• Berita
  • Menanti Tanggung Jawab Pemulihan Lingkungan dan Warga Terdampak Megaproyek Kereta Cepat Jakarta Bandung

Menanti Tanggung Jawab Pemulihan Lingkungan dan Warga Terdampak Megaproyek Kereta Cepat Jakarta Bandung

Warga terdampak megaproyek Kereta Cepat Jakarta Bandung di perumahan Tipar Silih Asih, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, sampai kini menunggu perhatian.

Kereta cepat Jakarta Bandung di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, saat menjalani uji dinamis sebagai bagian dari showcase untuk Joko Widodo dan Xi Jinping, Rabu (16/11/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri11 Januari 2023


BandungBergerak.idDi balik gebyar pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) terselip cerita yang menggantung di benak warga terdampak di perumahan Tipar Silih Asih, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Rumah mereka rusak karena getaran akibat pembangunan terowongan. Protes sudah dilancarkan. Namun hingga kini belum membuahkan hasil.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengingatkan bahwa pembangunan kereta cepat yang progresif selama ini harus dibarengi dengan perlindungan dan pemulihan terhadap lingkungan, seperti mengadakan audit kerusakan lingkungan. Semua ini tak bisa diserahkan kepada PT KCIC sebagai pengembang megaproyek kereta cepat. Pemerintah harus turun tangan.

Heru Agam, salah seorang warga menuturkan peristiwa pembangunan terowongan yang berlangsung lima tahun lalu. Terowongan dibangun dengan cara meledakkan bertubi-tubi dari tanggal 24-28 September 2019 telah merusak komplek pemukiman warga yang dihuni 500 jiwa dari 120 rumah.

Waktu itu, kata Heru Agam, pembangunan dengan peledakan-peledakan dilakukan tanpa ada pemberitahuan dari PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China).

Manakala warga melancarkan protes, perusahaan mengklaim tidak tidak tahu terdapat kawasan zona merah padat penduduk di wilayah tersebut. Menurut Heru, perusahaan mengakui ketidaktahuannya dan tidak benar-benar menganalisis masalah dampak lingkungan dari pembangunan proyek kereta cepat.

Heru sangat terkejut mendapati fakta demikian karena bagaimana mungkin pembangunan sebesar ini tidak dipertimbangkan secara komprehensif.

“Sementara kami punya data dari provinsi, wilayah kami warna ungu, itu artinya rawan terhadap getaran keras, ketika kami serahkan mereka tidak percaya,” terang Heru, kepada BandungBergerak.id, (Kamis, 05/01/2023).

“Ledakannya sangat keras seperti gempa bumi, tidak ada sirine, warga lagi ngumpul langsung protes. Setelah itu ada hujan, rumah kami retaknya bertambah, bahkan di salah satu rumah daerah saya (atas bukit) ada dinding kamar mandinya amblas,” cerita Heru, mengulang peristiwa yang tak mungkin ia lupakan.

Titik ledak terjadi di kanal 11-1, yaitu terowongan untuk pembuangan limbah dengan mekanisme memotong jalur utama. Saat ini tempatnya memang tidak ada karena sudah ditimbun, namun ironisnya menciptakan dampak berkepanjangan.

Dalam protesnya, warga menuntut kompensasi atas segala kerusakan yang terjadi. Tapi hanya perbaikan dinding rumah saja yang diberikan oleh perusahaan.

Heru menceritakan pada tahun 2016, ketua RW setempat pernah datang mewakili warga dalam pertemuan yang diinisiasi KCIC. Mereka memberi tahu bahwa akan ada pembangunan dengan pengeboran kereta cepat melintasi daerahnya.

Kemudian RW menyampaikan agar proyek tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan warga. Namun setelah itu tidak ada pertemuan lainnya sampai 2019.

Oleh karena itu betapa kaget warga akan kebijakan sepihak yang dilakukan pemerintah dan perusahaan, kala proses pengeboran digantikan dengan peledakan secara tiba-tiba yang berdampak signifikan terhadap kehidupan warga.

Warga telah melakukan mediasi untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari perusahaan. Tapi KCIC tetap bersikukuh bahwa segala kebijakan yang diambil telah sesuai prosedur. Warga juga mempertanyakan kelengkapan dokumen Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL).

“Kami desak AMDAL-nya mana, kalau daerah kami sudah aman dibuat terowongan, warga menuntut adanya penelitian,” ungkap Heru.

Peneliti Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung Aria Mariany menanggapi bahwa tentu pelaksanaan suatu pembangunan berskala besar seharusnya telah memiliki izin dari berbagai pihak. Selain adanya AMDAL, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) kota dan kabupaten juga turut andil memberikan izin di dalamnya.

Izin tersebut dengan mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan digunakan untuk seluruh kebutuhan aspek terbangunnya kereta cepat.

