• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (5): Polemik Banteng Priangan dengan De Preangerbode

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (5): Polemik Banteng Priangan dengan De Preangerbode

Banteng Priangan terbit pertama kalinya pada Juli 1929, mempunyai markas di Regentsweg 5, Bandung. Media berbahasa Sunda ini melibatkan Sukarno.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Surat kabar Banteng Priangan yang dikelola oleh Gatot Mangkoepradja dan dibantu oleh Sukarno bersama Iskaq Tjokrohadisurjo. (Dok. Penulis)

16 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Banteng Priangan, media di bawah kendali Gatot Mangkoepradja, menyanggah pernyataan yang ditunjukkan oleh A.I.D De Preangerbode. Hal ini tercatat dalam Banteng Priangan edisi 1 September 1929 yang memberikan keterangan bahwa surat kabar berbahasa Belanda itu pada tanggal 20 Agustus menyebut Banteng Priangan sebagai penghasut. Bukan hanya itu. De Preangerbode juga mencap seluruh artikel Banteng Priangan sebagai tulisan kotor. Bahkan tudingan selanjutnya mengarah pada desas-desus jika Gatot cs. ingin kenal dengan aparat polisi melalui tulisan-tulisannya itu.

Dengan terbit pertama kalinya pada Juli 1929, Banteng Priangan mempunyai markas di Regentsweg 5, Bandung. Media berbahasa Sunda ini bukan hanya dinakhodai oleh Gatot Mangkoepradja sebagai Hoofdredacteur, tapi juga melibatkan Sukarno dan Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai pembantu. Di bagian muka paling atas media ini menampilkan gambar banteng dengan tagline, Soerat Kabar Geusan Rajat: Goena Pangdeudeul Pergerakan Nasional Indonesia. Setelahnya tertulis juga di bagian bawah yang berisi: Dikaloearkeun sapoeloeh poe sakali ko Comite Indonesia Merdika. Dengan arti, bahwa surat kabar ini terbit setiap sepuluh hari sekali oleh Comite Indonesia Merdika.

Karena dikelola oleh kaum nasionalis, Banteng Priangan tentu banyak menyajikan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kebangsaan. Selain itu media ini pun menyajikan seputar aktivitas PNI terutama di Bandung dan kawasan Priangan lainnya. Salah satu artikel yang mungkin menyulut perhatian De Preangerbode yakni berjudul Koemaha Maksoedna Pamarentah pada edisi 7 Juli 1929. Artikel tersebut menjelaskan tentang sikap pemerintah Hindia Belanda yang membuat aturan terkait sekolah rakyat.

“Ajeuna Rahajat Indonesia pada oesaha njiar kapinteran, ngamadjoekeun baroedakna soepaja arasoep ka sakola, sabab geuning ari sakola anoe diadegkeun koe pamarentah mah lain nambahan, tapi ngoerangan. Njieun kapinteran teh kudu kalawan sakola. Tapi geuning ajeuna djol aja atoeran ti pamarentah anoe diseboet ordonnantie sakola liar, anoe katjida pisan direka-rekana nepikeun ka kabogaan sipat ngahalang-halang kana ngarongkahanana sakola-sakola anoe diadgekeunana (Sekarang Rakyat Indonesia saling berusaha mencari kepintaran, memajukan anak-anaknya supaya masuk ke sekolah, karena sekolah yang didirikan oleh pemerintah bukannya bertambah, malah berkurang. Membuat kepintaran itu harus disertai sekolah. Tetapi sekarang tiba-tiba muncul aturan dari pemerintah yang disebut ordonnantie sekolah liar, yang begitu direka-reka sampai-sampai mengandung sifat menghalang-halangi terhadap sekolah-sekolah luar biasa yang didirikannya)”.

Sasaran Preangerbode sebetulnya bukan pada Banteng Priangan, namun terhadap PNI sebagai kelompok nasionalis non-kooperatif. Salah satu tindakan represif yang dilakukan Preangerbode yakni saat pertemuan terbuka yang digelar oleh PNI cabang Malang. Dalam pertemuan itu Mr Joesoef menjelaskan soal azas PNI yang berhaluan non-kooperatif, yang menurutnya PNI tidak akan pernah ikut campur dalam urusan pemerintah Hindia Belanda. Sehingga dari penjelasan itu muncul klaim dan hasutan Preangerbode kepada pemerintah agar pemerintah kolonial segera melakukan tekanan terhadap PNI.

