• Berita
  • Pengalaman Warga Bandung Diteror usai Mengkritik Kepolisian

Pengalaman Warga Bandung Diteror usai Mengkritik Kepolisian

Video polisi yang membanting mahasiswa peserta aksi unjuk rasa menuai beragam komentar. Seorang warganet di Bandung mengaku diteror usai mengomentari video itu.

Polisi saat menangani unjuk rasa menentang PPKM darurat di Bandung, Rabu (21/7/2021). Aksi ini berakhir ricuh. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki21 Oktober 2021


BandungBergerak.idSepekan terakhir, warganet di Indonesia ramai membicarakan video anggota kepolisian yang membanting mahasiswa peserta aksi unjuk rasa. Seorang warganet di Bandung, FK (25), mengaku dibayangi teror setelah melayangkan tweet kritik terkait video viral itu.

“Polisi se-Indonesia bisa diganti satpam BCA aja gaksih,” demikian cuitan FK melalui akun Twitter pribadinya, @fchkautsar, 13 Oktober 2021. Cuitan ini kemudian menyebar viral di media sosial (medsos) Instagram dan Twitter.

Namun, FK menolak mempublikasikan secara rinci kasus yang dialaminya. Alasannya, FK merasa khawatir dengan sejumlah teror atau ancaman pada kedua akun medsos dan nomor pribadinya. Ia mengaku mendapatkan beragam ancaman serangan fisik, tekanan mental hingga pembobolan data pribadi (doxing).

Jika ditelusuri ke belakang, teror di media sosial bukan hal baru. Tasya (27), warganet asal Kota Bandung lainnya, pernah mengalami hal serupa saat ia mengkritik polisi terkait aksi Reformasi Dikorupsi pertengahan 2019 lalu.

“Waktu itu sedang ramai teman-teman mahasiswa demo di jalanan. Hari itu, aku merespons salah satu tweet (video), bentuknya quote retweet, ambulans yang ditembakin gas air mata sama aparat,” tuturnya menjelaskan kronologi kejadian, kepada Bandungbergerak.id, Senin (18/10/2021).

Butuh waktu cukup lama bagi Tasya untuk merasa bebas dari perasaan terancam dan berani angkat bicara mengenai kasus yang pernah dialaminya. Saat itu ia menulis melalui akun medsosnya:

“Yaelah Polisi Planet Namex kok kelakuannya kayak gini?” tulisnya, waktu itu dilakukan siang hari.

Diketahui, Planet Namex adalah sebuah nama planet di salah satu kartun anime asal Jepang berjudul Dragon Ball. Tasya memastikan bahwa di dalam komentarnya tidak menyebutkan institusi secara spesifik, dan cuitannya itu tidak pernah viral di platform Twitter.

Menjelang sore hari, sejumlah ancaman justru berdatangan melalui akun medsos Instagram Tasya. Setelah ditelusuri, ternyatan cuitannya diunggah kembali dan menjadi viral dalam waktu singkat di sebuah akun buzzer dengan alamat yang sama di mana tweet FK juga disebarluaskan.

Padahal akun Twitter Tasya dalam setting-an private atau terkunci. Tidak semua orang bisa melihatnya tanpa ada verifikasi dari Tasya. Artinya, konten yang berujung viral itu sengaja diekspose olehi salah satu orang yang dikenalnya dan saling mengikuti di medsos yang sama.

Menurut Tasya, ada sekitar ratusan pesan langsung atau direct message (DM) dan komentar yang masuk ke akun Instagramnya. “Ke DM macam-macam nadanya, ada yang kayak: ‘anak mana lu?’, ‘ayo ribut’, sampai ada yang pelecehan ‘hati-hati lu nanti diperkosa’ dan itu terus menerus,” paparnya.

Seiring waktu, ancaman tersebut merambat ke alamat kontak lainnya, teror masuk ke dua nomor ponsel pribadinya, dan bahkan menyerang akun Instagram milik sebuah kantor pemasaran brand di Kota Bandung, tempat ia bekerja ketika itu.

Tasya telah menelusuri pelaku yang mengancamnya di media sosial. Hasil penelusurannya ternyata mengarah pada akun pribadi milik aparat hukum. Ia memiliki bukti berupa percakapan maupun chat dengan pelaku.

Tasya sempat mengonsultasikan kasusnya tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Namun kemudian ia memilih menyelesaikan masalahnya dengan cara komunikasi antarpribadi dan belum pernah melaporkan kasus tersebut ke pihak yang berwenang.

Baca Juga: Kritik Korupsi dalam Komik “From Bandung With Laugh”
Bangsa ini Lahir dari Kritik, Kenapa Kita Sekarang Hendak Menumpasnya?
Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Menghapus Cerita Mural dan Grafiti dari Tembok ke Tembok
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam

Paradoks Kebebasan

Tasya menjadikan pengalaman pahitnya sebagai sebuah pelajaran dan cerminan bahwa kondisi kebebasan berpendapat dan berekspresi di negeri ini tidak lagi dihargai. Padahal ia sempat menganggap bahwa Indonesia adalah negara yang cukup demokratis. Namun, di sisi lain Tasya melihat selalu ada penyalahgunaan kekuasaan atau power abuse dari pihak yang kuat terhadap yang lebih lemah.

