Menelisik Potensi Gempa Bandung Raya, Pemerintah Perlu Berkomitmen Membangun Pengetahuan Mitigasi Bencana
Bandung Raya yang memiliki potensi gempa bumi sesar Lembang perlu mewaspadai lindu yang merusak. Kesiapsiagaan bencana menjadi hal yang mendesak.
Penulis Awla Rajul11 Januari 2023
BandungBergerak.id - Gempa Cianjur digolongkan gempa dengan kekuatan menengah dengan magnitudo 5,6. Tetapi gempa ini mampu menghasilkan kekuatan merusak dan menelan ratusan korban jiwa. Peristiwa memilukan ini menjadi catatan penting tentang perlunya memperkuat pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana.
Peneliti dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, menyatakan masyarakat harus memiliki pengetahuan yang kuat terhadap kebencanaan. Pengetahuan masyarakat akan mampu terbentuk melalui peran pemerintah.
Maka pelajaran dari gempa Cianjur, Irwan berharap pemerintah membuat kebijakan untuk membangun pengetahuan dan kewaspadaan bencana ini, khususnya kegempaan dan kesiap-siagaan dalam meghadapi bencana.
"Kalau gempa dengan magnitudo yang tidak terlalu besar (Cianjur) sekali pun bisa memberikan dampak yang signifikan, itu yang menurut saya catatan penting dari beberapa kejadian bencana,” ungkap Meilano kepada BandungBergerak selepas diskusi “Menelisik Potensi Gempa Bandung Raya” bersama Bandung Mitigasi Hub dan Desa Cotta di Desa Dotta Café, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Selasa (10/1/2023).
Irwan kemudian mengacu kejadian gempa bumi yang disebabkan sesar Lembang pada 2011. Energi gempa buminya relatif kecil, yakni 3 SR, namun mampu merusak 100 rumah di Kampung Muril Rahayu.
Artinya, Bandung Raya yang memiliki potensi gempa bumi sesar Lembang juga perlu mewaspadai lindu yang merusak. Makanya Irwan menekankan, kesiapsiagaan bencana menjadi hal yang mendesak. Hal ini bisa dimulai melalui tahap sederhana, yaitu peningkatan pemahaman mengenai bencana.
Terlebih hasil riset yang dilakukan oleh Badan Perencanaan, Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang) Kota Bandung dengan ITB menunjukkan bahwa literasi bencana di Kota Bandung masih rendah sehingga harus ditingkatkan.
Pengetahuan kebencanaan akan melahirkan kesadaran terkait kewaspadaan bencana. Namun tentu masyarakat tidak akan mendapatkan pengetahuan ini tanpa peran pemerintah. Untuk itulah pemerintah diharapkan segera memulai tindakan strategis dalam membangun mitigasi bencana. Dari situlah masyarakat akan memahami risiko bencana.
"Prosesnya harus top to down, masyarakat harus diberikan pengetahuan, tapi tidak bisa hanya masyarakat saja. Harus lewat komitmen pemerintah juga, karena kalau enggak tidak akan sustain. Ada isu baru masyarakat akan lupa lagi, ada bencana baru lupa lagi,” jelas Irwan.
Ia menekankan pengetahuan dan kesiapsiagaan tentang bencana bukan hanya dirawat di saat-saat tertentu setelah adanya bencana, tapi harus berlangsung terus-menerus.
Hal yang sama juga diamini peneliti dari Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Iyan Herwanto. Menurutnya yang sekarang terjadi adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang lebih rawan gempa memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah yang jarang terjadi gempa. Padahal seharusnya tidak demikian.
Pengetahuan mengenai gempa seharusnya terus dirawat tak kenal wilayah apa pun yang ditinggali. Iyan menyebutkan bahwa bukan hanya Bandung atau Jawa Barat, Pulau Jawa memiliki latar belakang tektonik daerah gempa karena berhubungan dengan aktivitas subduksi yang menghasilkan banyak sesar-sesar gempa bumi.
Peneliti geologi menyebut beberapa sesar memang sudah banyak dikenali masyarakat, seperti sesar Lembang, sesar Cimandiri, sesar Baribis. Namun masih banyak sesar-sesar lainnya yang jarang diketahui. Contohnya seperti gempa bumi Cianjur yang dipicu sesar gempa bumi yang belum banyak diketahui. Baru sadar keberadaan sesar ini setelah terjadinya gempa.
"Padahal sesar itu ada banyak. Sama juga dengan di Bandung. Jadi misal batu endapan Bandung kita ambil, batuan dasar itu juga banyak sesar. Jadi intinya mah kita jangan terpaku dengan kita di jalur sesar yang terkenal tadi. Di mana pun kita harus waspada,” ungkap Iyan.
