BAYI-BAYI PANDEMI (9): Menyusur Stunting di Balik Mewahnya Lingkungan Perumahan Sekejati
Naira lahir pada November 2020 di tengah terpaan badai pagebluk yang meruntuhkan ekonomi keluarga. Ia terlahir dengan menyandang status stunting atau gizi kronis.
Penulis Tim Redaksi29 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Suatu hari di bulan November 2020, suara tangis terdengar di sebuah ruang persalinan. Seorang bayi perempuan dilahirkan setelah delapan bulan lamanya hidup di kandungan seorang wanita tangguh bernama Dwi Setiowatik (25).
Air mata bahagia pun menyambut kelahiran bayi yang diberi nama Naira. Kebahagiaan ini tidak bertahan begitu lama, sebab kabar buruk menyertai kelahiran anak kedua dari pasangan Dwi dan Novan Adidiansyah (32). Naira dilahirkan di sebuah bidan di bilangan Sekejati, Bandung.
Di tengah pelukan erat sang ibu, seorang bidan menghampiri dan membawa pesan yang tak pernah diharapkan atau disangka sebelumnya. Pesan itu mengabarkan bahwa Naira sang buah hati dinyatakan berstatus stunting dengan berat badan sekitar 1,7 kilogram dan tinggi 38 sentimeter. Kedua orang tuanya hanya saling memandang, bingung dengan apa maksud dari kabar yang disampaikan.
Dwi tidak langsung mengerti dan memahami maksud pesan tersebut, begitu juga sang suami yang merasa anak keduanya itu lahir normal-normal saja. Begitulah yang diakuinya ketika disambangi di wilayah RT001/RW011, Sekejati, Rabu (22/9/2021) sambal menggendong si buah hati.
“Aku mah gak ngeh apa-apa pas ngelahirin Naira, badannya memang kecil tapi kayaknya gak ada yang salah waktu itu sebelum dikasih tau bidannya. Tapi, memang gak dijelasin langsung juga, si Novan ngotot nanya apa sih stunting teh?” tuturnya dengan nada menggebu.
Pada usia 10 bulan, tubuh Naira tampak seperti bayi berusia tiga atau empat bulan. Berat badannya kini sekitar 2,2 kilogram dengan tinggi sekitar 41 sentimeter. Kondisi ini terjadi akibat status stunting yang didera Naira sejak lahir. Pertumbuhannya tersendat, perlu penanganan ekstra untuk menyelamatkan Naira dari kondisi gizi buruk kronis yang membayanginya.
Bagi Dwi, pengalaman mengandung dan melahirkan di tengah pagebluk adalah peristiwa spesial yang tak semua orang alami. Ia menganggapnya seperti karunia dari sang pencipta karena diberikan suntikkan semangat di tengah pagebluk Covid-19 yang membuatnya hampir kehilangan mata pencahariannya sehari-hari. Kabar tentang stunting yang bakal ia pahami kemudian dianggapnya sebagai sebuah ujian semata, meskipun tak pernah ia harapkan.
Sejak pertama kali menikah tujuh tahun yang lalu, pasangan Dwi dan Novan tinggal di sebuah rumah berukuran 5 x 7 meter di RW 011, Kelurahan Sekejati, Kecamatan Buah Batu yang terletak di bagian timur Kota Bandung. Jika ditengok kiri-kanan, wilayah ini tentunya dikelilingi taman-taman indah yang tertata rapi dan sejumlah rumah gedongan. Sekilas, kelurahan tersebut tampak baik-baik saja. Tapi, berbeda kondisinya di RT003 yang termasuk salah satu kawasan kumuh di RW011.
Lingkungan rumah mereka bagaikan jarum di tengah tumpukan jerami. Selain perbedaan kondisi lingkungan, ketimpangan sosial dan ekonomi di RT003 terlihat sangat kentara dibandingkan 14 RT lainnya di wilayah tersebut. Sampah-sampah berserakan di pinggir jalan selebar 2 meter, di mana banyak anak-anak kecil bermain kejar-kejaran yang tak menghiraukan kondisi di sekitarnya.
“Ya, gimana lagi atuh ya. Kita mah bukan orang kaya, gak bisa ngahayal (berkhayal) punya rumah di komplek mewah. Di sini juga sudah cukup, asalkan bisa bareng-bareng keluarga mah,” ungkapnya sambil menyimpan senyum kecil di kedua sudut bibirnya.