“Nilai-nilai kebebasan kita nihil, semakin terdegradasi, masih menjadi suatu hal yang sangat paradoks kecuali bisa menanggung risikonya. Ini jawaban paling realistis,” tutur Tasya tentang kondisi hari ini. “Setiap kita berusaha mengedepankan kebebasan apa pun akan selalu ada saja pihak yang menghalangi. Itu konsekuensinya,” imbuhnya.

Meskipun demikian, Tasya mengaku masih percaya bahwa tidak semua anggota dalam instansi kepolisian memiliki sifat yang sama. Ia pun yakin, setiap kritik harus tetap diisuarakan demi memperbaiki setiap permasalahan berbangsa yang perlu dihadapi bersama secara umum.

“Menurutku ini permasalahannya terletak di sistem (kaderisasi) yang dijalankan secara turun menurun. Aku yakin gak semuanya sama, meskipun gak optimis juga,” pungkasnya sambil tertawa.

Teror di Mata Hukum

LBH Bandung menegaskan, kritik merupakan hal wajar dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Setiap instansi kenegaraan memiliki hak yang sama untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai kritik yang dilayangkan warganya.

Menanggapi kasus yang dialami FK dan Tasya, anggota LBH Bandung Heri Pramono, menjelaskan bahwa pelaku teror di media sosial sebenarnya bisa dijerat hukum pidana karena telah meresahkan dan menyudutkan pihak tertentu. Hal tersebut juga diperparah dengan status profesi dan jabatan pelaku teror yang seharusnya mengemban amanah demokrasi.

“Kalau ada kesalahan kenapa gak jadi bahan evaluasi? Apa pun kritiknya, jangan dijadikan teror. Soalnya dengan teror berarti kita menutup ruang-ruang demokrasi kita. Ancaman (teror) itu bisa berbentuk fisik, mental, bahkal seksual,” jelasnya sambil menunjukkan pasal-pasal hukum terkait.

Aturan-aturan yang membahas tentang tindakan kepolisian tercatat dalam Pasal 19 Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap anggota kepolisian wajib menjalankan norma kesopanan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Setiap anggota yang melakukan penyelewengan bakal diproses secara hukum yang berlaku lewat peradilan.

Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat, mereka bakal diproses melalui sidang Disiplin Polri, sidang Kode Etik, bahkan Peradilan Umum. Sesuai Pasal 351 Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP), ada sejumlah hukuman mulai dari denda minimal 4,5 juta rupiah serta kurungan penjara minimal 2 tahun 8 bulan hingga maksimal 7 tahun kurungan jika tindakannya berujung kematian.

LBH Bandung membuka gerbang selebar-lebarnya bagi warga yang ingin melaporkan kasus serupa, baik dari pihak korban sendiri maupun keluarga dan kerabat terdekat. Setiap korban bakal didampingi sesuai kondisi mental masing-masing demi kenyamanan dan keselamatannya.

“Kita harus melihat dulu kesiapan korban, apakah sudah siap untuk speak up? Ada kondisi tertentu di mana korban harus diberikan dulu proses healing, tidak melulu mengedepankan jalur-jalur mitigasi formal,” ujar Heri Pramono.

Bandungbergerak.id telah menghubungi Kabid Humas Polda Jawa Barat, Erdi Adrimulan Chaniago, pada Selasa (19/10/2021) dan Rabu (20/10/2021) untuk mengonfirmasi. Namun, belum mendapatkan respons.

Mitgiasi Teror di Media Sosial

Kasus teror disetai ancaman kepada masyarakat dari pihak aparat merupakan lagu lama yang terus berkumandang di Indonesia. Padahal semua orang memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat dan mengamankan martabat hidupnya.

LBH Bandung secara tegas menjamin bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dilindungi dalam konstitusi Republik Indonesia dan norma-norma HAM internasional. Setiap warga negara memiliki hak untuk merasa bebas dari rasa takut serta direndahkan dan tidak ada istilah oknum bagi para pelaku teror.

Lembaga pengacara publik itu menilai bahwa teror dan ancaman sebagai bentuk kegagalan dari pihak-pihak berwenang dalam menjalankan tugas serta kewajibannya.

Maka dari itu, seluruh masyarakat diimbau untuk melaporkan kasus-kasus tindakan teror dan ancaman agar korbannya segera mendapat penanganan. Pengajuan laporan itu bisa diajukan ke lembaga hukum, juga sentra Pelayanan Kepolisian di setiap kantor Polda, Polres, dan Polsek terdekat.

LBH Bandung pun menyarankan beberapa langkah jalur mitigasi mandiri bagi masyarakat yang ditujukan untuk yang menghadapi kasus serupa. Tujuannya yakni demi menjaga kestabilan mental dalam menghadapi situasi yang mengancam. Kiat-kiat utamanya sebagai berikut:

Jangan tanggapi pesan ancaman yang muncul dan blokir setiap nomor atau akun tidak dikenal;

Rekam, catat, dan kumpulkan semua barang bukti secara lengkap. Sertakan keterangan jenis ancaman lengkap dengan waktu kemunculannya untuk memastikan secara kronologis;

Hubungi Komnas HAM, Propam, dan Kompolnas sambil menghubungi organisasi bantuan hukum terdekat di wilayah masing-masing korban;

Dan tetap tenang, biarkan pihak kepolisian melakukan penyelidikan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//