• Kolom
  • NGABUBURIT MENYIGI BUMI #21: Rangkaian Bukit Pasir di Pameungpeuk Peredam Tsunami

NGABUBURIT MENYIGI BUMI #21: Rangkaian Bukit Pasir di Pameungpeuk Peredam Tsunami

Teluk Cilauteureun di Pameungpeuk Garut Selatan memiliki benteng alami penahan tsunami berupa rangkaian bukit pasir yang sangat panjang dan tinggi.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Teluk Cilauteureun, Garut Selatan, karya Thilly Weissenborn (1889-1964). (Sumber: Indische foto’s van Thilly Weissenboorn)

12 April 2023


BandungBergerak.id – Lengkungan Teluk Cilauteureun di Pameungpeuk, Garut, telah diabadikan dengan sangat baik oleh fotografer perempuan bernama Thilly Weissenborn (1889-1964). Lanskap yang terdapat dalam foto Thilly, yaitu dermaga di Teluk Cilauteureun. Bersebelahan dengan teluk ini, di atas muara Ci Lauteureun, terdapat jembatan lori menuju pelabuhan Santolo, pelabuhan yang dibangun tahun 1910. Sampai tahun 1970-an, kedua bangunan itu masih ada, jajaran tiang-tiang besi yang kokoh bekas dermaga, dan jembatan lori sepanjang 95 m.

Pembangunan pelabuhan Santolo berbarengan dengan dibukanya perkebunan-perkebunan karet di Garut Selatan, di Gununggajah (664 ha) dan Cikelet (7.984 ha). Tahun 1913 dibuka perkebunan di Cisompet (3.659 ha), tahun 1914 dibuka di Miramare (4.267 ha), dan tahun 1928 dibuka di Cilaut (45 ha). Setelah itu dibuka juga di Nagara dan Condong. Perkebunan-perkebunan ini menjadi penghasil karet terbaik pada saat itu.

Untuk mempermudah pengangkutan hasil perkebunan yang berlimpah, di Tanjung Santolo dibangun pelabuhan. Dari pelabuhan Santolo dibuat rel dan jembatan lori, sehingga barang-barang hasil perkebunan dapat dikapalkan langsung ke Tajungpriok dengan menempuh pelayaran sejauh 650 km. Kondisi jalan darat dengan moda transportasi yang ada saat itu, belum dapat melayani pengangkutan hasil perkebunan dengan baik, apalagi jarak yang harus ditempuh sejauh 88 km dari Teluk Cilauteureun, Pameungpeuk, sampai stasiun keretaapi di kota Garut. Dari Garut dipindahkan untuk diangkut dengan keretaapi sampai di Pelabuhan Tanjungpriok.

Di Teluk Cilauteureun inilah tempat terdamparnya paus biru (Balaenoptera musculus LINNAEUS) yang sudah mati, 19 Desember 1916. Binatang menyusui (mamalia) terbesar yang hidup di dunia. Paus yang terdampar itu panjang 27,28 meter, tinggi 8 m, lebar badan 13 m, lebar mulut lima meter, dengan bobot utuh 119.000 kg. Kerangka paus ini diangkut dengan banyak pedati ke stasiun Garut, kemudian dipindahkan, diangkut dengan kereta api ke Bogor, menjadi koleksi Museum Zoologi Bogor yang sangat berharga.

Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #20: Babalongan, Punden Berundak Tanah Khas Bukit Tunggul
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #19: Gunung Cereme Anak Gunung Gegerhalang
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #18: Memitigasi Dampak Guguntur dari Gunung Guntur
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #17: Gunung Cinta untuk Laboratorium Kegunungapian

Bukit Pasir Teluk Cilauteureun

Pasca kemerdekaan, produksi karet dari Garut Selatan terus menurun, dan jalan darat lebih diutamakan, sehingga keberadaan Pelabuhan Santolo mulai terabaikan. Pantai Cilauteureun dijadikan tempat latihan pasukan baret jingga TNI AU, serta menjadi kawasan untuk uji terbang roket dan sebagai stasiun pengamatan dirgantara. Sekarang, Teluk Cilauteureun sudah dilintasi jalan raya pantai selatan Jawa Barat, dengan jalan bagus, yang menghubungkan destinasi wisata Pangandaran di timur sampai ujung barat di aliran Ci Bareno, perbatasan dengan Provinsi Banten sepanjang 390 km.

Teluk Cilauteureun dan sepanjang pantainya, berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Di sepanjang pantainya dibentengi rangkaian bukit pasir atau sand dune, yang sejajar dengan garis pantai, mulai dari Teluk Cilauteureun, Pantai Sayangheulang sampai di muara Ci Palebuh. Alam sudah berproses berjuta tahun, ombak selatan menghempaskan pasir laut di sepanjang pesisirnya, lalu terik matahari mengeringkan pasir, kemudian angin dari laut meniup pasir kering yang lebih ringan, mengendap membentuk bukit pasir yang memanjang. Makin lama bukit pasir itu makin besar, makin panjang, dan makin tinggi, menjadi rangkaian perbukitan pasir sepanjang 5 km.

Rangkaian perbukitan pasir di selatan Jawa Barat itu menjadi sangat istimewa, karena tingginya antara 20 m sampai dengan 30 m, sehingga menjadi benteng alami yang sangat panjang dan tinggi, yang berfungsi sebagai benteng alami dari terjangan tsunami yang datang dari Samudra Hindia.

Adanya gempa bumi dan tsunami di pantai selatan Garut adalah nyata, seperti hasil penelitian Dr Eko Yulianto, peneliti BRIN, yang menyatakan bahwa gempa bumi dengan kekuatan mendekati 9 pernah terjadi di pantai selatan Jawa Barat. Demikian juga hasil penelitian Dr Nuraini Rahma Hanifa, peneliti BRIN, berkesimpulan, bila terjadi gempa bumi, kekuatan maksimumnya akan mencapai 8,7.

Hasil pemodelan dan kajian para ahli gempa dan tsunami menyimpulkan, bahwa di pantai selatan Jawa Barat berpotensi dilanda tsunami setinggi 20 meter. Atas dasar kajian itulah, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengimbaskan rumus mitigasi 20-20-20. Bila masyarakat di pantai selatan Jawa Barat merasakan guncangan gempa selama 20 detik, maka segeralah mengevakuasi diri, sebab, dalam 20 menit kemudian berpotensi terjadi tsunami. Masyarakat harus mengevakuasi sendiri menuju tempat yang tingginya sama atau lebih dari 20 meter.

Berbarengan dengan tsunami di Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006 lalu, di pesisir Sayangheulang, Pameungpeuk pun terjadi tsunami. Dan terbukti, karena bukit pasirnya ada yang diratakan untuk destinasi wisata di Sayangheulang, akibatnya dirasakan sangat nyata, ada korban nyawa dan bangunan yang hancur.

Alam sudah menyediakan benteng alami yang kokoh dan tinggi di pantai selatan Jawa Barat. Rangkaian bukit pasir itu harus dipertahankan keberadaannya karena mempunyai nilai ilmu pengetahuan dan nilai kemanusiaan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//