NGABUBURIT MENYIGI BUMI #15: Gunung Singa Fosil Gunungapi Berumur 4 Juta Tahun
Gunung Singa di kawasan Soreang Kabupaten Bandung, termasuk gunungapi purba atau fosil gunungapi. Dari kejauhan terlihat seperit kepala singa dengan kepala tengadah.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
6 April 2023
BandungBergerak.id – Gunung Singa (+1.033 m dpl) tampak gagah terlihat dari arah Warunglobak menerus ke barat sampai Cibayondah, Ciloa, Legokkeong, dan Caringin. Gunung ini menjadi ciri bumi, karena terlihat megah dari berbagai arah. Bukit batu ini berada di Desa Buninagara, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Empat juta tahun yang lalu, gunung ini merupakan gunungapi aktif dengan letusan-letusannya yang dahsyat. Pada fase akhir letusannya, pasokan magma ke kantung-kantung magma semakin berkurang, maka magma yang menekan menuju permukaan bumi itu kemudian membeku di dalam permukaan, maka terbentuklah yang disebut sumbat lava. Atau, bisa juga berupa batuan yang membeku di dalam itu berupa batuan beku terobosan. Apabila magma mencapai atau ke luar permukaan bumi, terbentuk gunungapi.
Di Gunung Singa terdapat lava pejal, ini dapat dijadikan penanda, bahwa pada masa lalu, gunung itu merupakan gunungapi aktif. Lava itu semula berupa magma, batuan kental pijar yang masih ada di dalam bumi, atau yang dilontarkan ke permukaan bumi (Macdonald, 1972). Magma itu sangat berkaitan dengan sumber panas yang ada di dalam bumi, yang berupa larutan silikat pijar, dengan suhu antara 900-1.100 derajat Celcius, mengandung gas, mudah bergerak, dengan pergerakan yang cenderung menuju ke permukaan bumi. Namun sekarang, gunungapi ini sudah termasuk gunungapi purba atau fosil gunungapi, karena sudah lama mati. Endapan gunungapi di bagian luarnya sudah tererosi dengan kuat dan lama, sehingga kenampakannya tidak seperti gunungapi aktif yang kerucut dan berkawah.
Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #14: Semua Belajar dari Letusan Gunung Galunggung Untuk Kemanusiaan
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #13: Gunung Gelap di Garut, Penangkal Halilintar dan Gelegar Guntur
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #12: Gunung Kaseproke Mengabadikan Kisah Kasih Tak Sampai
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #11: Jejak Bunga Karang di Perbukitan Citatah
Fosil Gunungapi
Gunungapi purba atau fosil gunungapi itu dijelaskan oleh Sutikno Bronto (2013), adalah gunungapi yang pernah aktif pada masa lampau, tetapi sekarang sudah mati, bahkan sudah terkikis/tererosi sangat lanjut, sehingga kenampakan fisis tubuhnya sudah tidak seperti gunungapi aktif saat ini, yang berbentuk kerucut. Bahkan sebagian sisa tubuhnya sudah ditutupi oleh batuan yang lebih muda.
Lereng tegak di sisi tenggara-timur Gunung Singa ini merupakan satu sisi batuan terobosan (intrusif) yang tersingkap. Rona bumi bukit ini terlihat perkasa, perpaduan antara warna batu yang abu kehitaman yang tidak ditumbuhi tanaman. Wujudnya menyerupai wajah singa atau harimau, dengan tumbuhan di sekelilingnya yang menyerupai rambut dan bulunya. Dari kejauhan, dinding batu tegak itu terlihat seperti kepala singa atau harimau yang sedang duduk dengan kepala yang tengadah. Binatang yang ditakuti tapi gagah penuh wibawa, penuh karisma. Inilah yang telah menginspirasi para karuhun, para leluhur Soreang untuk menamai bukit batu ini Gunung Singa.
Kata singa atau singha, diserap dari bahasa Sanskerta simha, yang berarti singa, kuat, harimau, dan nama panggilan untuk Batara Kala (Prof. Drs. S. Wojowasito, Kamus Kawi-Indonesia,1994). Dalam Kamus Kawi-Indonesia (Drs. Y.B. Suparlan, 1994), singha diserap dari bahasa Sanskerta simha yang artinya singa. Demikian juga dalam Kamus Kuna-Indonesia (L. Mardiwarsito, 1994), singha berasal dari bahasa Sanskerta simha yang artinya singa. Dalam ajaran Hindu, Dewa K?lá adalah dewa penguasa waktu, putra Dewa Siwa.
Dewa Kala sering disimbolkan sebagai raksasa berwajah menyeramkan, karena dapat memaksa semua orang, bila ada yang melawan karma, seperti kematian.
Karena raja dicitrakan sebagai titisan dewata yang karismatik, gagah, berani, dan mempunyai kekuatan untuk memaksa, maka raja pun banyak yang memakai kata singa atau singha, seperti Jayasinghawarman, menantu Prabu Dewawarman VIII dari Kerajaan Salakanagara, yang kemudian menjadi Raja Tarumanagara selama 24 tahun, mulai tahun 358 sampai tahun 382 M (Ayatrohaedi, Sundakala, 2005).
Nama geografi pun ada yang memakai kata singa, seperti Singajaya di Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Singaparna di Kabupaten Tasikmalaya, keduanya di Jawa Barat. Singaraja di Kabupaten Buleleng, Bali, nama negara ada yang memakai kata singa, yaitu Singapura.
Bahkan tempat duduk raja pun dicitrakan sebagai tempat duduk yang penuh karisma dan penuh kewibawaan, disebutlah singgasana. Menurut L. Mardiwarsito (1994, Kamus Kuna-Indonesia) kata singgasana diserap dari kata singhãsana.
Kalau Gunung Singa berupa gunungapi aktif empat juta tahun yang lalu, yang menjadi pusat letusannya adalah yang saat ini menjadi tubuh dari gunung itu, yaitu berupa magma yang membeku di leher gunungapi. Pengaruh iklim selama empat juta tahun, maka bagian luarnya melapuk dan tererosi, menjadi bukit batu seperti saat ini, yang menjadi ciri bumi kawasan Soreang.