BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #14: Anggota DPA, Wali Kota Yogyakarta, dan Menteri PU
Mochamad Enoch menolak pembentukan Negara Pasundan oleh Suriakartalegawa. Ia kemudian ke Yogyakarta menjabat wali kota pertama.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
3 Januari 2023
BandungBergerak.id - Saya masih penasaran mengenai kehadiran Mochamad Enoch di Yogyakarta saat menyatakan menolak diproklamirkannya Negara Pasundan oleh R.A.A.M. Suriakartalegawa pada 4 Mei 1947. Sejak tanggal itu pula, Enoch menghidupkan kembali Paguyuban Pasundan yang sempat dibekukan oleh balatentara Jepang, terhitung sejak 3 Mei 1947.
Sumber soalnya adalah sejak kapan Mochamad Enoch berada di Yogyakarta dan apa yang menjadi latar belakang kepergiannya dari Bandung? Setelah ke sana-ke mari mencari pustaka yang dapat menjelaskannya, saya memperoleh titik terang. Ternyata kepindahan Enoch ke Yogkarta terpaut erat dengan dipindahkannya ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta, sementara Enoch adalah seorang pejabat Republik Indonesia, yaitu sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Beberapa pustaka yang menyatakan Mochamad Enoch sempat menjadi anggota DPA antara lain Susunan Kabinet2 RI dan Riwajat Hidup Ringkas Para Menteri 1945-1953 susunan Bagian Dokumentasi-Kemeneterian Penerangan. Di situ dikatakan Enoch “Pernah mendjadi anggauta Pertimbangan Agung (DPA)”.
Demikian pula dalam Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia (1983) susunan Sekretariat DPR-GR. Dalam buku tertulis, “Dalam pada itu setelah Komite Nasional Pusat terbentuk, pada tanggal 25 September 1945 Presiden telah mengangkat Dewan Pertimbangan Agung, terdiri dari 11 orang anggota sebagai berikut: 1. dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, 2. Sjech Djamil Djambek, 3. H. Agus Salim, 4. K.R.M.T. Wurjaningrat, 5. K.H. Adnan, 6. R.M. Margono Djojohadikusumo, 7. Moch. Enoch, 8. dr. Latumeten, 9. Ir. Pangeran Moh. Noor, 10. dr. Sukiman Wirjosandjojo dan 11. Nj. Suwarni Pringgodigdo. Sebagai Ketua diangkat R.M. Margono Djojohadikusumo, jang setelah mengundurkan diri sebagai Ketua pada tanggal 6 Nopember 1945, diganti oleh R.T.A.A. Wiranata Kusumah pada tanggal 5 Desember 1945”.
Zulfikar Ghazali (“DPA dalam Sejarah Konstitusi Republik”, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 5, Th XVI, Oktober 1986) menyatakan hal yang sama. Mochamad Enoch tercatat sebagai anggota DPA untuk masa Revolusi Fisik sejak September 1945 hingga Desember 1949. Dengan catatan, Enoch berhenti sebagai anggota DPA atas permintaannya sendiri.
Sebagai bukti Mochamad Enoch sempat menjabat sebagai anggota DPA hingga Desember 1949 itu antara lain saya temukan dalam berita Keng Po edisi 12 Mei 1948. Dalam berita bertajuk “Kegiatan Politiek di Kalangan Republiek” dikatakan “Para anggota Dewan Pertimbangan Agoeng jang menoedjoe ke Djokjakarta jalah Prof. Latumeten, F. Laoh, Moh. Enoch, Nj. Soewarni Pringgodigdo”.
Wali Kota Yogyakarta yang Pertama
Dari tinjauan beberapa pustaka, jelas sudah kehadiran Mochamad Enoch di Yogyakarta adalah untuk mengikuti kepindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Karena Jakarta diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sejak 29 September 1945. Di sisi lain, agar Republik Indonesia bertahan, Soekarno-Hatta menerima usulan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 2 Januari 1946 agar Yogyakarta dijadikan sebagai ibu kota sementara.
Demikianlah, 3 Januari 1946 malam, Soekarno pergi dari belakang rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta Pusat. Di situ sudah ada gerbong kereta api yang ditarik lokomotif yang akan mengangkut rombongan pemerintah Republik Indonesia yang akan mengungsi. Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta.
Bisa jadi di antara anggota rombongan yang turut ke Yogyakarta itu adalah Mochamad Enoch, sebagai salah seorang pejabat negara yang secara logis harus pula pindah ke ibu kota yang baru. Bila benar, artinya Enoch berada di Yogyakarta terhitung sejak 4 Januari 1946 sekaligus dengan penetapan kota tersebut sebagai ibu kota Republik Indonesia sementara.
