• Cerita
  • Api Fatimah Bersama Komunitas Bandung Mempertahankan Dago Elos

Api Fatimah Bersama Komunitas Bandung Mempertahankan Dago Elos

Menurut Fatimah, warga Dago Elos, negara itu rakyat. Rakyat itu negara. Tapi kenapa sepertinya warga Dago Elos tidak diperhatikan.

Pameran foto di Dago Elos, Bandung, Rabu (21/12/2022) malam. Dago Elos mendapatkan solidaritas dari komunitas dan aktivis Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau22 Desember 2022


BandungBergerak.idDinding balai RW 02 Dago Elos terisi poster-poster arsip pertunjukkan Teater Akar Rumput. Poster-poster ini menunjukkan bahwa kelompok Teater Akar Rumput kerap mengambil tempat pertunjukan yang tak biasa: mulai dari lokasi penggusuran rumah deret di Tamansari hingga di Kebon Jeruk yang bersengketa dengan PT KAI.

Di dinding lain tergantung poster pertunjukan jalanan yang mengusung tema pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), gerakan kerakyatan, September Hitam, hari perempuan internasional, Reformasi Dikorupsi, kekerasan di Papua.

Arsip dan dokumentasi berumur empat tahun ke belakang milik Teater Akar Rumput itu dipajang dalam Photo Performance Exhibition yang digelar 20-22 Desember 2022. Tak hanya pameran, beberapa pertunjukkan juga turut dihadirkan, seperti pembacaan puisi, musik, dan teater.

Pameran arsip ini tak sekadar penunjukan arsip Teater Akar Rumput semata. Lebih dari itu, pameran ini sebagai bentuk pembelaan terhadap warga tertindas, khususnya warga Dago Elos yang kini sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Seperti diketahui, lahan Dago Elos dan Cirapuhan bertahun-tahun dalam sengketa di pengadilan. Terbaru, putusan kasasi sengketa tanah ini dimenangkan oleh warga yang seumur-umur memang sudah tinggal di Dago Elos dan Cirapuhan. Secara hukum pertanahan, warga berhak menguasai dan memiliki tanah yang sebelumnya dikuasi penjajah Belanda itu.

Tetapi belakangan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung malah memenangkan penggugat atas nama ahli waris Muller yang notabene leluhurnya orang Belanda. Mereka mengklaim memiliki bukti kepemilikan tanah berdasarkan hukum Belanda.

Teater Akar Rumput merupakan satu dari sekian banyak komunitas maupun aktivis yang menyalakan api kegiatan di Dago Elos.  

Ya, kehadiran komunitas ataupun para aktivis di Dago Elos tentunya ibarat api yang menghangatkan perjuangan warga. Hal ini diakui Fatimah, 64 tahun, salah seorang warga Dago Elos RT 01 RW 02. Fatiman sudah tinggal lebih dari 30 tahun di lahan yang diklaim keluarga Muller.

“Senang kalau ada komunitas, merasa dibantu. Kan kita satu pun warga gak ada ngerti hukum. Dibantu LBH Bandung hukumnya kalau gak kita gak bisa apa-apa. Jangan tinggalin kami (warga) kita udah berjuang dari awal,” kata Fatimah, kepada BandungBergerak.id, di Dago Elos, Rabu (21/12/2022) malam. 

Meski usianya sudah kepala enam, Fatimah siap berjuang bersama aktivis dan warga Dago Elos lainnya. Ia akan mempertahankan ruang hidupnya. Ia tak mau pindah meski seandainya ada yang mengiming-iminginya. 

“Mau berjuang sama, berjuang pengin tetap di sini. Kalau di sini diganti 1 miliar rupiah saya penginnya di sini (di Dago Elos). Saya bisa ngewarung di sini, saya sehat,” ucap Fatimah.

Fatimah mempertanyakan mengapa Mahkamah Agung memutuskan memenangkan gugatan keluarga Muller padahal pada tingkat kasasi warga justru sudah menang. Seandainya ada kesempatan, ia ingin bertanya langsung kepada hakim MA apa alasan mereka memutuskan memenangkan keluarga Muller.

“Saya teh kepinginnya kan katanya negara itu rakyat. Rakyat itu negara kenapa kami sepertinya kami tidak diperhatikan,” ujar Fatimah.

Jauh sebelum sengketa, Fatimah tinggal di Dago Elos dalam suasana aman dan tenteram. Sejak kecil ia tumbuh dan besar di Dago Elos.

Fatimah bisa dibilang perempuan mandiri karena suaminya telah meninggal 20 tahun lalu. Ia memiliki tiga orang anak yang kini semuanya telah menikah.

Di masa masih menghidupi anak-anaknya, ia membuka warung di Dago Elos. Perjuangannya menghidupi anak-anaknya sendirian tidaklah mudah. Tapi ia sabar mengikuti putaran roda kehidupan.