Salah satu cara untuk memberikan pengetahuan secara berkelanjutan menurut Iyan adalah melalui memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan. Jika berat dalam mata pelajaran, kurikulum ini bisa melalui kegiatan ekstrakuliler atau melalui Pramuka. Hal ini penting agar kesadaran dan kesiagaan masyarakat terbangun dan terjaga secara terus-menerus.
Baca Juga: Melihat Megahnya Masjid Al Jabbar dari Setumpuk Soal di Gedebage
Tanggung Jawab Siapakah Kebersihan Sungai Cikapundung?
Warga Sukabumi Dipingpong Mengkses Informasi di Saat Indeks KIP Jabar Dinyatakan Tertinggi secara Nasional
Memaksimalkan Pentahelix dan Peran Utama Pemerintah
Pencegahan dan penanganan bencana tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak, melainkan secara bersama-sama. Unsur ini dikenal dan disebut sebagai pentahelix yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi atau pakar, dan media. Pentahelix ini harus saling gotong-royong, berkoordinasi, dan bersinergi.
Namun menurut Iyan yang terjadi saat ini konsep pentahelix dirasa kurang berjalan. Menurutnya masing-masing unsur masih masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah pemerintah perlu berperan sebagai penengah dan pengambil an keputusan.
"Jangankan pentahelix, satu disiplin ilmu saja beda-beda pendapat. Misal Sesar Lembang aja kan beda-beda walaupun sama orang kebumian. Yang satu bilang begini, satunya lagi begini. Nah harusnya ini ada satu lembaga yang mengambil keputusan. Ini gimana sesarnya, nah nanti lembaga resmi ini yang mempublikasikan. Jadi ada satu acuan,” terang Iyan.
Menurutnya, selama ini ada kebingungan pihak mana yang harus dijadikan acuan. Tidak hanya di ranah peneliti, tapi juga pemerintah. Misalnya soal gempa. Iyan menanyakan seharusnya lembaga mana yang berwenang, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Geologi atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Kalau gempa itu informasi membingungkan, Badan Geologi, BMKG atau siapa? Banyak masyarakat gak tahu,” jelasnya.
Contoh lainnya adalah di pihak peneliti. Iyan sendiri melakukan penelitian terhadap Sesar Lembang dari segi pengamatan geologi. Dari aspek morfologi Iyan meyakini sesar Lembang adalah sesar patahan menurun dengan bidang miring ke arah utara.
Beberapa publikasi mengatakan bahwa sesar Lembang membentang sepanjang 22 KM. Namun berbeda dengan yang ia temui. Melalui penelusuran sungai di sebelah timur, sekitar Sumedang selatan di sekitaran kawasan Cadas Pangeran, ia menemukan jejak-jejak sesar yang bergeser ke bawah.
Dari fenomena tersebut ia meyakini bahwa sesar Lembang adalah sesar normal atau sesar turun. Jika dikaitkan secara dimensi, sesar Lembang relatif kecil dengan sesar lainnya yang membentang hingga ratusan kilometer.
"Sesar Lembang katakanlah 30an KM, dia sebenarnya relatif kecil dibandingkan dengan sesar yang terkenal lain. Jadi kalau menurut saya dampak yang timbul kalau gempa di sesar Lembang, tidak sebesar misalnya yang terjadi di sesar Cimandiri atau sesar Baribis, gitu. Berdasarkan data geologi. Kalau dari teman-teman geofisika kan punya pendapat lain dari data kegempaan geofisika,” terangnya.
Ada tiga jenis sesar, yaitu Normal Faults, Reverse Faults, dan Strike-Slip Faults. Normal Faults adalah sesar yang menyebabkan bidang batuan mengarah ke bawah. Reverse Faults adalah bidang bebatuan yang bergerak ke atas. Strike-Slip Faults adalah gerakan bidang tanah yang bergerak secara horizontal.
Semua sesar berdampak. Sederhananya Iyan menjelaskan, sesar turun yang akan berdampak pada blok yang turun, sesar naik pada bagian yang naik, dan sesar horizontal pada kedua bagiannya. Melalui informasi yang pasti dari lembaga yang berwenang, masyarakat akan mengikuti satu informasi tersebut. Sehingga, menurutnya harus ditentukan lembaga resmi yang berwenang dan menjadi acuan bagi segala pihak.
"Jadi harus ada yang menengahi itu siapa yang resminya. Kalau sekarang yang berjalan, ahli ini ngomong begini, ahli ini ngomong ini, lembaga ini ngomongnya beda, kan masyarakat bingung. Itu harus ada pemerintah yg harus menengahi,” tegasnya.
Hal ini juga akan berdampak pada masyarakat. Masyarakat akan kebingungan mengikuti informasi yang berbeda-beda, baik dari pemerintah maupun peneliti. Karena pada akhirnya masyarakat yang akan berdampak dan menjadi korban karena kebingungan acuan dasar yang dijadikan informasi.