Dengan demikian, saya dapat memahami posisi saat Enoch menyatakan penolakan terhadap pembentukan Negara Pasundan oleh Suriakartalegawa pada 4 Mei 1947 atau sebulan setelah Enoch turut pindah ke Yogyakarta. Kemudian sebulan setelah menyatakan penolakan itu terbit Undang-undang Nomor 17 tahun 1947 tentang Pembentukan, Peraturan Tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta. Undang-undang tersebut ditetapkan di Yogyakarta pada 7 Juni 1947 oleh Presiden Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Moh. Roem, serta diumumkan oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo pada 8 Juni 1947.
Orang yang terpilih untuk mengisi jabatan baru sebagai wali kota Yogyakarta yang pertama adalah Mochamad Enoch. Kantor berita Antara pada tanggal 7 Juni 1947 mengabarkan tentang “Wali Kota Jogja”. Di situ tertulis, “Dengan penetapan Presiden hari ini, R. Moh. Enoch, anggauta Dewan Pertimbangan Agoeng diangkat mendjadi Wali Kota Jogjakarta”.
Menurut berita Kedaulatan Rakjat edisi 20 Juni 1947 (dalam arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id), pelantikan Enoch oleh kepala daerah akan dilakukan di Bangsal Kepatihan Danoeredjan serta dihadiri presiden dan menteri dalam negeri pada 23 Juni 1947. Dalam beritanya dikatakan, “Pada tanggal 23-6-47 Wali Kota Jogjakarta akan dilantik oleh Kepala Daerah, bertempat di Bangsal Kepatihan Danoeredjan. Lantikan akan dikoendjoengi oleh badan2 dan didengarkan dengan berdiri”.
Kedaulatan Rakjat edisi 24 Juni 1947 (dalam arsipdanperpustakaan.jogjakota.go.id), menyatakan kabar berikutnya. Kedaulatan Rakjat memberitahu bahwa pelantikan Mochamad Enoch yang terpilih sebagai wali kota Yogyakarta pada 23 Juni 1947 terpaksa diundurkan hingga ada pengumuman lebih lanjut. Dalam berita “Pelantikan Wali Kota Dioendoerkan” itu disebutkan “Berhoeboeng dengan sesoeatoe hal, maka pelantikan Wali Kota Jogja, m. R. Moh. Enoch, jang moelai akan dilangsoengkan kemaren, terpaksa dioendoer ...”
Ternyata Mochamad Enoch tidak lama menjabat sebagai wali kota Yogyakarta. Karena pada 22 Juli 1947, Presiden Soekarno mengangkat gantinya, yaitu Mr. Poerwokoesoemo. Alasan pertama dan terutama mengapa Enoch hanya menjabat sebentar saya temukan dalam buku Daerah Istimewa Jogjakarta (1953) terbitan Kementerian Penerangan (dalam Jogja Memilih: Sejarah Pemilu 1951 dan 1955 di Yogyakarta, 2018, oleh Uji Nugroho W., dkk).
Di situ disebutkan, meski ada kekeliruan, dengan menyebutkan Mochamad Enoch, sebagai orang PNI: “Pada Juni 1947 Kotapraja Yogyakarta didirikan dengan walikota pertama Moch. Enoch yang merupakan orang PNI. Sebagai orang Sunda yang tidak dikenal oleh masyarakat Yogyakarta serta tidak mampu berbicara bahasa Jawa, rasa percaya masyarakat, termasuk mereka yang bekerja dalam pemerintahan kota, rendah. Hal ini terlihat dalam penurunan gairah pegawai. Hal ini disadari oleh pemerintah pusat yang mengganti walikota tersebut”.
Baca Juga: BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #12: Menjadi Dosen Zaman Pendudukan Jepang
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #13: Menghidupkan Lagi Paguyuban Pasundan
BIOGRAFI MOCHAMAD ENOCH #13: Menghidupkan Lagi Paguyuban Pasundan
Menteri Pekerjaan Umum
Alasan lain mengapa Mochamad Enoch hanya sebentar menjabat sebagai wali kota Yogyakarta adalah pengangangkatannya sebagai menteri pekerjaan umum dalam Kabinet Amir Sjarifuddin ke-1 (3 Juli 1947-11 Nopember 1947).
