Ketika Dosen di Bandung Menuntut Pemenuhan Hak, Justru Dituduh Melanggar Etik
Kisah Riski Alita Istiqomah, dosen seni Universitas Halim Sanusi Bandung yang kehilangan jam mengajar setelah melapor upah tak dibayar.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 Oktober 2025
BandungBergerak - Bekerja sebagai dosen muda di Kota Bandung sepitas terlihat bergengsi dan menjanjikan. Kenyataannya tak begitu. Riski Alita Istiqomah, pengajar di Universitas Halim Sanusi Bandung (UHS) sampai saat ini berusaha menuntut hak-haknya yang kerap terlanggar, mulai dari tersendatnya gaji, tunjangan, hak mengajar, hak cipta, bahkan ditekan pihak kampus hingga dituding melanggar kode etik. Nasib ini tak dialami Kiki, demikian ia biasa disapa, sendiri.
Kiki merupakan dosen tetap sejak 2017 hingga 2019. Ia tidak pernah menerima gaji pokok sesuai dengan SK Yayasan. Ia juga tidak diberi jam mengajar dengan alasan jumlah mahasiswa kampus masih sedikit.
Meski demikian, namanya terdata di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) dan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Secara lisan pihak kampus sempat menyatakan bahwa ia akan tetap menerima gaji walaupun belum diberi jam mengajar, karena statusnya sudah dosen tetap. Sesuai SK ia seharinya menerima gaji pokok 1, 5 juta rupiah, tunjangan kinerja 500 ribu rupiah, dan uang makan.
“Kenyataannya, yang dibayarkan hanya honor per SKS. Jadi kalau tidak mengajar, ya tidak dibayar. Padahal, sebagai dosen tetap, seharusnya ada gaji pokok,” kata Kiki, dihubungi BandungBergerak, Kamis, 23 Oktiber 2025.
Selama mengajar dari tahun 2019 hingga 2023, dosen seni di prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) UHS Bandung ini tidak pernah menerima slip gaji. Nominal upahnya berubah-ubah tiap bulan, mulai dari 1 juta rupiah hingga 560 ribu rupiah. Pernah dalam sebulan ia tidak menerima gaji, hanya dibayar berdasarkan SKS 70 ribu rupiah dengan perhitungan yang tidak sesuai jumlah SKS yang ia isi. Kiki sudah melayangkan protes kepada kampus tapi tak pernah ditanggapi.
Puncak kekesalannya terjadi buku karyanya difotokopi untuk bahan ajar kuliah satu kelas tanpa izin darinya. Kiki telah meminta penjelasan dari mahasiswa yang memfotokopi bukunya, ia mengingatkan mereka untuk menghormati hak kekayaan intelektual (HAKI)—hak yang mestinya dipahami lembaga ilmu pengetahuan.
Alih-alih mendapatkan dukungan dari kampus, Kiki justru mendapatkan kesan sebaliknya. Pihak kampus bahkan mengancamnya akan memberhentikan secara tidak hormat. Padahal Kiki menulis buku dalam proses panjang dengan biaya sendiri, tanpa fasilitas atau bantuan dari kampus.
Dalam kegiatan mengajar, mahasiswa sering kali harus menanggung sendiri berbagai kebutuhan praktikum, seperti recorder, kanvas, make-up, dan perlengkapan lainnya. Kiki menilai kebijakan ini membebani mahasiswa dan telah menyampaikan keberatannya kepada pihak kampus, namun tidak mendapat tanggapan.
Di sisi lain, Kiki juga menghadapi kesulitan pribadi sebagai pengajar. Dengan gaji sekitar 500 ribu rupiah per bulan, ia masih harus membiayai sendiri kegiatan penelitian, penulisan buku, serta pelaksanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
“[Dengan kondisi seperti itu], tentu tidak sebanding,” ujar alumnus Pascasarjana Pendidikan Seni UPI Bandung.
