• Kolom
  • Pileuleuyan, Wa Akam!

Pileuleuyan, Wa Akam!

Separuh hidup Wa Akam dihabiskan untuk bergiat di skena ini. Ia dikenal sebagai kuncen Patung Persib.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom

Wa Akam bersama Mang Tedi Ekek, berpose bersama. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

20 Oktober 2025


BandungBergerak - Dua dekade silam, banyak remaja Bandung yang begitu fanatik terhadap sepak bola. Terseret arus 'perasaan sosial' yang bergentayangan di zaman itu. Buktinya banyak. Bertebaran pula. Salah satu kawan karib saya menamai anaknya dengan unsur sepak bola: Nicky Alvaro Recoba Gonzales. Bukan kebetulan jika tetangga saya juga menjadi pesepak bola perempuan, malah dengan label Timnas.

Begitulah jalinan relasi antara sepak bola dengan kehidupan sehari-hari rakyat jelata. Daya pikatnya perlahan melindap pada siapa pun tanpa pandang bulu. Tak terkecuali saya.

Ada suatu masa ketika saya merasa berjarak dengan kehidupan wajar, selayaknya anak muda lain yang punya saluran tumbuh dan berkembang ideal: les matematika, Bahasa Inggris, dan renang. Pendeknya, sedikit berbeda dari remaja yang memiliki keistimewaan.

Tempat favorit yang kerap saya kunjungi adalah Stadion Siliwangi, yang lokasinya cukup terjangkau buat remaja seperti kami. Belakangan, tempat ini jarang dipakai Persib karena kandang klub kebanggaan warga Bandung itu bergeser ke arah timur: GBLA.

Dari tempat tinggal saya, setidaknya hanya perlu menempuh satu kali naik angkutan umum untuk mencapai Stadion Siliwangi. Waktu itu, kami biasa naik angkot jurusan Ciroyom-Antapani. Sebetulnya jalan kaki pun masih dianggap sesuatu hal yang lumrah. Tanpa alasan medis. Tanpa kehendak menjadi terlihat lebih sporty.

Konsep kredit kendaraan kurang diminati, atau mungkin belum hadir secara masif. Jika boleh jujur, masih banyak dari orang tua kami yang belum mampu beli secara tunai. Oh ya, waktu itu juga belum dikenal transportasi daring. Sarana komunikasi yang kami pakai sehari-hari masih mengandalkan insting. Meski ada wartel dan telepon koin, semua itu kurang berguna kalau tidak punya telepon rumah.

Stadion Siliwangi seolah menjadi wadah untuk anak muda seperti saya, yang muak dan linglung menghadapi dunia. Kala itu mal-mal baru bermunculan, dan kita, para remaja, mulai menjumpai bermacam karakteristik manusia, sekaligus tersiksa oleh kehidupan serba transaksional

Di tengah hiruk-pikuk macam itu, tribun jadi tempat kami menemukan berbagai hal. Beragam lini kehidupan. Ada pedagang kerupuk berwarna oranye serupa seragam klub rival. Ada aparat keamanan yang kerap menerima suap dari penonton yang enggan bayar mahal. Ada tukang jamu yang melayani mereka yang membeli ramuan untuk bisa berteriak lebih lantang.

Suatu kali, teman-teman saya di sekolah yang terletak di Jalan Semar, mengajak saya masuk kelompok yang punya atribut gemilang: Viking Persib Club (VPC), yang didirikan 17 Juli 1993 oleh sejumlah pemuda Cibangkong dan Gang Nata, Pasirluyu. VPC lahir sebagai wadah untuk mengorganisasi away day secara lebih masif, konon terinspirasi dari semangat bobotoh sejak era Perserikatan.

Nama VPC cukup sohor di kota ini. Menjadi semacam institusi kultural yang turut mewarnai sejarah sepakbola bahkan di Republik. Kalau saya tak keliru saat itu tahun 2003, dan kami hanya perlu merogoh kocek 35 ribu rupiah untuk mendapat kaus bertulis "Kami Biru, Kami Putih, Kami Persib", dan setelah melakoni tur tandang tiga kali, yang punya catatan khusus, kita baru bisa dibilang sah menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Sewaktu saya duduk di bangku sekolah, barudak Viking kelihatan seperti paham betul seluk-beluk mengenai tribun. Kita memandang semuanya dengan penuh ketakjuban, tak jarang juga muncul semacam perasaan bangga kalau kita bisa dilibatkan dalam lingkaran itu. Seperti Shaun yang mengikuti Combo dalam film This is England.