“Risiko bencananya yang sudah dilalui itu, kalau menurut saya seharusnya kajian itu sudah dilakukan, minimal AMDAL-nya sudah dilihat, bangkitan (Transit Oriented Development atau pembangunan yang terintegrasi dengan sistem Tata Kota) itu sudah dilihat,” ujarnya.

Dengan dibangunnya serangkaian stasiun kereta cepat, akan berpengaruh terhadap pergerakan lalu lintas transportasi di wilayah Bandung. Dalam hal ini bangkitan berkaitan dengan potensi kepadatan kemacetan yang akan ditimbulkan.

Karena bukan tidak mungkin beresiko menimbulkan kemacetan baru di wilayah tertentu, atau mungkin memperparah kemacetan terdahulu. Yakni dengan munculnya kebutuhan-kebutuhan lain sebagai penunjang di kawasan stasiun, misalkan transportasi publik, restoran, penginapan barangkali yang dibutuhkan oleh pendatang. Hal itu idealnya memang sudah diperhitungkan.

“Jika itu untuk pembangunan komersil, harus ada aturannya, berdasarkan pengendalian, monitoring, dan evaluasi,” tambahnya.

Ia menegaskan apabila daerah itu rawan bencana, harus diteliti apa saja dan mitigasi yang harus ditawarkan, itu baru pra-tata ruangnya saja, belum lagi terikat faktor eksternalnya (TOD). Ketika akan ada pembangunan di situ, kajian kelayakan harus diperhatikan secara detail, khususnya tentang AMDAL, bagaimana pembanguna tersebut berpengaruh terhadap dampak lingkungan.

“Saya melihatnya dari dua sisi, karena pertama tidak ada pembangunan yang tidak akan berdampak pada lingkungan atau resiko bencana, tapi kalau kita tidak melakukan pembangunan bagaimana akan ada perkembangan?” tanya Aria.

Akan tetapi apabila memang sudah ada AMDAL, seharusnya telah ada kajian mengenai mitigasi bencana lingkungan. Kalau untuk mitigasi bencana harus dipertimbangkan secara strukral, itu berkaitan dengan SOP (Standard Operating Procedure) ketika terjadi bencana seperti gempa, tanah longsor, banjir, evakuasi kecelakaan dan lain sebagainya.

Kereta cepat Jakarta Bandung di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat menjalani uji dinamis sebagai bagian dari showcase untuk Joko Widodo dan Xi Jinping,16 November 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kereta cepat Jakarta Bandung di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat menjalani uji dinamis sebagai bagian dari showcase untuk Joko Widodo dan Xi Jinping,16 November 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penelitian Mandiri Warga

Lebih lanjut, karena tidak ada jawaban jelas dari perusahaan, Heru menuturkan warga berinisiatif melakukan penelitian dengan bantuan Lembaga Afiliasi Peneliti dan Industri (LAPI) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Peneliti mengambil sampel tanah di wilayah pegunungan sekitar proyek sedalam 90 meter dengan mengadakan uji ledakan berdasar aturan yang telah ditetapkan mereka, yakni tidak boleh dari tiga milimeter per-detik. Ledakan pun dilakukan pada 1,5 dan efeknya sudah ada getaran dibarengi perubahan struktur tanah.

Berdasarkan penelitian, warga menyebut peledakan yang dilakukan di proyek terowongan KCIC melebihi standar yang seharusnya. Warga sangat menyayangkan bahwa pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan keselamatan bagi warga terdampak dalam pembangunan ini.

Selang waktu berjalan, peneliti LAPI menemukan beberapa unsur lapisan, mulai dari tanah, batu berpori, lumpur, dan lainnya. Katanya bagian paling berbahaya adalah lapisan lumpur. Karena jika umpamanya terjadi getaran yang melampaui kekuatan lereng gunung, tanahnya akan bergeser lalu menyebabkan tanah longsor yang tidak karuan.

Menurut Heru, dalam protesnya warga berharap dua hal, pertama bagaimana mekanisme pertanggungjawaban pemerintah dan KCIC. Kedua, warga ingin hidup aman dan tenang seperti sedia kala sebelum pembangunan.

“Kalau kami di sini aman, nyatakanlah aman, dan perbaikilah rumah kami. Kalau tidak aman, nyatakanlah tidak aman, dan mau dibuat seperti, dipindahkan diganti atau seperti apa,” ungkapnya.

Heru mengungkapkan, menurut ahli geologi KBB, bahkan jika warga harus bertahan, setiap rumah warga harus ada penguatan karena adanya retakan tanah yang parah.