Melapor, Namanya Bocor
Ketidakpastian nasib dan pemenuhan hak-haknya dari kampus mendorong Kiki berkonsultasi ke Serikat Pekerja Kampus (SPK). Tahun 2024 ia kemudian melapor ke LLDikti Wilayah IV Jawa Barat. Awal tahun 2025 upayanya sedikit membuahkan hasil, tunjangan fungsional dan gajinya cair 375 ribu rupiah.
“Itu mengajar tidak mengajar itu dikeluarkan atau dosen berhak mendapat tunjangan fungsional itu karena sudah asisten ahli gitu kan,” ujar Kiki
Semula Kiki cukup nyaman dengan tindakan pelaporan ke LLDikti. Laporan dibikin dengan jaminan namanya tidak akan muncul sebagai pelapor. Tetapi saat meneruskan laporan ke UPTD Ketenagakerjaan Disnaker Jabar, ia mendapatkan tekanan dan dipanggil oleh pihak kampus. Kampus memintanya untuk mencabut laporan. Jika tidak, jam mengajarnya akan dikurangi.
“Pihak Dinas Ketenagakerjaan itu kayak memberi ruang ke kampus untuk didiskusikan atau diselesaikan secara apa ya kekeluargaan mungkin ya secara internal dulu. Nah, dari situ kampus tahu siapa yang ngelaporin,” ungkapnya.
Pada semester awal di tahun 2024 Kiki mengajar 12-13 SKS. Setelah pelaporan jumlah SKS-nya tinggal 6. Ia tetap menolak mencabut laporan meski selama itu ia terus ditekan untuk mencabutnya. Pihak kampus bahkan mengancamnya tidak akan memberikan SKS.
“Jadi saya semester ini nol semester,” ujar Kiki.
Pada 15 Oktober 2025 Kiki mencoba mendatangi kembali pihak kampus dan menanyai status serta nasibnya mengajar di Universitas Halim Sanusi Bandung. Ia menegaskan tak akan menggundurkan diri dan akan terus menuntut pemenuhan hak-haknya. Namun kampus kekeuh meminta Kiki mencabut laporan.
“Saya bilang, ‘enggak bisa.’ Kalau namanya mencabut itu enggak segampang itu saya bilang. Saya tetap sampai kapan pun tidak akan mencabut laporan itu. Walaupun saya mau diberhentikan, walaupun saya tidak dikasih jam mengajar, saya tetap dengan keputusan saya,” tegas Kiki.

Dituding Melanggar Kode Etik
Kampus tidak tinggal diam dalam menghadapi protes dari Kiki. Pihak kampus menuduhnya melanggar kode etik karena menjual buku bahan ajar kepada mahasiswa. Kiki menjelaskan, penjualan buku itu dilakukan untuk kepentingan akademik dan tidak bersifat paksaan.
“Padahal, banyak dosen lain yang juga menjual buku mereka. Yang aneh, hanya saya yang dianggap melanggar etik. Padahal buku itu saya jual secara wajar, untuk kepentingan akademik. Mahasiswa yang memfotokopi buku tanpa izin justru tidak diberi sanksi,” terang Kiki.
Tuduhan pelanggaran etik juga muncul saat Kiki menjadi pendamping kegiatan ospek mahasiswa di Pangalengan. Ia menuturkan, pada malam hari ia melakukan patroli untuk memastikan keamanan peserta. Dalam patroli itu, Kiki menemukan seorang mahasiswa laki-laki berada di kamar mahasiswi dan menegurnya.
Keesokan paginya, Kiki mendengar kabar bahwa beberapa mahasiswa baru mengalami gatal-gatal setelah “dijeburkan” ke kolam air kotor oleh panitia ospek. Ia kemudian menegur panitia, terutama ketuanya—orang yang sama dengan mahasiswa yang ia tegur malam sebelumnya.
“Saya menegur panitia, khususnya ketua panitia. Ketua panitia itu orang yang sama semalam saya tegur, karena tindakannya berbahaya. Sejak itu hubungan saya dengan mahasiswa tersebut memburuk,” beber Kiki.
Setelah kejadian itu, menurut Kiki, mahasiswa yang ditegur menyebarkan isu bahwa dirinya memaksa mahasiswa membeli buku dan membuat mata kuliah “menghabiskan uang”. Mahasiswa tersebut juga memfotokopi dan mengunggah isi buku untuk menjawab tugas kuliah.
