• Kolom
  • PAYUNG HITAM #69: Menagih Arah Gerak YLBHI

PAYUNG HITAM #69: Menagih Arah Gerak YLBHI

Hukum kita saat ini tidak pernah responsif terhadap keadaan struktur yang menindas. Bantuan Hukum Struktural harus ada untuk mengubah struktur yang menindas.

Ressy Rizki Utari

Penantang Status Quo. Pekerja LBH Bandung.

Ilustrasi. Hukum harus berpihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

20 November 2025


BandungBergerak.id – Tahun 2016 jika tidak salah ingat, aku mengenal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), lebih tepatnya LBH Bandung, dari seorang jurnalis sekaligus advokat bernama Ahmad Taufik (Ate). Sebagai seorang Pers Mahasiswa yang berkuliah di Fakultas Hukum, ia cukup menyita perhatianku. Kemudian aku tahu jika Ate terlibat aktif di LBH Bandung.

Namun, perjumpaanku dengan LBH Bandung tidak berhenti sampai di sana. Jika diingat, sering sekali aku melakukan wawancara pada punggawa-punggawanya yang terlibat dalam isu-isu HAM dan demokrasi di Bandung. Beberapa kali ikut menjadi bagian dari diskusi-diskusi yang mereka buat. “Keren juga mereka, ternyata jadi advokat tidak seburuk itu,” pikirku saat itu.

Tepat sesaat setelah lulus kuliah tahun 2022, akhirnya aku ikut menjadi salah seorang peserta Kalabahu. Bantuan Hukum Struktural menjadi salah satu materi paling baru untukku saat itu. “Oh… ternyata bisa juga ya hukum yang sangat positivistik itu menyerang struktur,” aku sumringah sekali mendengar gagasan itu. Sayangnya, ketakjuban itu tidak berlangsung lama.

Teori ideal tentang Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang ada di kepalaku ternyata tak tampak adanya. Kekhawatiran yang disampaikan oleh Mulya Lubis mengenai BHS yang hanya menjadi retorika dan jargon mungkin telah terjadi.

Menurut Mulya Lubis, BHS harus memiliki tujuan merombak tatanan sosial ke arah keadilan struktural atau ke arah horisontalisasi pola hubungan. Ia mengatakan jika BHS harus ada untuk mengubah struktur yang menindas.

Baginya, tujuan ini tidak mungkin tercapai jika kerja-kerja bantuan hukum yang dilakukan hanya dilakukan dengan upaya hukum atau legal means saja. Secara berulang kali Mulya Lubis mengatakan jika bantuan hukum sangat mudah sekali tergelincir melanggengkan struktur yang ada. Menurutnya Bantuan Hukum tradisional sangat mungkin menjadi alat untuk menjaga status quo.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #66: Membaca Pekerja Seks dalam Bayang Kapitalisme dan Hipokrisi Moral
PAYUNG HITAM #67: Janji Gizi Makan Bergizi Gratis dan Keracunan Massal
PAYUNG HITAM #68: Memaknai Arc Wano dalam Animasi One Piece sebagai Cermin Dunia Kita

Bantuan Hukum

Apa yang dikatakan oleh Mulya Lubis ini bukan tanpa alasan. Baginya, hukum itu dibuat oleh penguasa sehingga ia tidak pernah netral dan selalu berpihak pada pembuat hukum itu. Sebagai contoh, bagi hukum, kelompok masyarakat yang membakar beko di proyek pertambangan akan dipandang bersalah. Padahal alasan tindakan itu untuk melindungi hutan adat dan menjaga keseimbangan alam tempat mereka hidup. Tetapi, perbuatan itu akan tetap dianggap sebagai tindakan pidana bagi hukum. Karena hukum kita saat ini tidak pernah responsif terhadap keadaan struktur yang menindas.

Oleh sebab itu Mulya Lubis membedakan BHS dengan bantuan hukum tradisional. Extra legal means atau pendekatan di luar hukum harus menjadi metode yang dilakukan dalam BHS. Perlu diakui, pekerjaan rumah (PR) di dalam melakukan pendekatan ini lebih banyak bahkan membutuhkan waktu yang jauh lebih panjang. Sedangkan proses hukum mungkin akan selesai dalam waktu kurang lebih tiga bulan sampai putusan –jika tidak banding.

Namun cita-cita besar BHS dalam mendorong perubahan struktur pada sesuatu yang lebih berkeadilan harus ditebus dengan jalan yang tidak singkat dan mudah. Barang tentu, perubahan mendasar tidak pernah lahir dari air yang tenang. Ia dilahirkan dari pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Jika dalam kata-kata yang dinamis dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam (Aksi Massa, 2013). Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik dan psikologis

Semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah kemungkinan hantu perubahan yang disebut revolusi itu datang. Peristiwa ini tidak pernah dijalankan dengan proses damai seperti bantuan hukum tetapi kejadian penuh kekerasan.

Seperti yang dijelaskan di muka, legal means saja justru membuat jurang kesenjangan itu tetap dalam keadaan aman. Tidak pernah betul-betul mampu menghilangkan kesenjangan, tetapi justru membuat jurang itu tetap berada di titik aman agar tidak terjadi krisis yang memicu perubahan mendasar (baca: status quo).

