• Berita
  • Mencegah Stunting di Kota Bandung tidak Cukup dengan Bantuan Pangan

Mencegah Stunting di Kota Bandung tidak Cukup dengan Bantuan Pangan

Warga penerima bantuan berharap jenis bantuan lebih beragam. Selain itu, Pemkot Bandung juga diharapkan memperhatikan sanitasi warganya.

Warga menunjukan daging ayam beku dan telur yang baru diterima dari program pemerintah untuk bantuan pangan di halaman kantor Kecamatan Andir, Kota Bandung, Jumat (5/5/2023. (Foto Prima Mulia/bandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau5 Mei 2023


BandungBergerak.idPemerintah Kota (Pemkot) Bandung menyalurkan bantuan pangan jenis telur dan ayam untuk mencegah stunting. Meski demikian warga penerima berharap bantuan diberikan secara jangka panjang, bukan sekali saja. Di sisi lain, pencegahan stunting tidak cukup dengan pangan karena faktor ekonomi dan lingkungan seperti sanitasi pun mesti diperhatikan.

Salah satu kecamatan yang menjadi tempat penyaluran pangan ini adalah Kecamatan Andir. Target warga penerima manfaat sebanyak 843 KPM (keluarga penerima manfaat) dari total 6 keluarah, di antaranya Kelurahan Garuda, Kebon Jeruk, Ciroyom, Maleber, Dungus Cariang, dan Campaka.

Pantauan Bandungbergerak.id Jumat (5/5/2023), bantuan diberikan sejak pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore. Pada pukul 14.25 WIB, warga masih mengantre. Sebagian ibu-ibu tampak membawa balita dan gendongan mereka.

Tiap warga menerima 10 butir telur ayam dan satu ekor ayam potong. Warga yang datang membawa serta fotokopi KTP dan kartu keluarga. Kecamatan Andir sendiri memiliki total jumlah warga sebanyak 96.882 warga per Maret 2023.

Staf Kesejahteraan Sosial (Kesos) Kecamatan Andir Ahmad Sovian mengungkapkan kondisi stunting di kecamatan Andir sebenarnya tak begitu signifikan, bahkan hampir tak ada. Tujuan pemberian bantuan ini untuk pencegahan stunting dengan sasaran ibu hamil atau yang memiliki balita.

Namun Sovian mengeluhkan penerima bantuan kali ini berdasarkan data lama pada tahun 2011. Seharusnya data baru penerima manfaat berdasarkan pendataan kecamatan.

“Harusnya diserahkan ke kecamatan, jadi dari kecamatan nyari (warga) sesuai data yang ditargetkan tersebut. Mungkin pendataan satu bulan beres,” ungkap Sovian.

Untuk mengatasi masalah data tersebut pihaknya, kata Sovian, menginisiasi mengganti warga penerima yang tak sesuai target dengan warga yang membutuhkan. Dalam penyalurannya pihaknya berkoordinasi dengan kelurahan masing-masing.

“Mungkin ke depan data ini lebih valid lagi, harapannya tepat sasaran jangan data itu itu aja,” katanya.

Sementara itu, Kasi Kesos Kelurahan Ciroyom Endang Suhendar mengungkapkan ada 139 warganya yang mendapat bantuan pangan dari total 19.346 warga Ciroyom. Dari 139 warga tersebut, memang dipilih warga yang anaknya mendekati stunting. Dan juga kepada ibu hamil dan memiliki balita.

“Yang mendekati kategori stunting, baik balita maupun ibu hamil dan menyusui,” jelas Endang.

Keluhan Warga Penerima Manfaat

Aas Karmila (36 tahun), warga kelurahan Campaka yang menjadi salah satu penerima bantuan pangan merasa pangan yang diberikan sebenarnya masih kurang. Namun, ia tetap menerima bantuan tersebut.

“Sebenarnya kurang, tapi terima aja,” ungkap Aas.

Aas memiliki tiga orang anak. Anak pertama usia 16 tahun sedang duduk di bangku kelas satu SMK. Anak kedua 9 tahun duduk di kelas 3 SD. Sementara si bungsu usia 1.5 tahun.

Aas dan keluarganya tinggal di rumah sang ibu. Total penghuni rumah enam orang. Sehari-hari ia mengandalkan penghasilan dari suami yang bekerja sebagai tukang servis elektronik yang pendapatannya sebulan kurang dari 1,5 juta rupiah.
Masalahnya suami Aas tidak bekerja setiap hari. Sehingga Aas harus pintar-pintar membagi uang untuk biaya dapur dan biaya sekolah anak-anaknya. Juga untuk kebutuhan gizi si bungsu. Karena itu ia berharap bantuan tersebut ada setiap bulan, tidak hari ini saja.

“Kalau kemauan mah setiap bulan ada, jadi merata. Baru kebagian, belum pernah kebagian PKH, sebelumnya saya belum pernah. Baru yang ini dapat,” ungkapnya.

Stunting merupakan gangguan pada pertumbuhan fisik dan otak anak yang disebabkan sejumlah faktor, antara lain gizi, lingkungan, dan ekonomi. Masalah lingkungan antara lain sanitasi, termasuk akses air bersih.
Aas mengaku air bersih menjadi kendala tersendiri bagi keluarganya. Tiap bulan ia mesti membayar seharga 10.000 rupiah kepada pihak RT. Air tersebut bersumber dari mesin pompa yang melayani satu RT.

