Kasus Stunting, Pekerjaan Rumah Pemkot Bandung
Kasus stunting menjadi sorotan anggota DPRD Kota Bandung. Masalah tumbuh kembang anak ini juga terkait dengan kesehatan mental keluarga.
Penulis Reza Khoerul Iman5 Juli 2022
BandungBergerak.id – Angka kasus anak dengan pertumbuhan fisik terhambat yang disebut stunting di Indonesia melebihi ambang batas. Di Kota Bandung sebagai pusat kota di Jawa Barat, angka stuntingnya juga tidak kecil dan hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah Pemkot Bandung.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Ahyani Raksanagara mengatakan meskipun pada tahun kemarin, sebanyak 1.900 anak keluar dari status stunting dan mengalami penurunan kasus, namun tetap saja angka stunting di Kota Bandung masih melambung tinggi.
“Tahun kemarin kita bisa menurunkan sekitar 3 persen kasus stunting, yaitu 1.900 anak keluar dari status stunting,” ucap Ahyani Raksanagara, pada diskusi yang digelar Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) di Gedung Gelanggang Generasi Muda, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Senin (4/7/2022).
Ahyani menjelaskan penyebab stunting terbagi dua, pertama penyebab sensitif seperti masalah ketersediaan pangan, masalah ekonomi, masalah pola asuh, lingkungan. Kemudian ada penyebab spesifik seperti kesehatan, ibunya diperiksa, anaknya diimunisasi, anaknya ditimbang.
“Ini perlu perhatian kita semua, jangan sampai ada stunting baru,” katanya.
Data Dinas Kesehatan Kota Bandung menyebutkan, bahwa secara nasional terdapat 26,4 persen kasus balita stunting yang tercatat di Indonesia pada tahun 2019. Padahal ambang batas stunting nasional tidak melebihi angka 20 persen.
Melambungnya kasus bayi stunting di Indonesia yang melebihi batas ambang sebanyak 20 persen perlu mendapati perhatian dari semua elemen masyarakat dan menjadi kesadaran setiap warga negara Indonesia agar tidak melahirkan stunting baru.
Anggota DPRD Kota Bandung Rendiana Awangga menyebut pemerintah Kota Bandung masih mempunyai pekerjaan rumah untuk mengatasi maupun melakukan sosialisasi secara masif tentang stunting.
Ia mengaku telah melakukan survei, antara lain, di kelurahan Pasir Biru di mana banyak warganya yang menilai permasalahan stunting tidak terlalu penting. Bagi warga, yang penting adalah memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Hal ini menjadi pekerjaan bagi pemerintah Kota Bandung, bahwa perihal sosialisasi ini perlu dilakukan secara masif. Kemudian yang perlu disadari bahwa hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Kota Bandung semata, perlu keterlibatan dan kolaborasi dari seluruh pihak sehingga kasus stunting dapat dipukul dan tidak melahirkan stunting baru,” kata Rendiana Awangga, pada acara yang sama.
Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI: Membubung Stunting di Kota Bandung
Data Kasus Balita Stunting di Kota Bandung 2014-2020
Angka Stunting di Indonesia tertinggi Ketiga di Asia
Kesehatan Kesehatan Pemicu Stunting
Pakar kesehatan mental, Elvine Gunawan, mengatakan mengatasi kasus stunting memerlukan keterlibatan dari semua elemen masyarakat. Kasus yang berkaitan dengan kekurangan gizi pada anak ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh dinas kesehatan, sebab kasus ini merupakan permasalahan umum yang mesti diselesaikan bersama-sama.
Elvine menyebutkan banyak aspek yang bisa mempengaruhi potensi munculnya stunting, satu di antaranya yaitu soal pengetahuan dan edukasi kepada masyarakat yang dinilai masih kurang. Hal ini ditandai dengan masih acuhnya sebagian keluarga terhadap persoalan stunting.
Hal tersebut berakibat pada pola kesehatan keluarga yang menjadi kurang baik, bahkan hal itu mempengaruhi lingkungan pergaulan. Hasil penelitiannya di Cibiru, Kota Bandung, menunjukkan ada hubungan antara kasus stunting dengan pernikahan dini.
Elvine menyebutkan rata-rata anak di sana melakukan hubungan seksual pada umur 14 tahun, hal ini yang dapat merusak pola hidup dan kesehatan, bahkan memperbesar potensi lahirnya stunting baru.
Pola kesehatan jiwa keluarga juga mempengaruhi potensi munculnya stunting. Pada penelitian di Semarang, kata Elvine, ada sebanyak 46.000 anak melakukan pemeriksaan. Hasilnya, ibu yang mengalami distres dapat berpotensi melahirkan stunting 33 persen, sementara kalau ayahnya yang mengalami distres sebesar 37 persen. Jika suami istri sama-sama mengalami distres maka potensi stuntingnya lebih besar lagi, yakni 40 persen.
“Isu stanting ini isu yang menarik karena tidak bisa diselesaikan sendiri oleh dinas kesehatan. Berbagai lembaga internasional juga sudah bilang, kalau hanya diselesaikan hanya oleh orang kesehatan tidak mungkin. Jadi kita semua harus bicara bagaimana mencegah stunting dan mengobatinya,” tegas Elvine, yang juga menjadi narasumber diskusi FDWB.
Inisiatif Masyarakat
Komunitas Cantelan merupakan salah satu komunitas masyarakat yang telah berinisiatif melakukan aksi-aksi sosial untuk membantu lingkungan sekitarnya mendapatkan pola kesehatan dan gizi yang baik selama pandemi, yaitu dengan mencantelkan makanan sehat di pagar rumah warga.
Penggagas gerakan bantuan cantelan, Sofyan Mustafa mengatakan bahwa selama pandemi di daerahnya yaitu kelurahan Gumuruh terdapat 114 balita dan 12 ibu hamil yang perlu diperhatikan, sementara pada saat pandemi semua akses serba dibatasi. Oleh karenanya ia berinisiatif dan merasa bertanggung jawab untuk membantu warga di sekitarnya, bahkan ia mengaku semua pendanaannya dilakukan dengan menjual barang bekas.
“Dengan segala keterbatasan, kita tetap berusaha untuk cepat tanggap melakukan aksi tersebut agar asupan gizi dan kesehatan warga tetap terpenuhi. Kita berharap ke depannya banyak orang yang tergerak untuk melakukan hal serupa atau kita mendapat sokongan dari berbagai pihak untuk kegiatan kita,” tutur Sofyan.
Rendiana Awangga sangat mengapresiasi atas inisiatif yang dilakukan oleh Sofyan dalam membantu warga sekitarnya mendapatkan gizi dan kesehatan yang baik selama pandemi. Ia menambahkan bahwa kasus stunting ini perlu mendapat perhatian semua kalangan karena dapat mempengaruhi indeks pembangunan manusia ke depannya.