Baca Juga: Menelisik Potensi Gempa Bandung Raya, Pemerintah Perlu Berkomitmen Membangun Pengetahuan Mitigasi Bencana
Warga Sukabumi Dipingpong Mengkses Informasi di Saat Indeks KIP Jabar Dinyatakan Tertinggi secara Nasional
Melihat Megahnya Masjid Al Jabbar dari Setumpuk Soal di Gedebage

Nasib Lingkungan Terampas

Berdasarkan temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung sudah dimulai sejak 2018 yang dilengkapi AMDAL 20 Januari 2016. Namun pada praktiknya pedoman AMDAL proyek ini belum diimplementasikan.

Buktinya, menurut Walhi Jawa Barat, masyarakat sekitar wilayah KCJB mengalami kerugian dari segi lingkungan fisik maupun sosial.

“Dokumen AMDAL-nya dibuat, tapi itu hanya tekstual, dampak lingkungan itu tidak berbanding lurus dengan praktek di lapangan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong, Rabu (04/01/2023).

Merujuk penelitian Padjadjaran Journal of International Relations berjudul Analisis mengenai Dampak Lingkungan Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, disebutkan bahwa proses pembuatan AMDAL berlangsung cepat yang terjadi antara 19-20 Januari 2016.

Jurnal tersebut menyatakan tidak sedikit pihak yang meragukan proses AMDAL ini. Karena seharusnya perlu waktu cukup lama untuk proses melengkapi dokumennya.

Pembangunan terowongan dinilai tidak ramah lingkungan karena memilih memakai peledak, bukan oleh alat bor berpegas yang lebih ramah lingkungan yang tidak terlalu menyebabkan polusi udara. Operasional pembangunan juga berlangsung 24 jam secara berturut-turut.

Hal itu berdampak pada warga. Selain warga Tipar Silih Asih, Walhi Jabar mencatat kejadian serupa dirasakan di 11 rumah di Kampung Tegal Nangklak, Desa Bunder, Kecamatan Jatiluhur, di mana rumah mereka hancur dan tidak bisa ditempati dikarenakan pergeseran tanah dan keretakan.

Fatalnya ketika nanti air masuk ke dalam tanah yang retak, maka akan mengakibatkan tanah longsor. Alhasil kerusakan lingkungan yang mendera menimbulkan keresahan bagi warga setempat.

“Kalau kata warga setiap kali hujan besar, mereka tidak bisa tidur nyenyak, karena khawatir terjadi longsor, karena daerah perbukitan,” ungkap Meiki.

Mengalami kejadian yang menghancurkan ruang hidupnya, membuat warga dua daerah tersebut mengadu langsung ke tingkat desa, KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan KCIC. Namun, sejak tahun 2019 tidak ada tanggung jawab hingga saat ini dari PT KCIC maupun pemerintah.

“Kalau di Tegal Nangklak, menurut pengakuan warga sudah ada janji akan diganti oleh KCIC, mereka menuntut, karena warga sudah mengadukan,” terang Meiki.

Selain itu, berkurangnya wilayah resapan air dan banyaknya saluran drainase yang ditutup berimbas pada terjadinya banjir. Seperti yang terjadi di kawasan perumahan warga yang berada di sisi jalur kereta api, salah duanya di Margawangi dan Gedebage. Dilanjutkan banjir yang terjadi di jalan tol sampai menggenang jalur tol, akhirnya mengganggu jalur lalu lintas masyarakat.

Dalam hal ini proyek kereta cepat meliputi empat kawasan, di antaranya Jakarta, Karawang, Walini/ Padalarang,dan Tegal Luar, dan di sekitar wilayah tersebut akan dibangun Transit Oriented Development (TOD).

Benar adanya jika pihak pemerintah maupun perusahaan kereta cepat mengklaim dengan adanya proyek tersebut akan lebih mempersingkat waktu tempuh transportasi publik dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun bagi Walhi Jabar implikasinya akan banyak sekali karena telah menghancurkan ruang hidup masyarakat.

Terlebih jika kawasan tersebut dikelilingi area persawahan yang notabenenya daerah resapan air, maka potensi banjir tidak dapat dihindari.

“Air ini akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, kalau tidak ada aliran akan tergenang, terbayang konsep TOD itu akan dibuat di setiap empat stasiun pemberhentian,” jelasnya.

Meiki memberikan contoh di stasiun Tegalluar telah dibangun kawasan TOD di atas lahan pertanian sawah ratusan hektar yang terpaksa dijual para pemiliknya. Upaya penolakan tidak berani warga lakukan karena khawatir mendapat persekusi.

Bagi Meiki, alih fungsi lahan yang dilakukan secara besar-besaran karena proyek kereta cepat tidak hanya berdampak luas pada warga, namun juga berpengaruh buruk pada lingkungan.

Proyek kereta cepat merupakan sarana untuk menopang komersialisasi. Terciptanya kawasan komersil mengharuskan warga setempat beradaptasi dengan kehidupan baru yang notabenenya cenderung merujuk pada skala menengah ke atas.