Spirit barudak pun menancap dalam diri setiap kita yang mengalami: ikut melakukan hal yang kini terasa kurang etis, kurang humanis. Berhari-hari melancong dari satu kota ke kota lain. Berbagi kabar tentang potensi marabahaya yang dipicu pendukung lawan. Mencari makanan khas selama menemani Persib bertandang, dan saling bantu membelikan tiket bagi yang punya keterbatasan finansial –masalah yang cukup sering dihadapi kalangan kami.

Itu pelajaran pertama saya tentang solidaritas. Tentu banyak pula hal menjijikkan, seperti berkelahi, yang didasari alasan yang sama sekali tak masuk di akal. Saya malu sekarang. Tapi, inilah yang disebut Zen RS, kalau banyak bagian dari kita, yang masih memikirkan gengsi. Menjelma sebagai primus inter pares. Situasi macam ini pula yang mengingatkan saya pada wacana depolitisasi, seperti yang ada dalam Simulakra Sepakbola (hlm. 157-168).

Berdasarkan pengamatan sekilas, kala itu belum banyak individu yang punya kesadaran lebih luas mengenai isu sosial. Belum banyak yang memiliki pengetahuan memadai soal irisan sepak bola dengan hal-hal di luar lapangan. Saya kira, belum banyak pula yang menaruh perhatian penuh pada gagasan abstrak seperti hak asasi manusia (HAM), kesetaraan, atau demokrasi. Kalau pun ada, mungkin jumlahnya sedikit sekali, dan pengaruhnya insignifikan. 

Away Day di tengah Keterpurukan Persib

Persib sedang terpuruk. Pada tahun-tahun itu, pertama kalinya Persib menggunakan jatah pemain asing. Hasilnya di luar dugaan. Di bawah gerbong Polandia, Persib nyaris jatuh ke jurang degradasi. Berbanding terbalik dengan kiprah klub asal ibukota yang mendapat kucuran dana melimpah dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Saya menduga kalau kenyataan timpang macam itulah yang memperkuat kebencian pada pendukung mereka, dan kelak semakin meluap. Itu pula yang kemudian menyadarkan saya bahwa perkara sepakbola bukan hanya soal teknis semata. Namun juga modal, upah, dan relasi kerja. Dan itu cukup krusial.

Sialnya, bagi banyak orang seperti kami ini, sepakbola bukan hanya dimaknai sebagai komoditas. Ia mengubah "tenaga kerja" menjadi "cinta dan rasa memiliki" terhadap produk yang sebetulnya tidak ia miliki. Menjadi situs budaya, jika meminjam istilah Darmanto Simaepa dalam buku Tamasya Bola (hlm. 345). Menjadi tempat banyak remaja melewati masa akil balig (rite de passage)

Pada suatu hari saya bangga menginjakkan kaki di Stadion Tridadi (Sleman), Mandala Krida (Yogya), Krakatau Steel (Cilegon). Sekadar informasi saja kalau suporter militan sepakbola di mana pun, tak terkecuali bobotoh Persib, punya kecenderungan ingin menghadiri laga tandang. Ada adrenalin khas yang kerap muncul, yang bisa dirasakan oleh beberapa.

Kita selalu antusias menyaksikan pertandingan yang berlangsung di kandang lawan, bahkan ketika pertandingan itu dihelat dengan jarak yang relatif jauh dari kota sendiri. Beberapa kawan memaknai peristiwa semacam ini sebagai pengalaman sublim. Menghadiri away day itu berarti juga kita harus punya effort lebih: mulai dari merancang keberangkatan, mengatur transportasi dan tiket masuk stadion, hingga menjaga rasa aman di tengah tekanan.

Sosok Mang Ayi dan Wa Akam

Dari beragam manusia yang saya jumpai, ada beberapa yang akan terus saya ingat. Saya tidak bisa mencatat semua karena terlampau banyak. Tapi yang fenomenal adalah Ayi Beutik, dikenal sebagai yang paling berani, dan disegani. Seseorang yang dulu saya perkirakan usianya tidak begitu tua, dengan rambut mohawk mirip personel Rancid dengan sorot mata tajam. Banyak orang menghormatinya.

