• Kolom
  • BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #5: Sejumlah Tulisan di Jurnal Ilmiah

BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #5: Sejumlah Tulisan di Jurnal Ilmiah

Jonathan Rigg memiliki banyak minat. Ia menulis sepuluh artikel berkaitan dengan geologi, perjalanan, etnografi, epigrafi, dan pameran dalam beragam jurnal ilmiah.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Dalam tulisan pertamanya, Jonathan Rigg berupaya menemukan situs granit di sekitar Jasinga pada 16 Juli 1837. (Sumber: VBG XVII, 1839)

28 Februari 2023


BandungBergerak.id – Setelah memiliki tanah Jasinga pada tahun 1830, Jonathan Rigg menulis dan mengisi jurnal-jurnal ilmiah baik yang diterbitkan di Hindia Belanda maupun di Singapura antara 1837 hingga 1853. Tercatat, Jonathan menulis sepuluh artikel yang berkaitan dengan geologi, perjalanan, etnografi, epigrafi, dan pameran.

Jurnal-jurnal yang memuatkan tulisannya adalah Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap (VBG) dan Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde terbitan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (The Batavian Society of Arts and Sciences, perhimpunan Batavia untuk seni dan ilmu pengetahuan); Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (TNI); dan The Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA)terbitan Singapura.

Menurut Hans Groot (Van Batavia naar Weltevreden: het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1778-1867, 2009: 63-64, 115), Perhimpunan Batavia didirikan pada 24 April 1778 atas inisiatif Jacobus Radermacher (1741-1783)  dan para pengurusnya mulai rapat pada 1 Juni 1778. Perhimpunan tersebut menerbitkan VBG antara 1779 hingga 1950 dan TBG antara 1853 hingga 1952. Sedangkan laporan-laporan kegiatannya diterbitkan dengan judul Notulen van Bataviaasch Genootschap (NBG).

TNI diterbitkan sejak 1838 oleh pendeta yang bekerja di Batavia, Wolter Robert van Hoëvell (1812-1879). Jurnal tersebut memuat kajian ilmiah terkait geografi, linguistik, sistem tanam paksa, artikel populer, dan masalah politik. Jurnalnya sempat berhenti kala Wolter diberhentikan sebagai pendeta, lalu diterbitkan lagi pada 1849, dan menyuntingnya hingga 1862. TNI berhenti terbit sejak 1894 (S.A. Buddingh, Neerlands-Oost-Indie, 1859; dan Review of Indonesian and Malayan Affairs, 1968).

JIAEA digagas oleh James Richardson Logan (1819-1869). Menurut Leslie Stephen (Dictionary of National Biography, Vol. 34, 1893: 84) dan J. Kathirithamby-Wells (Nature and Nation: Forests and Development in Peninsular, 2005: 51), James adalah penulis ilmiah, yang antara 1830-1840 pergi ke Semenanjung Malaya, dan akhirnya menetap di Penang, Prince of Wales's Island. Semula dia adalah petani nila di Bengal, India.

James tercatat sebagai anggota The Asiatic Society, anggota kehormatan The Ethnological and Geological Societies of Great Britain, dan anggota korespondensi The Batavian Society of Arts and Sciences. Tidak heran, bila antara 1843-1853 dia bermitra dengan saudaranya, Abraham, menerbitkan dan menyunting The Penang Gazette, yang setelah kematiannya pada by his son, Alexander Logan. Sejak 1847, James mulai menerbitkan dan menyunting JIAEA sejak 1847.

Baca Juga: BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #4: Pemilik Kapal Laut Jane Serena
BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #3: Saudagar di Surabaya
BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 #2: Mengembara ke Pulau Jawa
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #11: Loper Koran

Geologi dan Bangsa

Tulisan pertama Jonathan Rigg bertajuk “Sketch of the Geology of Jasinga” (VBG XVII, 1839), dengan titimangsa Jasinga, 27 November 1837. Tulisan tersebut berkaitan dengan kegeologian Jasinga. Mula-mula, Jonathan memberikan latar belakang penyelidikannya, yakni laporan Mr. Horner yang menemukan granit di sepanjang Sungai Cimadur dan Ciara, selatan Banten (“The report, that Mr. HORNER had, early in 1836, discovered Granite in the rivers Chimadur and Chiara, on the South coast of Bantam, suggested the idea, that that rock might also exist among the defiles of the mountains, South of Jasinga, notwithstanding that the Gunung Kendang intervenes and rises to the height of at least 5,000 feet above the Sea”).