Berita pembentukan kabinet baru itu antara lain disiarkan dalam koran Nasional edisi 4 Juli 1947. Di situ ada berita bertajuk “Kabinet Baroe selesai Dibentoek”. Di berita dikatakan, “Jogja: Kemis – Setelah mengalami kegagalan dlm pembentoekan kabinet koalisi seperti jg diperintahkan Presiden pada tg 30 Djoeni kepada keempat formateur, maka perintah ke-2 oentoek membentoek kabinet nasional kepada Mr. Amir Sarifoeddin, Dr. A.K. Gani dan Drs. Setiadjid roepanja dapat diselenggarakan dgn lantjar”.
Berikutnya dalam berita disertakan susunan kabinet beserta afiliasi partai pada para menteri yang diangkat. Dalam susunan tersebut Moh. Enoch tertulis sebagai “Menteri Pekerdjaan Oemoem” tanpa keterangan partai asalnya. Sementara yang diangkat menjadi “Menteri Moeda Pekerdjaan Oemoem” adalah Ir. Laoh, yang berasal dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
Sebagai catatan, redaksi koran Nasional menyatakan dalam usianya yang baru 22,5 bulan, Republik Indonesia telah lima kali mempunyai kabinet. Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin ke-1 semuanya ada 34 kursi menteri dan menteri muda atau wakilnya dan 19 orang di antaranya orang yang pertama kali menjadi menteri, sedangkan 13 orang lainnya pernah menjadi menteri.
Di antara yang pernah menjadi menteri antara lain Mr. Amir Sarifoeddin, Dr. Gani, Setiadjid, Mr. Abd. Madjid, H.A. Salim, Aroedji, Mr. Maramis, Ir. Djoeanda, Ir. Laoh, Dr. Leimena. Mr. Soesanto, Hamengkoe Boewono, dan Wikana. Sementara yang terus-menerus menjadi menteri adalah Mr. Amir Sarifoeddin. Dari sisi partai pengusung, Kabinet Amir Sjarifuddin ke-1 terdiri atas 7 orang perwakilan PSII, 7 orang wakil PNI, 6 orang wakil Partai Sosialis, dan 4 orang wakil PBI.
Media berbahasa Belanda banyak juga yang menyiarkan pembentukan kabinet di bawah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin itu. Saya antara lain menemukan Algemeen Handelsblad, Twentsch Dagblad Tubantia en Enschedesche Courant, dan Arnhemsche Courant edisi 3 Juli 1947. Semuanya terbitan negeri Belanda. Sementara di Indonesia, media berbahasa Belanda yang mengabarkannya antara lain Algemeen Indisch Dagblad dan Het Dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia edisi 4 Juli 1947.
Dari koran-koran tersebut, dapat diketahui dalam kabinet baru itu ada seorang perdana menteri beserta dua wakilnya plus 34 orang menteri. Ini merupakan kabinet koaliasi, tetapi tidak mencapai kesepakatan dengan Masyumi. Dalam hal ini, Mochamad Enoch bersama Soerowirono (wakil atau menteri muda pendidikan), Dr. Ong Eng Bie (menteri muda keuangan), Ir. Soekiadi (menteri penerangan), dan Ir. Djoeanda (menteri komunikasi), merupakan menteri yang tidak berpartai atau tidak menjadi wakil dari partai apa pun (partijloos).
Karena tidak berpartai inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa Mochamad Enoch kemudian digeser wakilnya yang berasal dari PNI. Fakta tersebut saya temukan dalam Het Dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia edisi 2 September 1947 dan Algemeen Indisch Dagblad edisi 3 September 1947.
Dari kedua koran, saya mendapat kesan Mochamad Enoch mengundurkan diri sebagai menteri pekerjaan umum. Karena dalam berita dikatakan pihak redaksi kedua koran itu mendengar dari sumber terpercaya, melalui siaran radio, bahwa R. Moh. Enoch, bekas direktur pekerjaan umum Kabupaten Bandung, telah menerima surat pemberhentiannya sebagai menteri pekerjaan umum, yang merupakan permintaannya sendiri. Alasan-alasannya belum diketahui. Wakil menteri pekerjaan umum, Ir. Laoh, diangkat untuk menggantikan posisi Enoch.
Dalam Susunan Kabinet2 RI dan Riwajat Hidup Ringkas Para Menteri 1945-1953 dikatakan jabatan “Menteri Moeda Pekerdjaan Oemoem” itu “ditiadakan (tidak diisi) bersama-sama pengangkatan Ir. H. Laoh mendjadi Menteri Pekerdjaan Oemoem” dan “Moh. Enoch 11 Agustus 1947 berhenti dan diganti oleh Ir. H. Laoh”.