Rumah-rumah memadati kawasan yang jika ditelusuri lebih dalam lagi memperlihatkan gang-gang sempit yang mayoritas dihuni oleh keluarga berprofesi sebagai pedagang dan tak sedikit pula pengangguran. Kondisinya tak seindah tampak luar, bahkan jauh berbeda dan terkesan seperti ada di lokasi yang jauh dan asing. Crat-coret dinding tak beraturan juga mengkhiasi hampir sepanjang tembok jalanan diiringii baragam bau tak sedap yang muncul dari setiap sudut gang.
Suasana lingkungan itulah yang disaksikan Dwi dan Novan setiap hari di lingkungan rumahnya, tapi mereka tidak terlalu menghiraukan keadaan tersebut. Rumah mereka disewa dengan biaya sebesar 9 juta per tahun, tersedia sekitar empat ruangan yang termasuk satu ruang tengah, dua kamari tidur, dan satu kamar mandi.
Keluarga kecil ini tinggal satu atap dengan kedua orang tua Dwi, dan anak pertama mereka, Abella, yang masih berumur lima tahun. Temboknya tampak berwarna putih lusuh dengan sebagian besar cat yang mengelupas dan beton yang keropos.
“Rumah ini sudah ada sejak saya kecil dan lahir di sini. Sudah terbiasa tinggal di sini, suami kerja bareng papa jadi dari pertama nikah memutuskan tinggal bareng-bareng supaya biaya irit juga. Lagi pula apa salahnya tinggal bersama orang tua sendiri, meskipun sudah berkeluarga,” ujar Dwi dalam bahasa sunda halus.
Walaupun kondisi lingkungan yang tidak sehat, tempat tinggal yang dihuninya sejak kecil itu punya banyak kenangan. Tak pernah sekalipun terlintas di pikiran Dwi maupun Novan untuk hengkang dari wilayah tersebut. Apalagi penghasilan mereka berdua tak pernah cukup untuk membeli rumah atau pindah ke rumah sewa yang lain.
Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (8): Inisiatif Baik dari Kampung Padat Penduduk Suka Asih
BAYI-BAYI PANDEMI (7): Aqila, Dia yang Lahir di Puncak Gelombang Kedua
BAYI-BAYI PANDEMI (6): Posyandu Terganggu, Buruan Sae Terkendala Lahan
BAYI-BAYI PANDEMI (5): Arsya, Vonis Stunting, dan Pergulatan Keluarganya
BAYI-BAYI PANDEMI (4): Qia, di antara Stunting dan Thalasemia
Berhenti Bekerja, Tabungan Keluarga Menipis
Novan berprofesi sebagai kuli bangunan yang biasa bekerja bareng bapak mertuanya. Sebelum pagebluk melanda Kota Bandung, pendapatannya dalam sebulan bisa menyentuh sekitar 3,5 juta rupiah. Penghasilan ini dipakai untuk membayar biaya kontrakan, makan sederhana sehar-hari, dan sedikit menabung. Sayang, penghasilan Novan maupun merutanya merosot cukup jauh saat pagebluk. Tidak setiap bulan mereka mendapat panggilan kerja. Bahkan, sempat tidak bekerja antara April-Juni 2020.
Dwi juga seorang pekerja keras, bukan ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya di rumah bersama sang anak. Ia berprofesi sebagai ojek online dan menerima jasa antar-jemput anak sekolah. Pendapatannya dalam sehari berkeliling Kota Bandung bisa mencapai sekitar 120 ribu rupiah setiap harinya dengan waktu yang cukup fleksibel sesuai keinginan Dwi bekerja. Ada pula tambahan sebesar 40 ribu rupiah dari pekerjaannya mengantar-jemput satu anak sekolah.
“Waktu lulus SMA dulu, agak bingung mau cari kerja apa. Gak ada pikiran buat kuliah juga. Saya orangnya seneng jalan-jalan. Kebetulan dari sekolah saya udah biasa momotoran, terus saya berpikir: ‘ah, udahlah jadi ojek aja’ dipikiran saya teh,” ceritanya dengan bangga.
Ketika bulan-bulan pertama mengandung Naira, Dwi masih menjalani profesinya seperti biasanya meskipun pesanan penumpang mulai menyusut drastis di masa pagebluk. Sementara tidak ada lagi kegiatan tambahan antar-jemput anak sekolah karena seluruh sektor pendidikan di berbagai jenjang tutup dan menjalani pembelajaran secara daring. Mendapatkan penghasilan sebesar 40-50 ribu rupiah dalam sehari saja sudah jadi keburuntungan baginya.
