Djoenaidi dalam memimpin jalannya acara. Kendati demikian, Persis tetap mendukung H. Djoenaidi yang telah berusaha untuk memandu acara debat itu secara professional. Dukungan itu ditujukan langsung kepada H. Djoenaidi berupa nasihat yang mengambil pelajaran dari Nabi Muhammad SAW, para ulama dan seorang hakim yang memimpin sidang. Karena konon, Nabi Muhammad tidak pernah berhenti menjadi rasul disebabkan oleh celaan dan makian dari masyarakat Quraisy. Lalu para ulama tak pernah berhenti mengarang lantaran ada yang menyalahkan isi dari kitab-kitab itu. Begitu juga seorang hakim, tidak ada yang berhenti menjadi hakim ketika dirinya dinilai tidak adil oleh pihak yang merasa kalah. Dengan dukungan yang kuat itu Persis menaruh sikap pantang menyerah kepada H. Djoenaidi.

“Di lain masa, oemmat Islam akan berkeperloean kepada toean, maka di waktoe itoe djanganlah toean moendoer. Apakah patoet toean moendoer dari perkara jang baik padahal orang lain kedepan di dalam perkara jang salah? Kami harap toean boekakan dada toean jang loeas dan ampoenkan mereka jang bodoh-bodoh dan jang masih lemah fikirannja itoe dengan doa jang dioetjapkan oleh Nabi SAW: Hai Toehankoe! Ampoenkanlah kaoem-kaoem itoe karena mereka tidak tahoe” (Al-Lisaan 22 Februari 1937)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//