PAYUNG HITAM #70: Kekerasan di Skena Hardcore Punk dan Pengkhianatan Terhadap Nilai Dasarnya
Jika hardcore punk ingin tetap menjadi kultur perlawanan, maka ia harus berani menolak reproduksi rasisme, kekerasan, seksisme, dan bentuk dominasi apa pun.

Chan
Buruh Pariwisata
27 November 2025
BandungBergerak.id – Lebih dari satu dekade lalu saya mengenal skena hardcore punk, dari ruang-ruang kecil itu saya belajar bahwa kultur ini bukan hanya soal musik cepat, suara distorsi gitar, atau teriakan di panggung. Saat pertama kali memasuki sebuah gigs kecil di Bandung, saya merasakan bahwa kultur ini tumbuh dari sesuatu yang jauh melampaui suara keras. Sebuah kesadaran kolektif untuk menolak hierarki, menentang dominasi, dan membuka ruang setara bagi siapa pun tanpa memandang ras, gender, dan latar belakang sosial. Nilai-nilai itulah yang menjadi fondasi kultur ini sejak awal.
Ketika punk mulai kehilangan daya subversifnya dan terseret arus komersialisasi pada akhir 1970-an, generasi baru di Amerika Serikat mencoba mengembalikan esensi perlawanan tersebut. Dari New York, Washington DC, California, hingga Boston, anak-anak muda kala itu membangun kembali ruang alternatif melalui gigs di basement, garasi, dan ruang kecil lain. Mereka mendirikan label independen, menjalankan distribusi mandiri, dan memproduksi musik secara otonom. Hardcore punk pun lahir sebagai evolusi radikal dari punk rock yang lebih cepat, lebih keras, dan lebih menuntut secara etika. Band-band seperti Bad Brains, Minor Threat, Black Flag, Warzone, serta gelombang Youth Crew menegaskan etos kemandirian (DIY), solidaritas, dan inklusivitas sebagai pilar kultur. Ruang-ruang kecil itu menjadi laboratorium sosial tempat generasi muda mencoba membangun dunia tanpa dominasi.
Namun dinamika di dalam komunitas tidak selalu ideal. Pada awal 1990-an, gerakan Riot Grrrl muncul dari skena yang sama untuk menggugat seksisme, kekerasan terhadap perempuan, dan maskulinitas toksik yang merembes ke dalam ruang gigs. Melalui zine dan manifesto mereka menegaskan bahwa punk tidak bisa dianggap radikal apabila gagal menciptakan ruang aman bagi perempuan dan kelompok minoritas. Kritik ini mengingatkan bahwa inklusivitas bukanlah nilai tambahan, tetapi inti dari keberlangsungan kultur hardcore itu sendiri.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #67: Janji Gizi Makan Bergizi Gratis dan Keracunan Massal
PAYUNG HITAM #68: Memaknai Arc Wano dalam Animasi One Piece sebagai Cermin Dunia Kita
PAYUNG HITAM #69: Menagih Arah Gerak YLBHI
Kekerasan Struktural
Meski demikian, seperti ruang sosial lain, skena hardcore punk tidak kebal terhadap kekerasan struktural yang hadir dalam masyarakat luas. Insiden pengeroyokan dan pembacokan yang terjadi baru-baru ini di sebuah gigs di Malang yang beredar berdasarkan unggahan sejumlah akun sosial media komunitas, menyebabkan dua personel band luka parah. Insiden itu menjadi pengingat pahit bahwa kekerasan bisa menyusup ke ruang yang dibangun dari semangat kebebasan. Namun kerusakan terbesar justru terletak pada hilangnya rasa aman, sesuatu yang tidak dapat dipulihkan hanya dengan permintaan maaf.
Pengalaman saya di Bandung menunjukkan pola serupa. Moshpit yang seharusnya menjadi ruang ekspresi kolektif sering kali berubah menjadi ajang balas dendam atau arena pembuktian diri. Sikut yang disengaja, dorongan agresif, bahkan penggunaan senjata tajam sesekali muncul. Lebih mengkhawatirkan lagi, perilaku seksis sering dianggap hal biasa.
Beberapa kawan perempuan kerap kali menceritakan pengalaman yang tidak nyaman bagaimana tangan yang merayap di kerumunan, sentuhan tanpa persetujuan, maupun komentar melecehkan yang di anggap sebagai candaan. Beberapa memilih berhenti datang ke gigs untuk sementara waktu. Sebuah ironi ketika ruang yang dibayangkan sebagai tempat pembebasan justru mereproduksi dominasi.
Padahal, slogan seperti "Tidak ada ruang untuk seksisme dan kebencian", "Mosphit untuk bersenang-senang,bukan untuk kekerasan", dan "Hormati setiap gender" bukan sekadar hiasan di poster. Ia adalah etika dasar yang membuat skena ini tetap hidup. Secara historis, moshing bukan arena perkelahian, tetapi simbol kepercayaan kolektif : Jatuh, ditolong, bangkit, dan kembali menari bersama.
Karena itu, ketika seseorang berkata, "Kalau enggak mau kena pukul, jangan datang ke acara punk atau hardcore," pernyataan tersebut bukan hanya keliru secara budaya, tetapi juga mengandung logika fasis yang menormalisasi kekerasan. Cara pandang seperti ini menganggap ruang publik sebagai arena dominasi, sesuatu yang bertentangan dengan inti gerakan hardcore punk sebagai kultur anti-otoritarian.
Ruang Aman Bukan Fasilitas Tambahan
Kualitas sebuah gigs tidak pernah diukur dari seberapa keras seseorang mampu menghantam orang lain, melainkan dari sejauh mana semua orang merasa aman berada di dalamnya. Ruang hardcore punk sebagaimana ruang komunitas lainnya, hanya dapat bertahan jika aksesibel bagi semua gender, usia, orientasi seksual, maupun latar sosial. Ruang aman bukan fasilitas tambahan, melainkan fondasi dari keberadaan kultur ini.
Jika hardcore punk ingin tetap menjadi kultur perlawanan, maka ia harus berani menolak reproduksi rasisme, kekerasan, seksisme, dan bentuk dominasi apa pun di dalam skenanya sendiri. Membiarkan hal itu dinormalisasi berarti bukan hanya mengkhianati korban, tetapi juga menghapus jejak sejarah kolektif yang pernah dibangun generasi sebelumnya, dari basement kecil di Amerika serikat hingga gigs sederhana di kota-kota Indonesia hari ini.
Kultur ini lahir dari keyakinan bahwa ruang alternatif selalu mungkin. Karena itu tugas kitalah yang menjaganya, merawat satu sama lain di pit, mengingatkan ketika batas terlampaui, dan memastikan semua orang pulang dengan tubuh dan hati yang utuh. Karena pada akhirnya, moshpit diciptakan untuk bersenang-senang, bukan untuk saling melukai. Dan skena ini, sekeras apa pun musiknya, tetaplah rumah bersama, rumah yang hanya bisa hidup ketika semua penghuninya saling menjaga.
***
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