Kini roda kehidupannya sedang ada di titik terbawah karena Dago Elos menjadi tanah sengketa. Fatimah dan warga lainnya yang didukung komunitas dan aktivis, harus kembali bersabar dan berjuang.

Di masa sengketa, setiap hari Fatimah hidup dalam kecemasan. Padahal sebelumnya ia tak pernah bermimpi bahwa suatu saat rumahnya terancam digusur. Tetapi api tidak boleh padam.

Baca Juga: Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga
Warga Dago Elos Merebut Kemerdekaan di Tanah Sendiri
Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?

Pertunjukan seni di Dago Elos, Bandung, Rabu (21/12/2022) malam. Dago Elos mendapatkan solidaritas dari komunitas dan aktivis Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Pertunjukan seni di Dago Elos, Bandung, Rabu (21/12/2022) malam. Dago Elos mendapatkan solidaritas dari komunitas dan aktivis Bandung. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Seni untuk Rakyat

Teater Akar Rumput menjadi salah satu komunitas yang menyalakan api penyemangat warga Dago Elos seperti Fatimah. Suar Swara dari Teater Akar Rumput menjelaskan sejak awal kelompok teaternya selalu beririsan dengan gerakan-gerakan akar rumput atawa kerakyatan.

Kelompok teater ini diniatkan tak tampil di gedung-gedung pertunjukkan, namun memilih tumbuh  di jalanan ataupun daerah-daerah penggusuran seperti di Tamansari.

Suar mengaku terinsipirasi kelompok teater lama, seperti Gerbong Bawah Tanah, Teater Mercusuar Merah, dan lain-lain yang kerap berkesenian di jalan.

“Jadi jarang-jarang ada di gedung pertunjukkan konvensional, jadi memang tetater jalanan bisa disebut,” ungkap Suar.

“Karena mungkin dari dulu Teater Akar Rumput sendiri beririsan sama gerakan-gerakan akar rumput sendiri, gerakan-gerakan rakyat, gerakan otonom yang memang dicerminkan dari kita berpihak pada rakyat tertindas. Tema yang diusung atau gagasan-gagasan yang diusung. Juga ya tadi si pertunjukannya juga memang kita ekslusifkan memang cuma di jalan,” tambah Suar.

Hadirnya pameran dokumentasi Teater Akar Rumput juga sebagai turunan dari kampanye mereka di media sosial selama ini. Diharapkan pameran kopi darat (offline) ini bisa menjangkau langsung masyarakat umum.

Suar mengungkapkan pameran sengaja diadakan di Dago Elos untuk turut menyemangati warga yang sedang berjuang melawan penggusuran.

Di sisi lain, Suar menegaskan bahwa teater bukanlah seni yang ekslusif di gedung-gedung pertunjukkan dan berjarak dengan masyarakat awam. Teater harus dekat dengan rakyat.

“Kita coba bahwa teater itu bisa benar-benar pandangan politiknya itu kita berafiliasi sama gerakan rakyat,” ungkapnya.

Melalui teater, Suar bersama komunitasnya menyuarakan kondisi riil yang dialami warga. Teater menyuarakan kasus penggusuran, penindasan, dan ketidakadilan yang dialami warga entah itu di Dago Elos, Tamansari, dan lokasi-lokasi penggusuran lainnya.  

“Apa yang ada terjadi di Bandung di Dago Elos di Tamansari di Kebon Jeruk, bahwa Bandung itu gak baik-baik sajalah hari ini, banyak penggusuran, banyak sekali penindasan yang kita seakan-akan lupa dengan hal itu,” terang Suar.

Hal sama disampaikan Manik Manik, salah satu penampil dari Teater Akar Rumput, yang mengatakan bahwa pameran kelompok teaternya sebagai dukungan dan semangat untuk warga dalam mempertahankan ruang hidupnya.

“Dengan hadir di sini kita sebagai bentuk dukungan, dengan adanya pameran di sini. Memberi semangat untuk warga di sini,” kata Manik Manik.

Komunitas Bandung Bersolidaritas

Keresahan warga Dago Elos akan ancaman penggusuran melahirkan gerakan Solidaritas Dago Elos yang digerakkan aktivis atau pegiat komunitas. Mereka hadir untuk membersamai situasi dan kondisi yang dialami warga Dago Elos.

Kehadiran para aktivis yang didominasi anak-anak muda Bandung itu diharapkan memberi motivasi pada warga, bahwa mereka tidak sendirian.

Salah seorang pegiat performance art, Laron, mengatakan Dago Elos adalah rumah bagi warganya. Malam itu ia melakukan pertunjukan tentang rumah. Menurutnya, rumah adalah simbol dari keindahan dan harapan yang dianalogikan dengan bunga.

Karena itu, kata Laron, rumah harus diperjuangkan dan dipertahankan, apa pun ancamannya. “Semua rumah di sini punya harapan agar rumahnya tetap bertahan,” tandas Laron, pegiat Teater Akar Rumput lainnya. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//