Oleh karena itu, pada 16 Juli 1837, Jonathan Rigg tertarik untuk menemukan situs granit. Ia mulai menelusuri Kampung Cisusu, di barat daya Gunung Gede, lalu menjejaki ke arah hulu Sungai Cimangeunteung hingga ke hulu Sungai Cisarua, yang mengalir ke samping Gunung Gede. Lalu ke Cirempag.

Bahkan di dekat Kampung Muncang, ia menemukan dua taring (fosil) hewan bergenus Sus, tetapi bukan dari jenis babi hutan yang saat itu ada di hutan (“In these lower black strata, near Kampong Munchang, were discovered two tusks appearing to belong to some animal of the genus Sus, but too fine for any of the swine tribe, now existing in the forests”).

Selanjutnya, untuk TNI, Jonathan Rigg menulis artikel berjudul  “Bespiegelingen over de Maleijers” (TNI, Zesde Jaargang, Tweede Deel, 1844), dengan titimangsa Batavia, 26 Februari 1844. Tulisannya berkisar di sekitar refleksi mengenai asal-usul bangsa Melayu, yang menurutnya ada kaitannya dengan migrasi orang-orang dari daerah India. Migrasinya sendiri sudah lama terjadi dan agak susah ditemukan dalam tradisi bangsa bumiputra.

Menurutnya, satu-satunya cara untuk menjelaskannya adalah dengan memeriksa kesamaan bahasa dan peristiwanya (“Deze volksverhuizingen echter vonden in zulke vroege tijden plaats, dat er, in de ruwe en buitensporige overleveringen der inboorlingen, naauwlijks eenig spoor meer van te vinden is”).

Dengan cara demikianlah, Jonathan Rigg bermaksud untuk memberikan informasi seputar asal-usul bangsa Melayu di negeri yang ditinggalinya. Penduduk asli Nusantara sebenarnya, menurut Jonathan, adalah ras negro, yang keturunannya masih bisa ditemukan di Pulau Andaman, Papua Nugini, dan pulau-pulau di tenggara. Namun, pada gilirannya, mereka diganti oleh ras yang nampak sebagian Hindustani sebagian Mongolian.

Selama sepuluh hari, antara 19-28 Juni 1847, Jonathan melakukan perjalanan antara Surabaya hingga Pasuruan, bolak-balik.  (Sumber: JIAEA Vol III, 1849)
Selama sepuluh hari, antara 19-28 Juni 1847, Jonathan melakukan perjalanan antara Surabaya hingga Pasuruan, bolak-balik. (Sumber: JIAEA Vol III, 1849)

Catatan Perjalanan

Jonathan Rigg termasuk banyak menulis untuk JIAEA. Ia antara lain menulis “A Trip to Probolinggo” (Vo. II, 1848) yang ditulisnya di Surabaya pada 31 Desember 1846; “A Tour in Java: Tour from Sourabaya, through Kediri, Blitar, Antang, Malang and Passuruan, back to Sourabaya” (Vol III, 1849) yang bertitimangsa Surabaya tanggal 26 September 1847, “Tiger Fight at Solo” (Vol. IV, 1850), “Gunung Dangka or A Paradise on Earth: A Tale of Superstition“ (Vol. IV, 1850), “Ancient Javanese Inscriptions at Panataran” (Vol. V, 1851), dan “Grand Exhibition of Batavia in 1853” (Vol. VII, 1853: 261-300), titimangsa 31 Oktober 1853.

Dalam paragraf pertama “A Trip to Probolinggo”, Jonathan Rigg menjelaskan rencana perjalanannya. Konon, maksud perjalanan tersebut dilatari dengan adanya kapal baru yang diberi nama Jane Serena, untuk mengawal perjalanannya ke Paiton di Probolinggo untuk membawa kargo berupa gula dan membawanya lagi ke Singapura.

Jonathan berangkat dari Surabaya pada 22 November 1846, subuh, saat pasang baru berubah sesuai dengan yang diharapkan, sehingga jangkar segera diangkat dan kapal mulai mengapung cepat ke arah timur. Kemudian setelah menghadiri pengangkatan bupati Probolinggo dari tumenggung ke bupati serta menyaksikan turnamen bumiputra, Senenan, yang diselenggarakan untuk acara tersebut, ia kembali ke Surabaya pada malam dari 6 ke 7 Desember 1846.

Perjalanan berikutnya yang ditulis oleh Jonathan Rigg adalah dari Surabaya ke Pasuruan, “A Tour in Java: Tour from Sourabaya, through Kediri, Blitar, Antang, Malang and Passuruan, back to Sourabaya”. Perjalanan tersebut berlangsung dari 19 hingga 28 Juni 1847, sebagaimana yang diterangkan Jonathan pada awal dan akhir tulisannya.