Air bersih tersebut kerap kali tersendat karena kewalahan menghadapi kebutuhan warga satu RT. Tiap warga dijadwal untuk mengambil air. Air bersih mulai mengalir pukul 4 pagi dan berhenti pukul 12 siang. Setelah itu air akan mengalir lagi pukul 3 atau 4 sore.

“Kadang airnya ga kebagian, kurang, nunggu yang lain penuh nanti baru ada. Ga satu hari ada, kadang ga ada,” ujar Aas seraya berharap pemeritah memerhatikan pula kebutuhan air bersih ini.

Warga lainnya penerima bantuan, Wulan Mulyawati (30 tahun), juga berasal dari kelurahan Campaka, memiliki dua orang anak. Si sulung 11 tahun duduk di bangku kelas 5 SD. Sementara si bungsu baru berusia 1,5 tahun. Ia juga merasa bantuan yang diberikan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya.

“Sebenarnya kurang, kalau makanan pokok beras, tapi sedikasihnya saja, diterima aja,” kata Wulan.

Wulan mengaku keluarganya jarang mengkonsumsi protein hewani seperti daging. Kebanyakan keluarganya mengkonsumsi mie instan, telur, dan sayur. Dalam kondisi kesulitan dan harga bahan pokok yang melejit, ia mesti pintar membagi biaya hidup.

Suami Wulan bekerja sebagai buruh harian lepas. Dalam sehari suaminya hanya menghasilkan 80.000 rupiah. Itu pun tak setiap hari ia mendapat penghasilan.

Mengenai bantuan tersebut, ia mengira akan mendapatkan susu dan vitamin untuk anaknya, selain pangan. Namun jenis bantuan yang ia terima berupa telur dan ayam.

“Kirain mau dapat susu buat anak, yang utamanyakan susu buat penambahan berat badan anak. Kayak vitamin, tapi ngak ada. Kalau program buat stunting, harusnya susu, makanan pokok bayi aja, yang dibawah satu tahun bubur instan, buah buahan,” ungkapnya.

Kendati demikian, ia berharap bantuan terus mengalir dengan jenis bantuan yang beragam. Wulan sendiri masih tinggal bersama orang tua. Sama seperti Aas, Wulan juga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Dalam sebulan ia harus mengeluarkan 25.000 rupiah untuk mendapatkan air bersih.

Namun air tersebut tak tiap waktu mengalir. Sekali waktu, seperti hari ini, air di tempatnya tak mengalir. Jika sudah demikian, ia harus membeli air dari tetangga menggunakan selang seharta 5.000 rupiah. Wulan pun berharap ada bantuan terkait akses air bersih ini.

Baca Juga: Menggali Pernyataan Ambigu Soal Kebebasan dan Batasan di Dunia Pendidikan dari Pak Uu
Desa Cilengkrang Membutuhkan Fasilitas Kesehatan
Darurat Sampah, Pemkot Bandung Seharusnya Menjalankan TPS Terpilah

Penyebab Stunting

Menurut Nur Oktia Nirmalasari dalam QAWWAM: JOURNAL FOR GENDER MAINSTREAMING, data prevalensi anak balita pendek (stunting) yang dikumpulkan World Health Organization (WHO) yang dirilis pada tahun 2019 menyebutkan bahwa wilayah South East Asia masih merupakan wilayah dengan angka prevalensi stunting yang tertinggi (31,9 persen ) di dunia setelah Afrika (33,1 persen).

Indonesia termasuk ke dalam negara keenam di wilayah South-East Asia setelah Bhutan, Timor Leste, Maldives, Bangladesh, dan India, yaitu sebesar 36,4 persen (kasus stunting). Dengan kata lain, stunting masih menjadi masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka stunting di Indonesia sebesar 30,8 persen. Angka ini masih tergolong tinggi dibandingkan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu sebesar 19 persen di tahun 2024.

Stunting didefinisikan sebagai kondisi status gizi balita yang memiliki panjang atau tinggi badan yang tergolong kurang jika dibandingkan dengan umur. Balita stunting dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.

Stunting patut mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi kehidupan anak sampai tumbuh besar, terutama risiko gangguan perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak segera ditangani dengan baik. Dampak stunting dalam jangka pendek dapat berupa penurunan kemampuan belajar karena kurangnya perkembangan kognitif.

Sementara itu dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup anak saat dewasa karena menurunnya kesempatan mendapat pendidikan, peluang kerja, dan pendapatan yang lebih baik. Selain itu, terdapat pula risiko cenderung menjadi obesitas di kemudian hari, sehingga meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, kanker, dan lain-lain.

Stunting disebabkan faktor eksternal dari lingkungan masyarakat ataupun negara, dan faktor internal, meliputi keadaan di dalam lingkungan rumah anak. Suatu negara dan masyarakat di dalamnya berperan dalam menimbulkan kondisi stunting pada anak-anak di negara tersebut. Berbagai keadaan seperti kebudayaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, keadaan ekonomi dan politik, keadaan perrtanian dan sistem pangan, serta kondisi air, sanitasi, dan lingkungan berperan sebagai faktor eksternal.

Sementara itu faktor internal di dalam rumah anak sendiri perlu diperhatikan perawatan anak yang adekuat, pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) yang optimal, keadaan ibu, kondisi rumah, kualitas makanan yang rendah, keamanan makanan dan air, dan infeksi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//