Tanpa terasa, perut Dwi semakin membesar dan mulai memasuki bulan keempat mengandung. Ia pun mau tidak mau harus istirahat dari pekerjaannya demi menjaga kesehatan bayi dalam kandungan dan dirinya sendiri. Dwi pun menghabiskan waktunya di rumah berbulan-bulan dan jarang sekali keluar rumah karena khawatir akan virus infeksius yang sedang membayangi kehidupan masyarakat. Di sisi lain, ia merasa resah karena pendapatan keluarganya tentu saja berkurang.
Tak ada satu pun keluarganya yang pernah terpapar Covid-19, meskipun begitu permasalahan utama mereka selama pagebluk yakni kendala perekonomian. Dwi dan Novan cukup was-was dengan tabungan keluarga yang kian hari kian menipis, bahkan kadang mereka sengaja mengirit dan makan hanya satu kali dalam sehari kecuali anak pertamanya. Tanpa disadari, keputusan ini ternyata berakibat fatal di kemudian hari terhadap kandungannya.
Jual Motor Demi Persalinan
Ketika melahirkan anak pertamanya, Abella lima tahun lalu, Dwi memilih melakukan persalinan di bidan di sekitar rumahnya. Selain lebih murah biayanya ketimbang di rumah sakit, jarak bidan tidak terlalu jauh sehingga ia merasa lebih aman untuk berkonsultasi tanpa harus pergi jauh. Jaraknya hanya sekitar 500 meter dari rumah.
Dwi menuturkan, biaya persalinan di bidan tempatnya melahirkan ketika itu sekitar 3 juta rupiah dengan bonus konsultasi gratis. Selang lima tahun sejak pengalaman pertamanya, biaya persalinan meningkat hingga lebih dari 5 juta rupiah. Kenaikan biaya persalinan itu tentu tidak sebanding dengan keadaan ekonomi keluarganya yang sedang carut-marut.
Pasangan keluarga ini pun harus berpikir ekstra untuk menyiapkan biaya persalinan yang diperkirakan sekitar bulan November 2020. Setelah berembuk dengan kedua orang tua Dwi, mereka pun dengan berat hati terpaksa menjual motor bebek yang biasa Dwi gunakan untuk mencari nafkah sebelumnya.
“Harapannnya jual motor bisa dapet 8 jutaan (rupiah), uangnya bisa ditabung buat tambahan makan sama buat ngelahirin. Kalau ada sisa ya, syukur-syukur bisa nyimpen uang untuk jaga-jaga. Eh, ternyata jual motor di masa gini (pagebluk) ternyata susah,” tutur Dwi disusul tawa kecil.
Motor itu pun terjual dengan harga 5 juta rupiah, itu pun baru terjual di akhir Oktober 2020 menjelang masa-masa menuju persalinan. Dwi dan Novan kebingungan, hasil penjualan motor disimpan untuk biaya kelahiran Naira. Novan berharap bisa mendapat panggilan pekerjaan lebih banyak supaya bisa menambah tabungan yang menipis.
Pengalaman ini jadi dilema besar bagi mereka, pilihan untuk mengirit uang makan berbenturan dengan kondisi Dwi yang hamil dan perlu asupan gizi yang baik. Belum lagi memikirkan anak pertamanya yang tak mungkin juga mengirit pola makan. “Jangan sampailah sakit karena kelaparan,” harap Dwi ketika itu.
Memasuki awal November 2020 menjelang persalinan, Novan mencoba untuk lebih mengirit karena tak ingin tabungan kelahiran hasil jual motor yang mereka miliki terpakai. Untuk itu, hampir setiap hari ia berpuasa selam tiga pekan terakhir sebelum keliahiran Naira pada akhir November 2020. Cara apa pun dilakukannya demi menjamin kelahiran sang buah hati.
“Saya juga kalau bisa puasa mah ikut puasa juga, tapi da gak mungkin mau puasa juga. Si mama, papa juga tetep harus makan da udah tua, kalau sakit mah malah tambah ripuh (susah). Pokoknya waktu itu mah, yang penting si Abella dulu ajalah yang bisa makan di pikiran teh,” imbuh Dwi, suaranya lirih.