Pada awal tulisannya, ia mengatakan pada 19 Juni 1847, Jonathan bersama Mr. Lloyd, memulai perjalanan panjang yang semula belum sempat mereka lakukan ke Keresidenan Kediri, hingga Distrik Blitar. Bagian pertama perjalanannya melalui delta Surabaya ke Mojokerto. Di perjalanan, mereka mengunjungi pabrik gula yang dimiliki Kruseman dan pabrik gula Krian milik perusahaan di Belanda dan dikendalikan oleh perusahaan besi Paul van Vlessingen serta Dudok van Heel. Pada 28 Juni 1847, mereka kembali ke Surabaya setelah menempuh perjalanan sepuluh hari.

Nantinya, sebagian naskah dari tulisan “Tour from Sourabaya through Kediri” yang dipotong penyunting dan diterbitkan dengan judul “Ancient Javanese Inscriptions at Panataran”. Bagian tersebut terpaksa dipotong, karena salinan prasasti yang dirujuk oleh Jonathan Rigg tidak ada. Oleh karena itu, setelah litografi prasastinya ada, bagian tulisan Jonathan Rigg dari “Tour from Sourabaya through Kediri” itu disajikan lagi oleh penyunting.

Dalam JIAEA Vol. IV dimuat dua tulisan Jonathan Rigg, yaitu “Tiger Fight at Solo” dan “Gunung Dangka or A Paradise on Earth: A Tale of Superstition”. Pada tulisan pertama, ia menggambarkan pengalamannya menyaksikan rampokan macan akbar yang digelar di Solo pada hari Senin, 9 September 1850. Di awal tulisan ia menyatakan bahwa para penguasa gemar mengumpulkan harimau dengan tujuan untuk diadukan dengan kerbau, atau dibunuh oleh kaum lelaki dengan menggunakan lembing.

Saat itu, kata Jonathan, pada kumpulan binatang liar yang dikurung di dalam kandang dari kayu aren telah berisi delapan harimau besar. Hari Senin, 9 September 1850, ditetapkan sebagai pertandingan besar.

Selanjutnya dalam tulisan kedua, saya mendapatkan jejak-jejak sejarah kehadiran Jonathan Rigg di Jasinga. Karena meski diterbitkan tahun 1850, tulisan tersebut ditulis oleh Jonathan di Jasinga pada 10 April 1839. Latar belakang “Gunung Dangka or A Paradise on Earth: A Tale of Superstition” adalah karena Januari 1839, Jonathan mendengar mitos Gunung Dangka saat berbincang dengan penduduk Kampung Cisusu dan Gunung Kembang. Gunung Dangka, yang terletak di barat daya perbatasan tanah milik Jonathan Rigg dan tepian Sungai Ciberang, adalah tempat keramat menurut anggapan orang Distrik Sajira, karena itulah surga saat mereka meninggal.

Jonathan yang sudah sepuluh tahun tinggal di Jasinga belum pernah mendengar kisah dan gagasan aneh di balik kepercayaan orang-orang yang akrab bergaul dengan dirinya (“That I should have lived ten long years at Jasinga without ever hearing a syllable about so strange an idea of a people with whom I was well acquainted, and who live so hard by, appeared as improbable as the story itself was egregious”). Di sisi lain, Demang Jaga Sura, yang tinggal di Jasinga dan sebelumnya menjadi kepala Distrik Sajira selama 12 tahun, berkemah semalam di muara Ciladaheun. Jonathan sendiri pernah ke sana pada tahun 1830, ditemani sejumlah bumiputra, tetapi belum pernah mendengar kata tempat suci yang kemudian mengharu birunya (“I myself had been at the place in 1830 accompanied by a number of natives, but heard not à word of the sacred precints into which we had then intruded”).

Karena merasa penasaran, pada 31 Maret 1839, Jonathan Rigg dan 21 orang anggota rombongan berangkat dari kampung Gunung Kembang. Setelah berjuang mendaki dan menuruni ngarai Cikeusal, rombongan beristirahat di huma atau ladang.

Saat tiba di Dangka, rombongan bahkan menangkap ikan. Jonathan Rigg kemudian memberi taruhan sebanyak satu hingga lima gulden, bagi barang siapa berani menyeberangi Ciberang dan mematahkan satu pohon bambu. Semua anggota rombongan bumiputra tidak ada yang mau, karena takut kualat. Itu sebabnya di awal tulisan menyebutkan “The Natives of Sunda or Western Java, like their uninstructed brethren all over the world, are a superstitious race” (Bumiputra Sunda atau Jawa Barat, seperti saudaranya yang tak terdidik di seantero dunia, merupakan bangsa yang mempercayai takhayul). Demikian pula di akhir tulisannya, dengan menyatakan “Superstition is part and parcel of every native’s mind” (Takhayul merupakan bagian dan bidang dalam benak bumiputra).

