• Kampus
  • Perusahaan atau Institusi Swasta Diharapkan Menyalurkan Kelebihan Makanannya untuk Mengatasi Stunting

Perusahaan atau Institusi Swasta Diharapkan Menyalurkan Kelebihan Makanannya untuk Mengatasi Stunting

Stunting dihadapi kota-kota di Indonesia, tak terkecuali Kota Bandung. Perusahaan atau institusi swasta yang mengalami kelebihan makanan diharapkan ambil peranan.

Warga menunjukan daging ayam beku dan telur yang baru diterima dari program pemerintah untuk bantuan pangan di halaman kantor Kecamatan Andir, Kota Bandung, Jumat (5/5/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana8 Mei 2023


BandungBergerak.idPerusahaan swasta seperti supermarket, restoran, hotel, dan sebagainya diharapkan turut berperan dalam mengatasi masalah stunting atau kekurangan gizi kronis pada anak-anak. Langkah konkret yang bisa dilakukan perusahaan swasta adalah dengan menyalurkan makanan dari surplus makanan yang mereka alami ke pihak-pihak di garis depan penanganan dan pencegahan stunting.

Gagasan gerakan redistribusi surplus makanan dari perusahaan swasta tersebut diulas dalam paparan Daphne Andrea, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) angkatan 2020  dalam ajang Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) Unpar 2023 yang mengusung judul “Inisiatif Ketahanan Pangan untuk Mempercepat Tujuan Indonesia Melawan Stunting melalui Program SAIL (Stunting Act of Intervention Locomotors)”.

Daphne Andrea mengatakan penting untuk melakukan gerakan redistribusi surplus makanan dari donor (food retailers seperti supermarket, restoran, dsb) ke pihak-pihak garis depan seperti posyandu atau organisasi yang konsens di bidang penanganan dan pencegahan stunting.

“Untuk disalurkan ke ibu-ibu hamil dan bayinya dalam upaya pencegahan stunting. Secara singkat, SAIL bertindak sebagai katalisator dalam menyalurkan makanan lebih ke masyarakat yang membutuhkan menggunakan teknologi aplikasi antara sektor bisnis dan organisasi (B2O),” tutur Daphne, dikutip dari laman Unpar, Senin (8/5/2023).

Isu mengenai stunting belakangan sangat vokal diserukan pemerintah demi menekan angka prevalensi yang tinggi. Langkah tersebut mengingat ancaman dari stunting yang menyasar bukan saja gangguan secara fisik, namun juga menjalar ke berbagai hal krusial seperti daya kembang otak anak.

Stunting sendiri merupakan salah satu bentuk malnutrisi yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dicegah dengan pemenuhan nutrisi dan sanitasi yang baik pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi dari dia dikandung di dalam perut ibunya.

Kasus stunting menjadi permasalahan di pelbagai tempat di Indonesia. Di Kota Bandung, dalam dokumen Profil Kesehatan Kota Bandung 2021 menunjukkan, angka prevalensi stunting terjadi pada tahun 2015, yakni 8,96 persen atau setara dengan 11.999 anak dari total balita ditimbang. Di tahun-tahun berikutnya, tren perkembangan kasus stunting cenderung fluktuatif, dengan angka terendahnya berada di tahun 2017, yakni 1,94 persen atau setara dengan 2.509 anak.

Di tahun pagebluk 2020, prevalensi kasus balita stunting di Kota Bandung melambung hingga 8,93 persen. Angka ini setara dengan 9.567 anak balita dari total 107.189 anak ditimbang, terdiri dari dari 2,27 persen balita berstatus sangat pendek dan 6,65 persen balita berstatus pendek.

Jika dirinci berdasarkan kewilayahan, data penimbangan bayi pada tahun 2020, Kecamatan Buah Batu memiliki prevalensi stunting tertinggi, yakni 23,97 persen atau setara dengan 824 orang balita. Menyusul Cidadap dengan prevalensi 15,64 persen atau setara dengan 291 orang balita, dan Rancasari dengan prevalensi 23,97 persen atau setara dengan 546 balita. Sementara itu, wilayah dengan angka stunting terendah adalah Kecamatan Cibeunying Kaler, yakni 1,8 persen. 

Daphne mengatakan, gagasan redistribusi surplus makanan dari pihak swasta untuk pencegahan stunting terbesit melalui proses panjang dari berbagai pengalaman dan didikan di keluarga maupun selama kuliah, salah satunya pengalaman magang pertamanya di NGO pencegahan stunting.

“Tidak ada urgensi yang lebih mengkhawatirkan dari fakta bahwa stunting tidak bisa disembuhkan. Artinya, anak-anak yang gagal kita lindungi ini tidak hanya akan secara fisik berperawakan lebih pendek tapi juga lebih rentan sakit, sulit bersosialisasi, dan sulit untuk menunjukkan performa yang baik di sekolah hingga kelak nanti harus bekerja. Dengan kata lain, anak-anak yang menderita stunting akan sulit untuk mencapai mimpinya,” ucap Daphne.

Baca Juga: Mencegah Stunting di Kota Bandung tidak Cukup dengan Bantuan Pangan
Menengok Kasus Stunting di Permukiman Padat Bandung Setelah Pandemi Covid-19
Kasus Stunting, Pekerjaan Rumah Pemkot Bandung

Dia mengatakan tujuan utama gagasan ini adalah menekan angka prevalensi stunting di Indonesia supaya setiap anak punya kesempatan, bukan keterbatasan, untuk mencapai mimpinya. Kendati demikian, terlepas dari data seperti tingginya prevalensi stunting di Indonesia, Daphne mengatakan urgensi mengenai isu ini sangat jelas ditekankan oleh Presiden Joko Widodo harus menjadi agenda prioritas pemerintah daerah.

”Sebagaimana gagasan ini mengusung tema Sustainable Development Goal (SDG) 2 untuk mengakhiri kelaparan, Daphne berharap solusi ini bisa diimplementasikan suatu hari sehingga semakin sedikit keluarga yang kesulitan akses untuk mendapatkan asupan gizi,” katanya.

Lebih lanjut, kekuatan gagasan ini juga ada pada sistem yang mendorong sinergi multipihak seperti industri bisnis sebagai pendonor makanan berlebih (surplus) serta peran advokasi dan aksi konkret di tingkat akar rumput oleh organisasi sebagai garda terdepan.

“Dengan kata lain, selain meningkatkan akses ke makanan sehat, SAIL juga tidak mengabaikan pentingnya tingkat kesadaran (awareness) para ibu terhadap kesehatan anaknya melalui peran advokasi organisasi-organisasi penyalur ini,” ucapnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//