• Nusantara
  • Mudik sebagai Momentum Penyembuhan Massal dari Efek Negatif Perkotaan

Mudik sebagai Momentum Penyembuhan Massal dari Efek Negatif Perkotaan

Tradisi mudik memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat yang jenuh dengan kesibukan perkotaan.

Kendaraan pemudik terjebak macet di Nagreg, Kabupaten Bandung, Selasa (25/4/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana26 April 2023


BandungBergerak.idIndonesia masih dalam suasana arus mudik dan balik lebaran 2023. Tradisi tahunan ini sekaligus momentum penyembuhan (healing) massal dari pengaruh perkotaan atau modernitas. Warga kota berbondong-bondong ke kampung halaman untuk menimba spirit desa.

Mudik tahun ini memiliki nilai khusus karena berlangsung di momen pascapandemi Covid-19. Dua tahun sebelumnya, tradisi mudik sempat terhambat karena pandemi. Tak heran jika data arus mudik tahun ini meningkat dibandingkan tahun-tahun pandemi.

Data dari Pemprov Jabar, tahun ini jumlah pemudik secara nasional meningkat 44 persen dari 80 juta menjadi sekitar 120 juta orang. Masyarakat bergerak menggunakan armada darat, laut, dan udara.

Sebagai gambaran, data mudik sebelum pandemi Covid-19 (2019), jumlah rumah tangga mudik dari Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodetabek) sekitar 3.545.458 kepala keluarga. Sebagian besar pemudik tersebut melintas ke Jawa Barat untuk menuju wilayah timur Jawa.

Provinsi yang menjadi tujuan pemudik adalah Jawa Barat 3.709.049 orang (24,89 psersen) Jawa Tengah sebanyak 5.615.408 orang (37,68 persen), dan Jawa Timur sebanyak 1.660.625 orang (11,14 persen).

Moda transportasi yang akan digunakan adalah bus yang diprediksi sanggup melayani 4.459.690 orang (30 persen), mobil pribadi 4.300.346 orang (28,9 persen), kereta api 2.459.690 orang (16,7 persen), pesawat terbang 1.411.051 orang (9,5 persen), dan sepeda motor sebanyak 942.621 orang (6,3 persen).

Kepala Makara Art Center Ngatawi Al Zastrouw tradisi mudik tidak mungkin tergantikan dengan perkembangan teknologi. Misalnya cukup dengan menelepon, berkirim pesan, atau video call. Tradisi mudik tetap memerlukan pertemuan tatap muka langsung. Ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi mudik.

“Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun,” kata Zastrouw, dikutip dari laman UI, Rabu (26/4/2023).

Mudik dilakukan oleh masyarkat desa yang menjalani urbanisasi ke kota. Selama tinggal di perkotaan, mereka tidak dapat melepas budaya desanya. Mereka selalu rindu kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan dan rindu sanak keluarga. Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Idulfitri.

Baca Juga: Merayakan Idul Fitri dari Sebelah Kiri
Berikut Ini 16 Kampus di Arab Saudi yang Menawarkan Program Beasiswa untuk Putra Putri Indonesia
Memahami Mitigasi Bencana dengan Menyusuri Sesar Lembang

Tradisi mudik bertahan karena dinilai mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat. Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di perkotaan, menjadikan mudik sebagai pilihan terapi psikologis.

Menurut Zastrouw, dibutuhkan momentum untuk kanalisasi emosi sekaligus katarsis atas kejenuhan yang dirasakan. Tradisi ini menjadi momentum katarsis atas berbagai problem psikologis yang dirasakan oleh masyarakat modern urban.

Selain aspek budaya dan agama, mudik merupakan sebuah aktivitas traveling. Mudik menjadi sarana traveling massal yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Seluruh moda transportasi digunakan, seperti mobil pribadi, pesawat terbang, kereta api, kapal laut, bus bahkan motor.

“Dengan kata lain, tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Inilah yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi, karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi,” ujar Zastrow.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//