Seiring dengan itu, Dwi dan Novan hanya bisa berdoa demi keselamatan sang bayi nanti ketika dilahirkan dan menyapa dunia. Kecemasan menyelimuti mereka selama satu bulan lebih, tak ada lagi langkah yang bisa mereka lakukan atas keterbatasan ekonomi yang mereka hadapi.
Hari Kelahiran Naira
20 November 2020, hari-hari semakin terasa panjang bagi Dwi maupun Novan. Namun, waktu pun terasa berlajan semakin cepat dalam waktu yang bersamaan. Mereka tahu hari kelahiran anak keduanya sudah semakin dekat.
Sekitar pukul 8 malam, Dwi merasakan sebuah kontraksi yang ia kenal betul sebelumnya ketika mengandung Abella. Insting kuat seorang ibu bekerja dan ia bergegas mengabari sang suami tercinta. Kontraksi itu merupakan tanda-tanda awal bahwa anaknya akan segera lahir dalam waktu dekat.
Sedih dan haru berkecamuk di benah Dwi karena ia sendiri prihatin terhadap bayi yang dikandungnya harus lahir di tengah terpaan pagebluk yang menyulitkan perekonomian keluarga. Sambil menunggu sang suami bersiap-siap membawanya ke bidan, Dwi mencoba menguatkan dan menenangkan diri agar siap menghadapi persalinan.
“Kontraksi udah mulai kerasa nih, ini rasanya kayak waktu saya mau ngelahirin pertama. Yakinlah itu mah gak lama lagi juga bakal ngelahirin. Rasanya deg-degan, saya dzikir terus supaya bisa tenang sambil ngadoa sing (semoga) lancar,” ujarnya sambil mengelus pipi Naira dipangkuan.
Novan membawa Dwi menuju bidan sekitar pukul 10 malam dan Dwi diinapkan di salah satu ruangan persalinan. Sepanjang malam, Dwi berkali-kali mengalami kontraksi yang kuat seperti wanita yang akan melahirkan pada umumnya.
Sang suami dengan setia menemani Dwi selama menunggu persalinan berbekal sebuah botol air mineral 1,5 liter untuk Dwi minum agar terhindar dari dehidrasi. Sekitar pukul 7 pagi, Dwi mulai merasakan kontraksi terkuatnya selama beberapa jam terakhir. Tim bidan mulai bersiap-siap, si bayi akan segera lahir dari rahim sang ibu di hadapan ayahnya.
Selang dua jam kemudian, waktu persalinan akhirnya datang. Prosesnya memakan waktu sekitar 30 menit sampai akhirnya suara tangis bayi terdengar di ruangan tersebut. Seorang bayi perempuan telah lahir pada 21 November 2020 di tengah badai pagebluk yang menghantui Kota Bandung.
Rasa bahagian menyelimuti Novan dan Dwi yang tengah memeluk sang buah hati di dadanya. Kelahiran Naira tidak hanya disambut oleh kedua orang tuanya, tapi juga disambut oleh kerabat orang tuanya, Evi yang merupakan salah satu kader posyandu di wilayah tersebut.
Tak lama kemudian, seorang bidan menghampiri dan memberi pesan yang tak pernah diharapkan berupa kondisi Naira yang lahir dengan status gizi buruk kronis. Bidan itu tak langsung menjelaskan apa yang dimaksud dengan gizi buruk kronis atau stunting. Novan dan Dwi tak mengerti maksudnya dan merasa sang buah hati terlahir normal.
Bidan itu menunjuk Evi (49) untuk menjelaskan lebih jauh maksud dari pesan yang disampaikannya dengan harapan informasinya dapat tersampai lebih baik. Evi pun menjelaskannya dengan hati-hati secara terperinci dan memberikan saran untuk langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
“Cukup prihatin sama Naira pas lahir, apalagi Dwi udah kenal sejak kecil ya. Tapi, Dwi juga harus tahu supaya ngerti keadaannya. Saya kasih support supaya Dwi gak kecil hati dihadapkan dengan kondisi Naira waktu itu,” cerita Evi ketika mendampingi Bandungbergerak.id melakukan wawancara tatap muka dengan Dwi pada lokasi dan hari yang sama.
Pihak bidan menyarankan Dwi untuk segera merujuk Naira ke rumah sakit terdekat agar mendapat penanganan lebih lanjut untuk mengatasi stunting yang didera si bayi. Tapi, Novan dan Dwi tidak mengamini saran itu karena alasan ekonomi. Sementara Evi pun tak bisa berbuat lebih ketika itu.
*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah.