PAYUNG HITAM #72: Di Bawah Spanduk Tanah untuk Rakyat dan Surat dari Balik Jeruji Penjara
Ketidakadilan selalu saling terhubung. Bahwa perampasan ruang hidup berada dalam satu garis lurus dengan kolonialisme, militerisme, dan kekerasan negara di belahan d

Chan
Buruh Pariwisata
18 Desember 2025
BandungBergerak.id – Sore itu 12 Desember 2025, saya bersama seorang kawan memanggul gitar menyusuri gang di Dago Elos. Dinding-dinding yang dipenuhi poster perlawanan serta coretan tangan yang bukan sekadar estetika jalanan, melainkan arsip kemarahan dan harapan warga. Saat memasuki area belakang panggung di atas kepala saya selembar spanduk terbentang dengan tulisan tegas "Tanah Untuk Rakyat". Kalimat itu bergoyang pelan tertiup angin, seolah mengingatkan bahwa panggung yang akan kami tapaki malam nanti bukan ruang hiburan netral, melainkan ruang hidup yang sedang dipertaruhkan.
Saya datang bukan semata sebagai personel band. Kehadiran saya malam itu adalah bentuk solidaritas, juga kegelisahan sebagai bagian dari masyarakat yang terus-menerus dipaksa beradaptasi dengan ketidakadilan. Di pelataran Balai RW, suara soundcheck bercampur dengan obrolan ibu-ibu, tawa anak-anak, dan ingatan tentang intimidasi yang tak pernah benar-benar berhenti dikepala warga. Di langit-langit seng, bendera Sukahaji melawan dan Dago melawan tergantung berdampingan. Di antara bendera-bendera itu, saya membentangkan bendera Palestina dan Rojava di ampli gitar yang bukan hanya sebagai simbol eksotisme perlawanan global, melainkan pengakuan bahwa penderitaan akibat perampasan tanah, kekerasan negara, dan impunitas aparat memiliki pola yang sama, di mana pun lokasinya.
Saat itu, musik dan diskusi saling menyilang. Wajah-wajah yang hadir bukan wajah penonton biasa, melainkan wajah para penyintas konflik agraria, korban intimidasi, serta keluarga korban salah tangkap. Acara ini digelar oleh Aliansi Bandung Melawan bersama Dago Melawan, dengan kehadiran Forum Sukahaji Melawan dan Cihampelas Melawan. Pada sesi diskusi saya mendengar cerita Wisnu dari Tim Advokasi Bandung Melawan tentang peristiwa pasca-aksi Agustus lalu tentang penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan aparat. Tentang Ve, buruh antar-jemput galon, yang ditangkap tanpa alasan jelas. Tentang ibunya, Iyen, yang bahkan tak sanggup mengulang cerita kekerasan yang dialami anaknya. Negara, sekali lagi, memilih diam. Diam yang berulang, diam yang sistematis.
Dari Sukahaji, seorang warga bercerita tentang kebakaran yang datang berkali-kali, tentang intimidasi verbal aparat, tentang preman berbaju hitam yang menyerang warga dengan balok dan senjata tajam. Felix, salah satu warga, menyebutkan satu per satu kejadian pemukulan, ancaman, hingga pembakaran rumah tanpa satu pun pelaku diproses hukum. Pia, seorang ibu, mengingat suara petasan yang meledak di telinganya saat bentrokan 3 Desember lalu. Trauma itu belum pergi, tapi ia memilih bertahan. Bertahan bukan karena tidak takut, melainkan karena tidak punya pilihan lain.
Di Dago Elos sendiri, ancaman penggusuran belum sepenuhnya sirna. Kesepakatan soal batas Terminal Dago belum cukup menjamin ruang hidup warga. Angga dari Forum Dago Melawan mengingatkan kepada publik bahwa bertahan saja tidak cukup. Tanpa organisir yang kuat, bertahan hanya akan berujung runtuh. Kalimat itu terasa menohok, terutama bagi kami yang kerap menyuarakan keresahan lewat musik. Bahwa perlawanan tak bisa hanya emosional. Ia harus terstruktur, berjejaring, dan berkelanjutan.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #69: Menagih Arah Gerak YLBHI
PAYUNG HITAM #70: Kekerasan di Skena Hardcore Punk dan Pengkhianatan Terhadap Nilai Dasarnya
PAYUNG HITAM #71:Untuk Siapa Revisi KUHAP
Musik yang Bermakna
Usai sesi diskusi, musik kembali mengambil alih ruang. Musik keras dimainkan bukan untuk menenggelamkan cerita-cerita itu, melainkan untuk menguatkannya. Dentuman drum dan distorsi gitar menjadi medium katarsis kolektif, cara lain untuk mengatakan bahwa kemarahan ini sah, bahwa luka-luka ini nyata.
Tibalah giliran kami tampil. Di sela-sela lagu, vokalis kami menyampaikan orasi yang berapi-api. Sebelum lagu ketiga, kami berhenti. Ia membuka selembar kertas lusuh, sebuah surat dari salah satu tahanan perempuan yang ditangkap pasca aksi Agustus lalu. Surat itu dititipkan oleh seorang kawan untuk dibacakan malam itu. Isinya sederhana, tapi menghantam tepat di dada.
"Halo kawan-kawan aku Rifa, salam semuanya, buat kalian yang ada di luar sana jangan pernah mau disalahin apalagi atas dasar bukan kesalahan kita, jangan pernah takut menyuarakan atas ketidakadilan yang mereka lakukan kepada kita, selama kegiatan yang kalian lakuin atas dasar keadilan, lakuin sesuka kalian, jangan biarin negara ini jadi negara yang menghilangkan salah satu sila yang ada, jangan sampai rakyat merasakan ketidakadilan. kata katanya akan hancur, mohon maaf ya teman-teman see u di luar sana, dibalik jeruji rutan Sukamiskin, Bandung, 12 Desember 2025."
Di titik itu, saya kembali pada pertanyaan yang kerap menghantui kami sebagai band, apa gunanya musik di tengah konflik seperti ini? Di titik api, jawabannya terasa gamblang. Musik menjadi medium ingatan. Panggung menjadi ruang kesaksian. Ia bukan solusi, tapi alat untuk memastikan bahwa cerita-cerita ini tidak hilang, tidak direduksi menjadi angka atau catatan kaki laporan tahunan.
Bendera Palestina dan Rojava yang kami bentangkan bukan hiasan ideologis. Ia adalah pengakuan bahwa ketidakadilan selalu saling terhubung, bahwa perampasan ruang hidup berada dalam satu garis lurus dengan kolonialisme, militerisme, dan kekerasan negara di belahan dunia lain.
Ketika kami menutup set malam itu, kawan-kawan belum beranjak dari area moshpit menunggu penampilan band terakhir. Mereka saling menyapa, saling menjaga. Tidak ada euforia kosong. Yang ada justru rasa kebersamaan yang tenang, tapi kukuh.
Kami turun panggung dan bersalaman dengan kawan-kawan lainnya dengan tubuh basah oleh keringat, dengan kesadaran yang tertinggal jauh dan lebih berat dari itu bahwa selama tanah masih dirampas, selama aparat menikmati impunitas, selama perempuan dipaksa berani sendirian, selama ada yang dipenjara karena menuntut ketidakadilan, maka musik sekeras apa pun hanya akan bermakna jika berdiri di pihak mereka yang dilukai.
Dan malam itu, di bawah spanduk Tanah Untuk Rakyat dan Surat Dari Balik Jeruji, kami tahu persis dan tanpa ragu di pihak mana kami berdiri.
***
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak dan Aksi Kamisan Bandung