“Saat saya minta agar mereka (mahasiswa) menemui saya untuk meminta maaf, tidak ada yang datang. Saya sempat bilang, kalau seperti itu, saya bisa melapor atas pelanggaran hak cipta. Tapi justru setelah itu saya dituduh melanggar etik dan diancam diberhentikan,” tuturnya.
Kiki menambahkan, mahasiswa yang ia tegur melaporkan dirinya ke pihak kampus. Setelah laporan itu, ia mendapat ancaman akan diberhentikan secara tidak hormat.
“Saya anggap ini bentuk pembalasan dan upaya menyingkirkan dosen yang melapor,” sebut Kiki.
Meski sudah beberapa kali menyampaikan keberatan ke pihak kampus, Kiki tidak pernah mendapat kepastian. Ia justru menerima surat yang menyatakan dirinya mengundurkan diri, padahal ia tidak pernah membuat surat tersebut.
“Status saya digantung, tidak diberi jam mengajar, tidak diberhentikan secara resmi, tapi tetap diwajibkan mengisi Beban Kerja Dosen (BKD). Ini bentuk intimidasi dan pembungkaman,” ungkap Kiki.
Saat ini, Kiki menunggu hasil dari UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah IV Bandung terkait kekurangan pembayaran hak-haknya, termasuk BPJS Ketenagakerjaan yang selama delapan tahun tidak pernah didaftarkan. Ia juga berencana membawa kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) jika kampus tetap tidak memenuhi kewajiban.
“Kalau misalnya kampus enggak mau mengeluarkan hak-hak saya yang sudah dikeluarkan rekomendasinya dari UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan, pasti ke PHI. Sampai tuntas,” tegas Kiki.
Kiki berharap kasusnya dapat membuka mata banyak dosen muda di Indonesia. Ia menilai, banyak dosen dieksploitasi dengan beban kerja tinggi, namun hak-haknya diabaikan. Gaji sekitar 560 ribu rupiah per bulan, katanya, jelas tidak layak karena berada di bawah garis kemiskinan Kota Bandung yang mencapai sekitar 664 ribu rupiah per kapita per bulan.
“Banyak kampus masih beroperasi walau sudah melanggar aturan ketenagakerjaan. Semestinya kampus seperti itu ditutup atau dilarang menerima mahasiswa baru,” beber Kiki.
Kini, Kiki mengajar les musik privat seperti piano dan gitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sambil tetap menulis buku-buku akademik. Ia menegaskan tidak takut diberhentikan, selama hak-haknya dipenuhi dan ketidakadilan terhadap dosen muda tidak terus terjadi.
Kampus Menyayangkan Pelaporan.
Pihak Universitas Halim Sanusi Bandung membuka suara terkait masalah yang dihadapi Kiki. Kabag Humas UHS Yupitrani mengatakan, besaran upah mengajar para dosen telah disesuaikan dengan kemampuan finansial kampus. Ini telah disampaikan kepada para dosen termasuk Kiki.
Menurut Yupitrani, kampus memiliki bukti bahwa Kiki telah menyetujui jumlah serta skema pembayaran upah. Selain itu, pihak kampus juga sempat melakukan sosialisasi terkait tunjangan jabatan fungsional yang dihadiri oleh para dosen. Ia menyatangkan persoalan ini mengemuka dari satu orang dosen.
“Kami pihak kampus selalu membuka ruang untuk musyawarah demi mencari jalan terbaik untuk semua pihak. Kami menyayangkan sikap yang bersangkutan yang memilih cara yang kurang elok sebagai tenaga pendidik, yang berisiko merugikan mahasiswa kami,” kata Yupitrani, dihubungi BandungBergerak, Rabu, 22 Oktober 2025.
Mengenai pemanggilan Kiki, Yupitrani menyebut hal itu dilakukan karena pelanggaran kode etik dosen yang menimbulkan kekecewaan dari pihak kampus.
