• Kampus
  • Mudik Lebaran sebagai Wahana Mengurangi Stres

Mudik Lebaran sebagai Wahana Mengurangi Stres

Mudik lebaran di mata mahasiswa merupakan aktivitas yang dapat mengurangi beban mereka selama menjalani perkuliahan.

Gelombang pemudik yang terjebak kemacetan di Cibiru, Kota Bandung, Kamis (6/5/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana4 Mei 2022


BandungBergerak.idMudik lebaran bagi para perantau merupakan kebutuhan yang tak bisa tergantikan oleh kegiatan apa pun. Mudik juga dipercaya menjadi wahana untuk mengurangi stres akibat beban hidup yang menumpuk. Bagi mahasiswa, mudik adalah jalan keluar dari tekanan akademik.

Imam Nuryaman, mahasiswa IPB University, mengatakan banyak rekannya yang berusaha berhemat agar dapat memiliki tiket pulang. Namun, beberapa mahasiswa berkesempatan memperoleh manfaat program mudik gratis dari kampus maupun penyelenggara lain.

Hal itu dilakukan karena mudik atau pulang kampung memiliki kaitan dengan kesehatan mental. Para pemudik baik mahasiswa maupun pekerja melakoni perjalanan mudik bukan semata-mata bertemu keluarga atau orang tua. Tekanan kerja dan kegiatan yang serba digital selama pandemi telah mempengaruhi mental mereka. Dengan melakukan mudik, mereka akan terlepas dari segala rutinitas tersebut.

“Fenomena ini mulai hits sejak pandemi kemarin dimana kasus mental health semakin tinggi. Tidak sedikit dari teman-teman mahasiswa yang mengalami mental issue. Mungkin karena adanya tekanan akademik, banyak tekanan jauh dari orang tua, dan sebagian besar orientasi kami memang ke sana yakni mudik ke kampung halaman untuk healing,” terang mahasiswa berprestasi IPB Univerity tersebut, dikutip dari laman IPB Univerity, Senin (25/4/2022).

Imam Nuryaman berbicara dalam Talkshow Ngobrol Seputar Transportasi Jabodetabek yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek dan Kementerian Perhubungan RI, 22 April lalu.

Imam menyebut, dengan kembalinya ke kampung halaman juga menjadi momen untuk menguatkan relasi sosial antara kerabat. Selama mudik, mereka berkesempatan untuk menikmati liburan. Terlebih lagi desa kreatif dan tujuan pariwisata semakin berkembang. Hal ini memberikan alternatif opsi untuk healing demi menghindar sejenak dari sibuknya perkotaan.

Baca Juga: Membaca Perang Ideologi Emmanuel Macron dan Marine Le Pen di Pilpres Prancis
Lewat Cara Ini Saya Mengenang Sutuq
Masa Depan Bangsa Ditentukan oleh Permainan Anak-anak Saat Ini

Pendeteksi Stres Melalui Urine

Stres adalah perubahan reaksi tubuh ketika menghadapi ancaman, tekanan, atau situasi yang baru. Ketika menghadapi stres, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan kortisol. Kondisi ini membuat detak jantung dan tekanan darah akan meningkat, pernapasan menjadi lebih cepat, serta otot menjadi tegang.

Menanggapi stres atau kesehatan mental tersebut, mahasiswa ITB yang tergabung dalam kelompok Pekan Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta membuat sebuah alat deteksi dini sederhana gejala stres berdasarkan pemeriksaan urine yang diberi nama “Depression Test”. Kelompok ini diketuai oleh Maha Yudha Samawi (Biologi, 2019) dan beranggotakan Alifia Zahratul Ilmi (Teknik Biomedis, 2019) dan Gardin Muhammad Andika Saputra (Teknik Material, 2019).

Gardin menjelaskan, inovasi ini bermula dari pengembangan tugas yang dikerjakan Yudha saat menjalani Tahap Persiapan Bersama di SITH ITB. Menurutnya, orang yang mengalami stres pastinya akan mengalami perubahan konsentrasi pada beberapa zat dalam urine mereka.

“Jadi kami memanfaatkan fase ini. Karena senyawa-senyawanya mengalami perubahan karakter spesifik kalau sudah dikasih sinyal. Dari sana, kami bisa mendeteksi orang yang mengikuti percobaan ini sudah sampai tahap depresi atau belum,” jelas Gardin.

Proses pembuatan Depression Test dimulai saat masa pandemi. Karena terdapat berbagai kendala yang menghadang pada masa pandemi, progres dari pembuatan alat ini tergolong lambat dan belum 100 persen selesai. Gardin juga bercerita bahwa alat yang mereka ciptakan berkaitan dengan lomba, jadi banyak hal-hal tidak terduga yang terjadi.

“Tapi dari proses ini kita bisa belajar lebih jauh tentang ke depannya sampai rasanya habis presentasi itu kaya kami habis selesai sidang,” cerita Gardin.

Alat ini diklaim memiliki akurasi di angka 90 persen. Hasil alat ini dikalibrasi dengan tes BDI (Beck Depression Inventory) yang saat ini umum digunakan di kedokteran jiwa. Sehingga terdapat 3 level penderita depresi, yakni rendah, sedang, dan berat. Tim berharap inovasi mereka bermanfaat bagi banyak orang di masa depan.

“Kami berharap alat ini akan ada disetiap fasilitas kesehatan indonesia. Jadi orang yang memiliki masalah mental jadi lebih mudah untuk mengatasi dan menanggulanginya sehingga orang tersebut tidak perlu melalui berbagai hal rumit yang menghambat kesembuhannya,” tegas Gardin.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//