“Juli 1929 P.N.I tjabang Malang geus ngajakeun Openbare Vergadering. Dina eta openbare vergadering Mr. Joesoef geus nerangkeun azasna P.N.I (grondbeginselna) nja eta azas non-cooperation, hartina teu arek tjampoer oeloebioeng hal oeroesan-oeroesan djeung pamarentah di Oost Indie (Indonesia). A.I.D. geus ngasoet-ngasoet ka pamarentah soepaja pamarentah ngajakeun sikep keras terhadap P.N.I, sarta A.I.D. mere katerangan saeutik tina hal haloean P.N.I. (Juli 1929 PNI cabang Malang telah mengadakan Openbare Vergadering. Dalam pertemuan terbuka itu Mr. Joesoef sudah menjelaskan azas PNI yaitu azas non-kooperatif, yang artinya tidak akan ikut campur dalam urusan dengan pemerintah di Hindia Belanda. A.I.D. sudah menghasut pemerintath agar pemerintah menunjukkan sikap keras terhadap PNI, lalu A.I.D. memberikan sedikit mengenai haluan PNI)” (Banteng Priangan 20-30 Julis 1929).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (3): Partai Nasional Indonesia Afdeeling Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (4): Pergerakan PNI dalam Pengawasan Pemerintah Kolonial

Dituding Lempar Rumah dan Rusak Pagar

Serangan A.I.D. kepada kaum nasionalis, dalam hal ini kelompok Sukarno yang pro terhadap kemerdekaan, terus menggeliat melalui tudingan-tudingan yang dilancarkannya. Redaksi Banteng Priangan mencatat salah satu tudingan tersebut berkenaan dengan tragedi pelemparan terhadap dua rumah anggota Partai Merah Putih, H. Samsoedin dan Kasdi di Gegerkalong. Menurut laporan Preangerbode kejadian itu menunjukkan bukti pengkhianatan kelompok nasionalis. Meskipun tudingan itu tidak terbukti benar dan Banteng Priangan membantah tudingan tersebut dengan menyebut bahwa A.I.D. telah memutarbalikkan fakta (Banteng Priangan 1 September 1929).

Selain itu, perkembangan Partai Nasionalis Indonesia yang semakin masif memang menjadi faktor serangan A.I.D. kepada Gatot dkk. Tidak sedikit serangan A.I.D. ditujukan kepada anggota PNI di daerah-daerah. Hal ini sebagaimana tergambarkan dalam tudingan A.I.D. kepada anggota PNI di Lembang yang telah merusak pagar rumah milik orang lain. Bahkan menurut catatan Banteng Priangan, A.I.D. menuding anggota PNI telah menghina ibunda raja Belanda, Koningin Emma. Tudingan itu jelas merupakan pukulan terhadap redaksi Banteng Priangan. Meskipun bagi Gatot dkk. hal itu bukanlah sebuah ancaman besar. Sehingga redaksi Banteng Priangan kembali melancarkan serangan atas apa yang telah ditulis oleh media berbahasa Belanda itu.

“Loba-loba pitenahan ti A.I.D. ngagogorengkeun partai oerang diseboetkeun jen di Lembang aja hidji lid ngaran Soeta geus ngaroeksak pager batoer. Kadoea dina A.I.D. tgl 22 Agustus: njeboetkeun partai lid ngahinakeun Iboe radja Koningin Emma. Koering teu njaho ti mana A.I.D. meunangna ieu kabar. Naha ti setan kitoe, sabab di Lembang euweuh lid ngaran Soeta, djeung teu kalaporan kitoe kijeu. Kadoea anggauta Partai Nasional Indonesia njaho adat kasopanan, moal nepika ngarendahkeun diri njieun perhinaan ka noe sedjen (Banyak fitnah dari A.I.D. mencela partai kita yang menyebutkan bahwa di Lembang ada seorang anggota bernama Soeta telah merusak pagar milik orang lain. Yang kedua dalam A.I.D. tanggal 22 Agustus: disebutkan bahwa anggota partai telah menghina Ibu Radja Koningin Emma. Saya tidak mengetahui dari mana A.I.D. mendapat berita ini. Apakah dari setan, karena di Lembang tidak ada anggota yang bernama Soeta, dan tidak juga ada laporan mengenai kejadian itu. Kedua anggota Partai Nasional Indonesia paham adat kesopanan, tidak akan sampai merendahkan diri yang membuat hina kepada orang lain)” (Banteng Priangan 1 September 1929).

Dengan berbagai serangan itu, dapat dikatakan, jika kelompok nasionalis seperti PNI jelas-jelas dianggap sebagai ancaman besar bukan hanya bagi pemerintah kolonial. Meski begitu, kalangan nasionalis seperti PNI menjadikan polemik ini kian meneguhkan prinsip non-kooperatifnya sebagai bentuk perlawanan terhadap keburukan yang dilakukan oleh semua antek-antek pemerintah kolonial yang kerap memberikan tindakan represif.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//