“Itu yang sebenarnya kami sayangkan, kami menghargai setiap aspirasi, termasuk melalui saluran formal. Laporan itu menjadi bahan evaluasi bagi kami. Yang penting, kami terbuka terhadap komunikasi dan berkomitmen memperbaiki kebijakan secara bertanggung jawab,” jelas Yupitrani.
Yupitrani juga beralasan bahwa Universitas Halim Sanusi Bandung merupakan kampus baru. Kampus ini masih memiliki keterbatasan sehingga perlu pengembangan secara bertahap demi keberlangsungan serta kesejahteraan pengajar dan mahasiswa.
Yupitrani berdalih bahwa saat ini kampus masih dalam masa transisi dan penyesuaian. Dosen yang bergabung sejak awal memahami bahwa kompensasi bersifat sementara dan disesuaikan dengan kondisi keuangan kampus yang masih berkembang. UHS berencana melakukan peningkatan bertahap hingga mencapai standar yang layak sesuai ketentuan.
Kasus yang Dialami Kiki Bukan yang Pertama
Koordinator Serikat Pekerja Kampus (SPK) Wilayah Jawa Barat Subekti W. Priyadharma atau Ibek membela Kiki yang merupakan anggota SPK. Ia menilai tuduhan pelanggaran etik terhadap Kiki berawal dari laporan yang diajukan ke UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Jawa Barat terkait upah yang tidak dibayarkan sesuai kontrak.
Berdasarkan dokumen yang diterima SPK, kontrak kerja Kiki mencantumkan upah sebesar 1,5 juta rupiah per bulan, namun jumlah yang diterima lebih rendah dan tidak konsisten dibayarkan.
“Laporannya sudah kami sampaikan ke UPTD. Sekarang sedang dihitung total kerugiannya. Tapi setelah itu, Bu Kiki justru tidak diberi jam mengajar semester ini,” kata Ibek saat dihubungi, Rabu, 22 Oktober 2025.
Ibek menegaskan, pelaporan ke UPTD seharusnya tidak memengaruhi hak mengajar seorang dosen. Namun, pihak universitas diduga mengaitkan laporan tersebut dengan isu pelanggaran etik.
“Saat dikonfrontir, pihak kampus bilang kalau mau diberi SKS lagi, laporannya harus dicabut. Itu bentuk intimidasi. Bahkan muncul tuduhan etik yang tidak jelas,” jelas Ibek.
Menurut SPK Jabar, tuduhan etik itu merupakan bentuk tekanan agar dosen menarik laporannya. Hingga kini, dosen UHS tersebut tidak pernah menerima surat peringatan (SP) maupun dokumen resmi yang menjelaskan pelanggaran etik yang dituduhkan.
“Kalau memang ada pelanggaran etik, harusnya ada proses dari SP1, SP2, dan seterusnya. Faktanya tidak ada. Tiba-tiba saja tidak diberi jam mengajar. Ini kontradiktif dan tidak transparan,” tegas Ibek.
Ibek menuturkan, kasus serupa bukan yang pertama kali di Jawa Barat. Berdasarkan data SPK, beberapa kampus di wilayah ini memiliki persoalan serupa, mulai dari gaji di bawah standar, kontrak kerja yang tidak jelas, hingga dosen yang tidak didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
SPK Jabar juga telah menyampaikan persoalan ini kepada Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, dalam audiensi di Balai Kota Bandung pada Rabu, 15 Oktober 2025. Dalam pertemuan itu, Ibek menyebut masih banyak tenaga pendidik dan dosen yang menerima upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR) serta mengalami dugaan intimidasi di beberapa perguruan tinggi.
Ia menegaskan, perjuangan pekerja kampus tidak hanya menuntut upah layak, tetapi juga membangun lingkungan kerja yang adil, aman, dan bermartabat di sektor pendidikan tinggi.
Selain Ibek, dosen Universitas Muhammadiyah Bandung (UMB) sekaligus anggota SPK, Isman Rahmani Yusron, turut menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi pekerja kampus. Berdasarkan data SPK, terdapat ketimpangan besar antara biaya kuliah mahasiswa dan kompensasi yang diterima dosen.
