PAYUNG HITAM #71:Untuk Siapa Revisi KUHAP
Ketika hukum tidak lagi menjadi pelindung ekspresi, tetapi pagar yang menentukan mana suara yang boleh hidup, maka demokrasi kehilangan tulang punggungnya.

Chan
Buruh Pariwisata
4 Desember 2025
BandungBergerak.id – Ada saat ketika berita bukan lagi sekadar informasi, melainkan peringatan. Ketika teks kebijakan terasa seperti pintu yang perlahan ditutup di depan wajah publik. Dan itulah yang saya rasakan saat membaca berita tentang pengesahan revisi KUHAP, sebuah dokumen hukum yang disusun tergesa-gesa, diunggah kurang dari sehari sebelum pengesahan, lalu diketuk palu seakan negeri ini tak lagi punya publik yang berhak tahu. Kita hidup di masa ketika revisi undang-undang yang katanya demi penertiban, modernisasi, dan harmonisasi hukum perlahan-lahan membentuk realitas baru, di mana realitas kebebasan berekspresi tidak lagi dianggap hak yang melekat, tetapi privilese yang bisa dicabut kapan saja.
Sebelum kabar disahkan masuk ke telinga saya. Seperti yang pernah kita rasakan bersama bahwa kita pernah melalui pola dengan prosedur yang samar, rapat kamar gelap, lobi yang tak terdengar, dan keputusan yang tak bisa dibatalkan. Reformasi berteriak soal akuntabilitas, tapi langkah kaki kekuasaan makin mendekat ke pola lama: tertutup, transaksional, dan jauh dari rakyat.
Karena mari kita jujur pada sejarah bahwa tidak ada demokrasi tanpa kritik. Tidak ada kemajuan tanpa perbedaan pendapat. Tidak ada ruang publik yang sehat tanpa kebebasan untuk menyinggung, menggugat, menantang, atau bahkan mengecewakan kekuasaan.
Namun RKUHAP seolah ingin membalikkan logika itu. Negara ditempatkan sebagai entitas yang tak boleh disentuh, sementara warganya diatur agar tunduk dan rapi. Padahal, dalam demokrasi yang matang, negara tidak rapuh terhadap kritik warganya, justru kritik itulah yang membuatnya relevan dan bertanggung jawab.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #68: Memaknai Arc Wano dalam Animasi One Piece sebagai Cermin Dunia Kita
PAYUNG HITAM #69: Menagih Arah Gerak YLBHI
PAYUNG HITAM #70: Kekerasan di Skena Hardcore Punk dan Pengkhianatan Terhadap Nilai Dasarnya
Sorotan untuk Revisi KUHAP
Sebaliknya, undang-undang ini tampak seperti pagar kawat yang semakin rapat. Kita lihat 11 poin yang menjadi sorotan dalam pasal tersebut.
- Polri menjadi semakin superpower. RKUHAP memberikan kewenangan penyidikan yang terpusat pada Polri dengan minimnya mekanisme pengawasan eksternal.
- Penyidik dari TNI. Indikasi ini tertuang dalam Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4) draf RUU KUHAP. Hal ini membuka ruang bagi anggota TNI untuk menjadi penyidik dalam tindak pidana umum, sehingga mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer.
- Masa penangkapan 7 hari. Dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP menyebutkan penangkapan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas pada keadaan tertentu. Memperpanjang masa penangkapan hingga 7 hari dari semula 1×24 jam, yang sangat meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi dalam kasus salah tangkap.
- Penahanan subjektif. Penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan tanpa izin pengadilan berdasarkan alasan "mendesak" yang penilaiannya bersifat subjektif.
- Alasan penahanan dipermudah. Alasan penahanan menjadi sangat lentur karena penyidik dapat menahan seseorang hanya berdasarkan penilaian "tidak kooperatif" selama pemeriksaan.
- Penggeledahan sewenang-wenang. Penggeledahan dapat dilakukan tanpa izin pengadilan hanya dengan alasan "mendesak" menurut penilaian subjektif penyidik, mengancam hak privasi warga.
- Penyitaan sewenang-wenang. Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik, sebagaimana tercantum dalam pasal 112 Ayat (3).
- Pengaduan berpotensi terus menumpuk dan tidak independen. Pengaduan atas laporan yang diabaikan menjadi tidak independen karena masyarakat baru bisa melapor ke atasan penyidik setelah 14 hari tanpa kejelasan.
- Bantuan hukum terbatas. Akses terhadap bantuan hukum menjadi tidak inklusif karena tidak mengakomodasi tersangka kasus ringan dan kelompok rentan.
- Hak pilih pengacara dihapus. Hak tersangka untuk memilih sendiri kuasa hukumnya dihapus karena penyidik diberi wewenang untuk menunjuk pengacara bagi mereka yang tidak mampu.
- Penyadapan tanpa izin. Poin ini diatur dalam Pasal 124 yang bilang bahwa penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subyektif penyidik.
Dari 11 poin bermasalah yang menjadi sorotan di atas, kita melihat bagaimana kewenangan aparat diperluas: Polri menjadi makin superpower tanpa sistem pengawasan eksternal yang memadai. Ruang bagi TNI untuk ikut menjadi penyidik dibuka, mengaburkan batas sipil dan militer yang selama puluhan tahun diperjuangkan pasca reformasi.
Masa penangkapan yang diperpanjang hingga 7 hari, tanpa kehadiran hakim atau mekanisme kontrol yang kuat, membuka ruang salah tangkap, kriminalisasi, dan pembungkaman. Wewenang penahanan tanpa izin pengadilan atas alasan mendesak yang sifatnya subjektif, hanya menambah ketidakpastian hukum: siapa yang menentukan mendesak? Apa ukurannya? Mengapa definisinya elastis?
Lebih jauh lagi, alasan penahanan dipermudah, cukup dengan penilaian bahwa seseorang dianggap tidak kooperatif. Di tangan kekuasaan, frasa seperti itu bukan hukum melainkan ruang abu-abu bagi represi. Tidak berhenti sampai di situ, penggeledahan dan penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan, hanya dengan klaim keadaan mendesak. Penyadapan menjadi sah tanpa izin hakim. Bantuan hukum menjadi terbatas, terutama bagi mereka yang lemah secara ekonomi dan sosial. Bahkan hak memilih kuasa hukum sendiri bisa dicabut, seolah rakyat hanyalah objek prosedural, bukan manusia dengan martabat hukum.
Yang membuatnya makin mengganggu yaitu mekanisme pengaduan menjadi berbelit, tidak independen, dan berpotensi berlarut-larut hingga lebih dari 14 hari tanpa kejelasan. Dalam sistem yang ideal, rakyat dapat melaporkan penyalahgunaan wewenang dengan mudah. Tapi di sini, sebaliknya negara melaporkan rakyat, rakyat melapor ke tembok. Dan di titik inilah garis antara demokrasi dan imitasi demokrasi menjadi jelas, bahwa demokrasi menoleransi ketidaksopanan karena ia percaya pada hak rakyat untuk berbicara bahkan ketika suara itu tidak nyaman.
Untuk Siapa Revisi KUHAP
Otoritarianisme menuntut penghormatan karena ia takut pada suara rakyat terutama suara yang mengungkap kelemahannya. Maka jika negara benar-benar percaya diri, ia tidak butuh hukum untuk menutup mulut rakyatnya. Negara yang matang tidak memenjarakan kritik, ia akan menjawabnya.
Negara yang dewasa tidak takut pada rakyatnya, ia bekerja untuk mereka. Setelah membaca 11 poin yang menjadi sorotan itu, saya seperti melihat undang-undang ini bukan sebagai alat keadilan melainkan Blueprint Represi yang Disahkan negara.
Dan saya bertanya dalam hati, "Untuk siapa hukum ini dibuat?” Karena jelas bukan untuk mereka yang takut ditangkap tanpa bukti. Bukan untuk mereka yang telah merasakan teleponnya disadap tanpa izin pengadilan. Bukan untuk mereka yang kehilangan ruang berekspresi setelah gelombang penangkapan massal pasca demonstrasi Agustus lalu.
Demokrasi perlahan tidak mati karena kekerasan, tetapi karena diam. Dan inilah dampak paling gelap dari revisi itu, ia mengubah mentalitas warga negara dari pemilik suara menjadi pengelola kehati-hatian. Kita dipaksa mencari aman, bukan mencari kebenaran. Kita mulai berbicara sambil menimbang risiko, bukan membangun keberanian. Ketika hukum tidak lagi menjadi pelindung ekspresi, tetapi pagar yang menentukan mana suara yang boleh hidup, maka demokrasi kehilangan tulang punggungnya.
Hari ini, revisi KUHAP telah disahkan. Tapi ini bukan titik akhir. Ini adalah titik awal pertanyaan yang harus terus kita ajukan: Jika hukum tidak melindungi rakyat, lalu apa gunanya negara?
Dan sampai pertanyaan itu terjawab, kolom ini adalah catatan kecil perlawanan agar kita tidak lupa bahwa demokrasi tidak mati dalam satu hari, ia mati dalam dokumen yang di setujui tanpa rakyat, dan hari ini, satu dokumen itu baru saja lahir.
Pertanyaan akhirnya sederhana dan mungkin paling menakutkan yaitu, apakah hukum ini dibuat untuk melindungi warga negara? Atau untuk melindungi negara dari warganya? Jika jawabannya yang kedua, maka kita tidak sedang membangun sistem peradilan modern. Kita sedang membangun kandang, hanya saja pintunya menghadap ke dalam. Dan sejarah selalu mengingat satu hal bahwa ketika hukum tidak lagi berdiri bersama rakyat, maka ia berhenti menjadi hukum dan berubah menjadi senjata.
***
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