Meminjam penjelasan Tan Malaka dalam Aksi Massa, perubahan bisa terjadi hanya jika syarat-syaratnya telah terpenuhi; Kekayaan dan kekuasaan sudah tertumpuk ke dalam genggaman beberapa orang kapitalis. Rakyat Indonesia semuanya makin lama semakin miskin, melarat tertindas dan terkungkung. Pertentangan kelas dan kebangsaan makin lama makin tajam. Tiga hal ini menggambarkan kesenjangan pusat dan pinggiran telah berada pada keadaan maksimal. Penguasa makin lama semakin reaksioner, syarat ini menggambarkan penguasa yang semakin menunjukkan watak otoriter.

Tetapi semua syarat itu tidak akan bisa didapatkan jika status quo terus terjadi. Sedangkan, bantuan hukum meninabobokan kelompok pinggiran dengan kepuasan pada keputusan pengadilan. Bantuan hukum hanya menciptakan rasa aman yang fatamorgana.

Adapun krisis dalam kapitalisme merupakan keniscayaan. Tetapi, syarat terakhir berupa keadaan rakyat yang dari hari ke hari harus semakin revolusioner dan tak mengenal damai, merupakan hal yang harus disiapkan. Tidak muncul tiba-tiba.

Maka, apabila YLBHI menginginkan apa yang dicita-citakan BHS itu terjadi,  extra legal means yang menjadi PR besarnya, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh bukan ala kadarnya. Merasa cukup dengan membuat siaran pers dan postingan media sosial. Mulya Lubis menyebutkan jika BHS harus mampu membentuk power resources atau dalam sebutan lain Tan Malaka rakyat yang revolusioner. Tentu saja terdapat banyak hal yang perlu dikerjakan untuk hal ini.

Ambivalensi Bantuan Hukum

Banyak sekali pakar yang bicara mengenai gerakan perubahan. Namun jika merujuk teori gerakan sosial yang dikatakan oleh Gramsci saja terdapat banyak sekali hal yang harus dilakukan. Pembentukan kesadaran kritis, konsolidasi masyarakat sipil, konfrontasi politik terbuka, pembangunan hegemoni baru, kesemua hal ini bahkan jika hanya dibangun dari satu isu pendampingan membutuhkan waktu selama menahun.

Sebagai contoh, pendampingan kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh LBH. Jika kita memahami secara utuh BHS, yang kita lakukan tentu saja tidak hanya menyusun segala kebutuhan dan tindakan legal berupa, pendampingan pemeriksaan, pembuatan; surat kuasa, gugatan, eksepsi, replik, duplik, pledoi dan sederet lainnya yang juga tidak sedikit.

Namun  juga perlu memikirkan pengorganisasian masa di mulai dari membentuk lingkar inti, mengumpulkan dan menganalisis data, memilih isu strategis, mengemas isu, menggalang sekutu, membangun basis gerakan, pendidikan politik, melakukan diskusi, menyiapkan satuan pendukung sampai pada melancarkan tekanan. Di mana dari satu proses seperti membangun basis gerakan saja Pengabdi bantuan hukum perlu melakukan berlapis hal. Karena basis hanya bisa dibangun ketika kita secara penuh dan utuh menjadi bagian dari masa. Itu berarti makan apa yang mereka makan tinggal di tempat mereka tinggal yang tidak hanya satu dua hari saja. Meski begitu, Penulis memandang pendekatan legal maupun di luar itu sangat penting. Keduanya tidak bisa dilakukan ala kadarnya atau yang penting ada.

Di lapangan kerap kali terjadi ambivalensi pada Pengabdi Bantuan Hukum (PBH). Di satu pihak kita ingin melompati tapal batas hukum tetapi juga sadar bahwa kita sudah menjadi sandera hukum. Padahal jika kita telah mengetahui betul tujuan BHS untuk mengubah tatanan sosial yang senjang, ambivalensi itu harusnya tiada.

Namun, bagaimana jika pengurus YLBHI lebih banyak disibukkan dengan urusan legal atau bahkan mengerjakan proyek donor? Sibuk berbicara soal kelompok pinggiran di fasilitas-fasilitas mewah perhotelan. Meminjam perkataan Mulya Lubis, selesai hanya sampai permukaan. Lebih jauh, kita hanya menjadi pereda rasa sakit atau pengobat symptom. Sehingga sistem menindas itu akan selalu dalam status quo.

Hal serupa disampaikan oleh John Galtung, jika redistribusi struktural yang setengah-setengah ini hanya akan menunda perubahan menyeluruh secara struktural. Sekali lagi hanya menjadi penjaga status quo.

Aku jadi bertanya, kenapa BHS ini tampak hanya dijalankan setengah-setengah. Apakah karena kita tidak punya nyali sebesar itu? Tidak punya nyali menghadapi konflik dan krisis yang niscaya terjadi dalam perubahan struktur yang menjadi tujuan BHS? Atau banyak dari kita belum terbiasa dengan kerja-kerja BHS?

Lebih jauh, refleksi lain yang perlu segera disadari atau bahkan segera dipikirkan secara serius solusinya ialah ketergantungan kerja YLBHI pada donor. Jika selama ini struktur yang menindas itu lahir karena sistem ekonomi yang eksploitatif dan melahirkan ketergantungan, mengapa kita tidak pernah secara serius membangun kemandirian ekonomi yang tidak bergantung? Apakah sekali lagi kita tidak punya nyali merasakan kemelaratan? Seorang teman mengatakan “sebuah tabiat kelas menengah ngehe“.

 

***

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//