Padahal kenyataannya banyak warga lansia yang tinggal di sana menjadi buruh dan harus kehilangan mata pencaharian, karena sawah garapannya ditanam beton-beton bangunan untuk pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Maka wajar jika muncul pertanyaan, pembangunan ini sebetulnya ditujukan untuk siapa, apakah untuk publik atau kelompok tertentu?

Tidak dapat dihindari, pembangunan kereta cepat akan menimbulkan pergesaran kehidupan ekonomi masyarakat. Kalau di AMDAL disebutkan masyarakat yang kehilangan pekerjaannya akan ditangani dengan diakomodir melalui peluang kerja baru, namun sebagai buruh tani yang sudah di usia senja, mereka terbatas kemampuannya.

Ketika memiliki pekerjaan baru pun pasti tidak jauh menjadi tukang kebun. Karena jika harus berjibaku dengan pekerjaan baru yang lain, maka mereka akan kesulitan bersaing dengan sumber daya manusia baru. Bagaimanapun secara aktivitas mereka tidak terbiasa dengan pola kerja demikian.

Meskipun mereka dilatih, nyatanya sudah tidak mampu lagi untuk menyerap pengetahuan kerja baru. Dan pelatihan yang biasanya bersifat formalitas ini, pendapat Meiki tidak dibimibing sampai berhasil.

“Kalau buruh tani serasa mengolah lahan sendiri walaupun itu milik juragan. Tapi kalau misalkan jadi pengurus taman hotel, mall dan lainnya, mereka akan terikat perusahaan, itu hanya bagus di konsep,” terang Meiki.

Di sisi lain, masih ada harapan agar tidak menimbulkan kerusakan lebih parah ke depannya. Walaupun sudah banyak peraturan lingkungan yang dikebiri dengan adanya kebijakan-kebijakan destruktif daripada melindungi.

Meiki berharap pemerintah mau memberikan perlindungan dan pemulihan terhadap lingkungan, seperti mengadakan audit kerusakan lingkungan.

Meiki meminta pemerintah agar bertanggung jawab dan tidak menyerahkan begitu saja kepada KCIC. Karena sebetulnya dari awal pemerintah yang menginisiasi proyek ini untuk menarik investasi dan masyarakat harus menanggung deritanya secara berkelanjutan.

Hal ini harus segera ditindaklanjuti dengan pemulihan atau ganti rugi supaya fungsi alamiahnya berjalan. Sehingga terbangun pula budaya tanggung jawab terhadap lingkungan.

“Selama ini kami melihat tidak ada tanggung jawab serius,” tutupnya.

Meski demikian, PT KCIC mengklaim bahwa proses pembangunan terowongan (tunnel) telah sesuai aturan. Dalam siaran pers 22 Juni 2021, PT KCIC menyatakan bahwa peledakan atau blasting Tunnel 11 di sekitar Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat mengikuti prosedur dan aturan yang berlaku.

Dalam pelaksanaannya, PT KCIC menggandeng LAPI ITB untuk mengawasi dan memastikan aktivitas tidak melanggar aturan dan mengantisipasi dampak yang mungkin timbul.

Corporate Secretary PT KCIC, Mirza Soraya menyebutkan, semua aktivitas blasting, seperti jadwal dan jumlah bahan peledak dilaksanakan sesuai dengan rekomendasi LAPI ITB. Dalam proses pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung, PT KCIC disebut selalu memastikan jika semua pelaksanaan konstruksi sesuai dengan aturan yang berlaku dan mengedepankan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

"Semua kegiatan blasting yang dilakukan di sepanjang trase pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan aturan dan kaidah yang direkomendasikan LAPI ITB," ujar Mirza.

Mengenai keluhan warga, Mirza mengaku PT KCIC sudah melakukan koordinasi dengan pihak terkait. Termasuk mengikuti rapat bersama dengan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat dan Kepala Bagian Pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dari hasil rapat itu diketahui jika kerusakan di bangunan hunian warga yang ditemukan bukan akibat terdampak dari aktivitas tunnel blasting.

Mirza menekankan bahwa selain dengan pemerintah, koordinasi dan komunikasi dengan konsorsium kontraktor juga terus dilakukan. Sehingga jika ada kendala di lapangan, persoalan yang dihadapi bisa segera ditindaklanjuti.

Mirza menambahkan, untuk mengantisipasi kerusakan rumah warga, PT KCIC bersama LAPI ITB sudah melakukan pemasangan alat crackmeter di area permukiman warga yang mungkin terdampak aktivitas blasting. Melalui alat crackmeter ini, akan diketahui apabila terjadi kerusakan akibat getaran dari aktivitas blasting.

Jika ditemukan kerusakan yang terjadi di rumah warga terbukti merupakan dampak dari aktivitas blasting tunnel, PT KCIC akan memberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan disepakati.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//