Isman mencontohkan, di Jawa Barat yang memiliki sekitar 150 kampus, mahasiswa membayar biaya kuliah rata-rata 15 juta rupiah per semester, sedangkan dosen hanya menerima sekitar 2,5 juta rupiah. Dalam satu kelas, seorang dosen bisa mengajar lebih dari 30 mahasiswa, kondisi yang membuat banyak dosen kesulitan membiayai pendidikan anak mereka hingga perguruan tinggi.
Baca Juga: Berserikat Diintimidasi, Berekspresi Dibredel
Nonton Film dan Diskusi Locked Voice di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kelas Pekerja Menembus Jalanan Terjal Membentuk Serikat
Dukungan dari Pemkot Bandung
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan SPK Jabar. Ia mengakui pemerintah daerah memiliki permasalahan serupa terkait kesejahteraan tenaga pengajar, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
“Kita punya masalah yang sama bahwa memang kita punya pekerjaan rumah untuk memastikan kesejahteraan para pengajar ini dari mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi,” jelas Farhan.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Bandung Andri menambahkan, pihaknya baru mengetahui keberadaan SPK. Selama ini, laporan yang diterima Disnaker umumnya berasal dari sektor industri. Ia mengajak SPK Jabar bergabung dengan Forum Komunikasi Serikat Pekerja.
“Saat ini kurang lebih ada 13 serikat pekerja yang sedang diverifikasi oleh Disnaker Kota Bandung, dan kami tawarkan SPK untuk dapat bergabung di Forum Komunikasi Serikat Pekerja agar bisa berbagi tentang berbagai hal,” jelas Andri.
SPK adalah organisasi yang memperjuangkan hak-hak pekerja di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. Serikat ini berkomitmen memperkuat solidaritas pekerja kampus demi terciptanya sistem kerja yang adil, transparan, dan menghormati martabat pekerja sebagai bagian penting dari ekosistem pendidikan nasional.
Saat ini SPK telah menghimpun sekitar 1.132 dosen dan tenaga pendidik dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Ia menegaskan, perjuangan SPK tidak hanya soal tunjangan atau gaji, tetapi juga menciptakan lingkungan pendidikan yang adil dan sejahtera bagi semua pihak baik dosen dosen di kampus negeri maupun swasta.
Selain Kiki, banyak dosen-dosen lain yang mengalami nasib serupa. Januari 2025, sebanyak 40 dosen dan 22 tenaga pendidik di Universitas Bandung belum menerima gaji selama berbulan-bulan, tanpa kejelasan baik secara lisan ataupun tertulis seusai kasus dugaan korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP) menggemparkan kampus ini. Pihak Yayasan Bina Adminstrasi (YBA) mengatakan, pembayaran akan disegerakan setelah bangunan kampus yang terletak di Cipagalo terjual.
Jawa Barat memiliki sedikitnya 400 lebih kampus negeri dan swasta, sebanyak 79 kampus, sekaligus yang terbanyak, berdiri di Kota Bandung. Selain menghadapi masalah kesejahteraan dosen, kampus-kampus tersebut memiliki tantangan peningkatan kualitas pendidikan.
Terkait kualitas, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung mengeluarkan keputusan menggemparkan dunia akademik. Pihak kampus membatalkan 233 ijazah mahasiswa lulusan 2018-2023. Pembatalan ijazah dilakukan kampus setelah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mensinyalir dugaan maladminstari oleh Stikom Bandung. Sehingga, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IV Jabar Banten menjatuhkan sangsi berat.
Setelah mencuatnya kabar pembatalan ijazah mahasiswa Stikom, beragam isu mencuat ke permukaan, mulai dari dugaan penyelewengan pengelolaan dana mahasiswa, sampai praktik jual beli nilai. Belum cukup sampai situ, kampus yang sudah tiga puluh tahun berdiri ini juga sempat dikhawatirkan ditutup. Kepala LLDIKTI Wilayah IV, M. Samsuri menjelaskan menjelaskan masalah yang dihadapi Stikom Bandung, meliputi tata kelola mutu dan tata kelola ketaatan asas perguruan tinggi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