Mang Ayi saya kenang persis karena ia paling didengar ketika hendak bicara, selalu dinanti kedatangannya oleh anak-anak lain. Ia, dalam arti tertentu, seperti komandan tertinggi. Segala sesuatu tentang sosoknya seakan diselubungi misteri. Ada yang bilang bahwa di masa mudanya, Mang Ayi adalah seorang atlet panjat tebing. Ada yang bilang ia pendukung Newcastle sejati. Kesan saya sendiri, ia tampak berwibawa.

Sosok yang kedua adalah Wa Akam. Ia berasal dari Garut. Lama di Tegalega, dan pernah singgah lama di Pasar Kiaracondong. Konon ia bergabung dengan Viking Persib Club pada 1998. Awalnya bukan siapa-siapa. Hanya pedagang asesoris biasa yang menjajakan berbagai macam pernak-pernik khas.

Seiring waktu, kehadiran Wa Akam menjadi punya arti. Menjelma denyut nadi komunitas itu sendiri. Setidaknya begitu kesan yang didapat dari beberapa orang. Termasuk pengakuan yang saya dapat dari Mang Ekek, yang merupakan karibnya.

Nyaris setiap Minggu Wa Akam hadir. Mewarnai tribun untuk mendukung tim kebanggaan: Persib. Bersama yang lainnya, Wa Akam termasuk sosok yang punya kesan hangat. Memukau. Mereka itulah kelak dikenal seantero Stadion Siliwangi.

Separuh hidup Wa Akam dihabiskan untuk bergiat di skena ini. Ia dikenal sebagai kuncen Patung Persib. Setiap tahun, ia punya kebiasaan mencuci Patung Persib yang terletak di perempatan Tamblong. Belakangan nasib cerah berpihak padanya. Wa Akam digaet menjadi penyiar radio dan komentator yang menyuguhkan ulasan soal tim berjuluk Maung Bandung itu.

Arsip surat kabar yang mengulas secara khusus profil Wa Akam sebagai Kuncen Patung Persib. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Arsip surat kabar yang mengulas secara khusus profil Wa Akam sebagai Kuncen Patung Persib. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)


 

Teman Selamanya

Berbagai momen istimewa hadir di era ini. Ada beberapa hal menurut kami waktu itu sungguh brilian. Misalnya, tentang bagaimana menyiasati hadir dalam laga krusial tanpa perlu membuang energi untuk berkelahi. Atau tentang bagaimana kita memahami budaya dan tradisi orang lain.

Itulah pelajaran kedua yang penting buat saya: kesampingkan emosi, perbanyak silaturahmi. Hingga detik ini, saya masih heran. Bisa-bisanya saya mengerti bahasa Jawa hanya karena terlampau sering menonton sepak bola di Jawa Timur, dan punya banyak kawan dari kota-kota di sana (saya pun paham pada perbedaan nuansa berbahasa orang Surabaya dan Malang).

Waktu terus berlalu. Perkenalan saya dengan kawan lainnya semakin melaju. Ada seorang kawan yang frustasi akibat proyeksi cinta yang muram. Ada yang doyan main gitar, lalu menghibur dengan lagu sentimentil dari Ikang Fawzi.

"Tiadaaaa gunaaa pulaaa kaau bicaraaaa~." Begitu penggalan lirik yang masih saya nikmati hingga detik ini.

Bertahun-tahun kemudian, saya nyaris tak pernah datang lagi ke Siliwangi. Semuanya berlalu. Masa remaja habis. Teman semakin sedikit. Saya memilih untuk fokus di kehidupan lain. Mencoba akrab dengan rutinitas harian.

Namun, sulit memang untuk melewatkan satu saja pertandingan Persib. Selagi ada waktu, saya masih hadir di depan layar televisi, sekaligus menemani tumbuh anak-anak muda seusia saya dulu. Situasi ini membuat jarak dengan barudak, juga skena mengbal.

Saya kurang memahami secara rinci bagaimana dinamika sepak bola saat ini sebab kita mafhum kalau semua orang punya kesibukan. Namun kenangan dan semangat pertemanan dari zaman itu masih melekat di benak saya.

Menjelang akhir pekan kemarin, saya menerima kabar kalau Wa Akam kecelakaan. Ia meninggal di tempat. Menyusul Mang Ayi dan kawan-kawan lain yang lebih dulu pergi.

Pileuleuyan, Wa Akam!

 

 

 

 ***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//