PAYUNG HITAM: Melawan Represi, Menjaga Api
Negara selalu mencoba mengubur perlawanan dengan jeruji, stigma, dan peluru. Orde Baru pernah menggunakannya dengan sangat lihai.

Chan
Buruh Pariwisata
25 September 2025
BandungBergerak.id – Malam itu saya membaca sebuah artikel dari salah satu website yang memberitahukan tentang gelombang demonstrasi yang berujung pada penangkapan massal. Dari 25 Agustus hingga 5 September, tercatat 3.195 orang ditahan di berbagai tempat. Angka itu seperti statistik dingin yang dilemparkan begitu saja, padahal di balik setiap nomor ada wajah, ada keluarga, ada kehidupan yang terhenti. Jumlah itu bahkan belum termasuk penangkapan susulan, seperti 42 orang di Bandung yang ditetapkan sebagai tersangka dan diarak di depan kamera saat konferensi pers Polda Jabar. Mereka dituduh sebagai provokator kerusuhan, diberi label "anarko" seolah-olah label itu cukup untuk menjelaskan segalanya, dan cukup untuk membenarkan segala bentuk represi.
Saat membaca artikel itu, saya teringat pada esai yang ditulis oleh Zen R. S., yang pernah singgah di media sosial saya. Ia menulis tentang bagaimana represi bekerja, bukan hanya dengan pentungan, tapi dengan cara yang lebih halus, membuat kita lelah, membuat kita lupa. Dan kalimat-kalimat itu bergaung bersamaan dengan kabar pres rilis Polda Jabar dan penangkapan. Nama-nama mereka yang ditangkap tak pernah jadi headline, wajah mereka tak pernah terpampang di layar televisi. Tidak ada breaking news. Hanya interogasi panjang di ruang dingin, sidang singkat dengan hasil yang mungkin bisa ditebak, dan publik yang perlahan beralih. Kita marah sebentar, lalu lupa.
Negara pun tahu, mereka tidak perlu menangkapi semua orang. Cukup beberapa saja, sebagai contoh. Sisanya akan lumpuh oleh rasa takut. Dan saya melihat rasa takut itu bekerja. Orang-orang mulai bicara lebih pelan, membatasi postingan, menjaga jarak. Solidaritas yang seharusnya jadi daging, malah berubah menjadi slogan hambar di lini masa. Sementara puluhan atau ratusan orang di akar rumput dipukul dan ditahan, bahkan untuk mendapatkan pendampingan hukum dari LBH saja dipersulit. Dan seluruh jaringan gerakan seolah tiarap, diselimuti paranoia.
Absurdnya semakin jelas ketika saya melihat foto-foto tumpukan buku, zine, dan poster yang dijadikan barang bukti. Saya menatap foto itu lama, bertanya dalam hati: sejak kapan membaca buku tertentu adalah tindakan kriminal? Saya mengenali beberapa judul yang isinya justru berbicara tentang kritik sosial, tentang kebebasan berpikir, bukan ajakan untuk melakukan kekerasan atau cara merakit bom. Betapa janggal, ketika sebuah buku bisa diperlakukan layaknya bom molotov. Betapa aneh, ketika negara merasa perlu menuduh 42 orang sebagai dalang kerusuhan, dibiayai oleh "jaringan internasional". Seolah-olah jutaan rakyat Indonesia yang turun ke jalan dari ojol, pelajar, mahasiswa, buruh, sampai ibu rumah tangga tidak punya alasan sendiri untuk marah. Seolah-olah rakyat tidak cukup pintar untuk merasakan penindasan.
Padahal, jika jujur, pemerintah takut mengakui bahwa amarah rakyatlah yang membuat jalanan terbakar. Bukan segelintir aktor intelektual. Bukan bayangan jaringan internasional atau antek asing seperti yang pernah diucapkan Presiden Prabowo Subianto. Tetapi mereka yang berdesakan di bus kota, mereka yang upahnya tak cukup untuk hidup layak, mereka yang ruang hidupnya dirampas, mereka yang setiap hari menghadapi birokrasi yang bengis. Merekalah alasan sebenarnya.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #62: Ketika Hukum Digunakan untuk Menundukkan, Bukan Melindungi
PAYUNG HITAM #63: Kekacauan yang Kita Warisi
PAYUNG HITAM #64: September Hitam, Luka yang Tak Pernah Dikubur
Stigma Dijadikan Senjata
Dan pola ini bukan hal baru. Orde Baru pernah menggunakannya dengan sangat lihai. Kita ingat bagaimana mahasiswa, buruh, dan aktivis yang menentang Soeharto ditangkap, disiksa, bahkan "dihilangkan". Kita ingat bagaimana buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dilarang, perpustakaan kecil dibubarkan, diskusi dianggap subversif. Satu orang dicap komunis, lalu seluruh gerakan bisa dipatahkan. Stigma dijadikan senjata, seperti halnya kini "anarko" dijadikan cap instan untuk melegitimasi represi. Bedanya, kini ia dibungkus dengan narasi modern dalam konferensi pers, barang bukti buku, tuduhan jaringan asing. Tetapi esensinya sama: negara selalu butuh musuh imajiner untuk menutupi ketakutannya pada rakyatnya sendiri.
Dan di titik ini saya ingin mengulang sebuah kalimat bahwa "Kita semua adalah dalang." Itu bukan sekadar slogan. Itu pengingat bahwa perlawanan adalah seni pertunjukan politik, dan kita semua adalah pemain utama dalam panggung pembebasan. Tidak ada dalang tunggal yang menggerakkan jutaan tubuh. Kitalah dalang untuk diri kita sendiri.
Dan mungkin benar, seperti salah satu kalimat yang pernah ditulis oleh saya sendiri, bahwa: "Kita adalah pecundang yang dikalahkan bahkan sebelum perang dimulai. Namun dari tubuh yang membusuk, cinta masih berdenyut, berubah menjadi dendam yang tak bisa dipadamkan. Seperti api kecil yang disembunyikan dalam genggam, kita masih berdiri elegan, bukan untuk larut dalam ketakutan, tapi untuk menyulut kembali perlawanan".
Mereka yang ditangkap, mereka yang dikurung di balik jeruji, bukanlah kriminal. Mereka adalah cermin yang memantulkan kembali pada kita bahwa keberanian masih mungkin, bahkan ketika harga yang harus dibayar adalah kebebasan. Jika kita tidak setia pada api yang mereka jaga, maka jalanan yang kemarin ramai hanyalah pesta singkat. Namun jika kita berani menjaga api kecil itu, kita akan sadar bahwa dari tubuh-tubuh yang dipukul, dari nama-nama yang dikriminalisasi, dari jeruji yang menelan ribuan orang, ada cinta yang menolak padam. Dari cinta itu lahir dendam, dan dari dendam itu lahir perlawanan.
Dan pada akhirnya, kita akan tahu bahwa perjuangan tidak berhenti hanya karena 42 nama, 3.195 nama, atau entah berapa nama lagi yang dikurung. Dari 1965, 1998, hingga hari ini, negara selalu mencoba mengubur perlawanan dengan jeruji, stigma, dan peluru. Tapi selama ada yang marah, selama ada yang berani, selama kita semua masih mengakui bahwa kita adalah dalang, maka perjuangan akan terus hidup.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung