Memamah Revolusi Kemerdekaan dari Kisah Orang Biasa
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan juga film adaptasinya yakni Perang Kota, bisa menjadi gerbang bagi pelajar untuk memahami revolusi kemerdekaan.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom
17 Desember 2025
BandungBergerak.id – Suatu hari, saya menonton Film Perang Kota. Kabar yang beredar menunjukkan kalau film garapan Mouly Surya ini merupakan adaptasi longgar dari novel klasik berjudul Jalan Tak Ada Ujung, yang terbit pada 1952. Karenanya ia tak persis menyerupai dengan cerita dalam novel.
Benar saja. Setelah membaca ulang novel Jalan Tak Ada Ujung memang ada beberapa scene yang saya rasa berbeda. Namun Perang Kota bisa mengemukakan esensi novel itu ke dalam bentuk visual. Setidaknya begitu kesan yang saya dapat.
Bukan kebetulan jika film ini banyak dipuji karena estetika sinematografinya. Ia juga mampu mengangkat kisah sejarah dari sudut pandang yang jarang dieksplorasi: kehidupan seorang guru di tengah pusaran revolusi. Novel Jalan Tak Ada Ujung itu memuat jalan hidup Guru Isa.
Ia seorang pendidik sederhana. Berjuang menghidupi keluarga kecilnya: istri (Fatimah) dan anak angkat (Salim). Nahas, situasi yang dihadapi mereka begitu pelik. Penulisnya Mochtar Lubis. Memiliki latar belakang jurnalis.
Entah apa alasannya ia memilih menyorot “orang biasa” yang terjebak dalam badai sejarah. Ada lagi tokoh lainnya: Hazil, begitu ia punya nama. Ia sahabat Guru Isa. Punya pembawaan yang bergelora. Penuh gairah.
Hazil merupakan anak seorang pensiunan Kepala Landraad, mantan birokrat di era kolonial, yang hidup nyaman di masa “normal”. Namun kini harus menghadapi dunia yang sedang bergerak. Ayah Hazil mempunyai watak konservatif. Ia terpukul oleh perubahan. Kenyamanannya terancam.
"Persetan! Kenapa setiap hari mesti ada tembakan? Dunia ini sudah mau kiamat. Semua orang sudah gila!" begitu keluh kesah Kamarudin, Ayah Hazil.
Sejujurnya saya tidak punya rencana membahas detail film. Membuat ulasan (juga kritik) film juga tidak termasuk dalam keinginan dan kemampuan saya. Sekadar punya kehendak mengemukakan pendapat kalau film dan novel ini bisa menjadi gerbang para pelajar memahami latar revolusi kemerdekaan.
Baca Juga: Cerita Penanganan Remaja Nakal di Bandung Era 1950-an
Yang Tidak Dibicarakan Timothy Ronald Soal VOC dan Budaya Korupsi
Membayangkan Lupus
Kisah Pinggiran
"Sebagai kebanyakan orang di hari pertama revolusi itu, Guru Isa belum menganalisa benar-benar kedudukannya, kewajibannya, dan pekerjaannya dalam revolusi. Selama ini dia membiarkan dirinya terbawa arus. Arus semangat rakyat banyak. Arus pikiran-pikiran dan kata-kata yang deras keluar dari berbagai macam orang." (Hlm. 38).
Banyak kisah sejarah yang kita ketahui berpusat pada orang besar, pahlawan, terutama laki-laki. Ini bukan kebetulan. Sejak lama, publik diajarkan bahwa perubahan politik (dan, dalam taraf tertentu, budaya) identik dengan kekuatan fisik. Dalam dinamika kehidupan di sekitar saya, ini terekam dalam kredo lawas: tugas wanita terbatas pada dapur, sumur, dan kasur.
Konstruksi semacam ini begitu melekat hingga perempuan yang bekerja di luar rumah sering dianggap “tidak pada fitrahnya”, sementara laki-laki yang membantu pekerjaan domestik dicap lemah. Perang Kota justru membalik narasi semacam itu. Di awal film, kita disajikan cerita seorang ibu yang survive dengan kebutuhan sehari-hari. Sebagai pilar keluarga yang tak tergoyahkan.
Ia bukan hanya mengurusi perkara domestik di tengah kekacauan perang. Namun juga mencari penghidupan. Melindungi anak-anaknya dari ancaman bom dan kelaparan. Bahkan membuat keputusan strategis untuk bertahan hidup.
Dalam satu adegan, saya melihat istri Guru Isa ikut angkat senjata. Ariel Tatum, yang berperan sebagai Fatimah dalam Perang Kota, begitu tangguh. Ia tidak harus menunggu suami pulang dari front. Ia juga tidak gentar saat digerebek "ubel-ubel". Fatimah tetap berdiri tegak, meski langit seperti hendak runtuh.
Namun ada juga perbedaan yang patut dicermati. Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa karakteristik Guru Isa di film sungguh berbeda dengan yang terekam dalam novel. Tidak ada Guru Isa yang peragu, bimbang, atau sulit membuat keputusan, yang dialasdasari persoalan: "Gaji yang tidak cukup. Hutang pada warung sudah dua bulan tidak dibayar. Perhiasan istrinya di pajak gadai."
Peran Guru Isa oleh Chicco Jericco saya kira kurang menangkap aura melarat, yang sialnya juga mengalami impotensi akibat dari permasalahan "psychisce", yang dideritanya. Untuk sekadar memberikan gambaran. Bisa dilihat percakapan berikut:
Guru Isa: "Aku takut sebenarnya, Fat. Tidak pernah aku berorganisasi seperti ini. Main senjata lagi. Memakai pistol saja aku tidak tahu. Tetapi kalau tidak ikut, engkau tahu apa akan kata orang."
Fatimah: "Tidak perlu engkau takut, Is. Bukankah semua orang ikut? Kalau engkau tidak ikut, jangan-jangan nanti kita dicap mata-mata musuh lagi. Engkau tahu betapa mudahnya orang dipotong karena soal yang bukan-bukan saja".
Percakapan itu sekaligus mengingatkan kita pada berbagai pergolakan di daerah. Khususnya yang dikenal dengan Periode Bersiap. Inilah yang bisa menutup celah yang terdapat di buku sejarah SMA.
Sebabnya, sedikit–jika sulit menyebut tidak ada sama sekali–cerita tentang guru yang tetap mengajar di bawah ancaman bom; yang bimbang; yang khawatir akan hari depan yang kabur dan menakutkan sebab penghidupan semakin mahal; yang khawatir keselamatan keluarga.
Sedikit pula kisah ibu yang menenteng revolver demi keselamatan diri. Dalam kerangka macam itulah, Perang Kota dan Jalan Tak Ada Ujung mampu menjadi gerbang bagi pelajar untuk memamah latar kemerdekaan dengan lebih manusiawi. Ada semacam pesan yang disampaikan bahwa revolusi bukan hanya soal strategi perang. Ia juga memberi penegasan terhadap cara bertahan di tengah badai perubahan sosial.
Dalam batas tertentu, ia juga seperti tahu betul bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh pembesar. Namun juga diwarnai oleh yang orang kecil yang bertahan. Memang tidak ada gelar pahlawan bagi Fatimah dan Guru Isa. Namun, toh, ia tetap mengajar anak-anak di tengah perang. Meski terkadang hanya lima orang yang datang ke sekolah.
Relevansinya bagi Pendidikan
"Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini jalan perjuanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia."
Pernyataan itu menunjukkan corak pemikiran Mochtar Lubis sendiri. Jika menilik penjelasan Windu Jusuf dalam esai panjang berkepala Antara Sartre dan Soeharto: Intelektual PSI dan Politik Eksistensialisme di Indonesia, 1947-1968, ini tidak bisa dilepaskan dari konteks "pertentangan eksistensialisme versus Marxisme yang terjadi sekitar 1940-an hingga 1960-an yang meluber ke arena kebudayaan."
Sejak lama–bersama sejumlah intelektual lain yang terkoneksi dengan Congress for Cultural Freedom (CCF), dan didukung CIA–memang dikenal vokal terhadap isu kebebasan berpendapat dan hak individu. Ia juga dikabarkan dekat dengan Ivan Kats, dan dianggap simbol kebebasan yang dilibas kekuasaan.
Agak ganjil, tentu saja. Pascakemerdekaan, ketika banyak intelektual Indonesia punya kecenderungan sosialis atau nasionalisme yang bertendensi internasional, Mochtar Lubis terlihat condong ke spektrum lainnya. Ini tampak pula beberapa tahun setelahnya, ketika bentrok dengan Lekra yang punya prinsip "seni sebagai instrumen pendidikan politik dan pengorganisiran massa."
Dalam periode yang kurang lebih sama, ia dikabarkan merancang lembaga yang menggaungkan "ide-ide yang secara filosofis mempromosikan kapitalisme Barat." Lalu dengan cermat mengupas kebobrokan aparatus dan politikus di Indonesia era 1950-an. Kita mafhum dalam pergulatan semacam ini begitu banyak hal terjadi tanpa mudah diketahui.
Publik bisa saja memberi pemakluman. Sebab ketidakhadiran teknologi mutakhir yang membuatnya sulit tergambarkan dengan cermat dan terperinci. Namun, saya kira ikhtiar pendokumentasian Mochtar Lubis patut diapresiasi, seperti halnya Cerita dari Blora, Larasati, Bukan Pasar Malam, Keluarga Gerilja yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, juga Masa Bergolak oleh Mas Atje Salmun, dan/atau Tjamboek Berdoeri yang dikarang oleh Kwee Thiam Tjing.
Dan sebagaimana tak pernah ada karya buatan manusia yang sempurna, maka begitu pula Perang Kota dan Jalan Tak Ada Ujung. Keduanya kuat dalam penggambaran latar sejarah. Sayangnya karya ini terlalu memberi porsi adegan dewasa yang terlalu vulgar. Mungkin lumrah bagi umum, dan terutama jika melihat konteks era 1950-an yang lebih bebas dari sensor, tetapi tentu kurang sesuai untuk konsumsi pelajar SMA kiwari.
Ia bisa mengalihkan fokus dari substansi revolusi dan resiliensi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa adaptasi novel seperti film Perang Kota perlu menimbang audiens kekinian. Tak lain demi menjaga relevansinya dengan pendidikan. Itu sudah.
Dalam konteks edukasi remaja, bagi saya, kedua karya ini tetap menjadi media pembelajaran berharga untuk memahami revolusi kemerdekaan. Tidak hanya sebagai peristiwa sosial yang digerakkan orang besar, tetapi sebagai kisah manusia yang penuh keraguan, dan ketangguhan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