Jonathan Rigg menemukan Prasasti Pasir Angin pada 22 Oktober 1853. (Sumber: TBG, Deel III, 1853)
Jonathan Rigg menemukan Prasasti Pasir Angin pada 22 Oktober 1853. (Sumber: TBG, Deel III, 1853)

Pameran dan Prasasti

Pada tulisan “Grand Exhibition of Batavia in 1853”, Jonathan Rigg menggambarkan barang-barang yang disajikan dalam pameran besar di Batavia beserta asal-usulnya. Katanya, pameran itu merupakan tiruan atas keberhasilan Grand Exhibition di Hyde Park, London, tahun 1851. Pameran di Batavia dimaksudkan untuk mempromosikan barang-barang produksi alam dan industri Jawa dan Nusantara. Acaranya berlangsung saat musim gugur 1853. Komitenya terdiri atas S.D. Schiff (direktur budidaya), P. Van Rees (residen Batavia), J. Tromp (bekas kepala insinyur sipil), dan Dr. Blecker (ahli ikan).

Pada praktiknya, pamerannya tertunda agak lama, karena demi alasan semuanya dapat tertata dengan baik dan koleksi yang dipamerkan selengkap mungkin. Pembukaannya terjadi pada Senin, 10 Oktober 1853, oleh Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist, dan dihadiri pejabat sipil dan militer. Koleksi yang disebutkan oleh Jonathan antara lain berasal dari Banten, Batavia, Bogor, Karawang, Priangan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Pacitan, Madiun, Kediri, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Basuki, Banyuwangi, Bali, Pantai Barat Sumatra, Palembang, Borneo, Makassar, Kepulauan Maluku, dan Timor.

Barang-barang dari Keresidenan Priangan berasal dari Cianjur berupa batu mulia seharga 1.200 gulden, tutup kepala dari emas, perkakas musik berupa rebab, kecapi, tarawangsa, kuk dari bambu untuk membawa padi dari sawah. Dari Bandung berupa satu set angklung, calung, meja bundar dari 120 varietas kayu yang disusun dengan berpola. Sementara dari Garut berupa kertas yang terbuat dari kulit pohon saeh (“From Garut was a muster of paper made from the bark of the Saeh tree”).

Untuk TBG, saya hanya mendapati satu tulisan Jonathan Rigg, yaitu “Batu Tulis on Jambu” (TBG, Deel III, 1853). Tulisan ini dilatari pembacaan Jonathan atas TBG edisi Oktober 1853, yang antara lain berisi tulisan R. Friederich mengenai interpretasi Prasasti Batutulis di Bogor. Tulisan Friederich mengingatkan Jonathan terhadap prasasti yang dilihatnya 15 atau 16 tahun yang lalu di Pasir Angin, ujung selatan Gunung Saribu, di dekat perbatasan Perkebunan Bolang dan Jambu.

Kemudian, setelah mendapatkan batuan Ten Cate, menantu Motman, sang pemilik Perkebunan Bolang dan Jambu, Jonathan mengunjungi lokasi prasasti di Pasir Angin pada Sabtu, 22 Oktober 1853. Mula-mula ia hendak mengajak mandor Cikasungka, tetapi sedang tidak ada. Namun, ia bertemu Agus Lanchong yang semula mandor di situ, dan tidak mengetahui keberadaan batu prasasti. Di Pabuaran, Jonathan bertemu dengan Pa Beran dan Sariun, yang mau membawanya ke lokasi prasasti, meski keduanya sudah lama tidak ke situ. Demikianlah mereka menemukan batu tulis itu terletak di jalan pendek ke arah selatan jalan utama dari Jasinga ke Bogor.

Tulisan-tulisan di atas, sekali lagi, saya pikir membuktikan beragamnya minat yang digeluti Jonathan Rigg. Ia meminati ihwal geologi, etnografi, kebahasaan, sejarah, epigrafi, industri, dan kerajinan. Dan ternyata, selain penemuan Prasasti Kebon Jambu atau Prasasti Koleangkak itu, sumbangan ilmiah dari Jonathan Rigg ada yang dikoleksi The Geological Society of London. Dalam Transactions of the Geological Society of London, Second Series, Vol. VI (1842: 31) tertulis pada 17 Januari 1842, The Geological Society of London menerima koleksi spesimen mineral dari Jawa (“A Collection of Specimens from Java”) dari Jonathan Rigg, Esq.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//