Kontras: Tanpa Permintaan Maaf dari Negara pada Korban, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Menjadi Semu
Kontras menyatakan, permintaan maaf pada korban pelanggaran HAM berat di masa lalu penting karena sebagai awal dari upaya mengakui kesalahan secara sungguh-sungguh.
Penulis Iman Herdiana8 Mei 2023
BandungBergerak.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD tentang tidak ada permintaan maaf dari pemerintah atas peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Pernyataan Mahfud MD muncul saat konferensi pers di Istana Kepresidenan usai rapat membahas kelanjutan penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial bersama Presiden pada Selasa (2/5/2023).
“Tidak ada permintaan maaf dari Pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu, tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan Pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu,” demikian pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, sebagaimana dikutip dalam keterangan resmi Kontras.
Kontras menilai, pernyataan tersebut secara terang menunjukan wajah arogansi negara atas luka dan dosa yang telah ditorehkan kepada para keluarga korban pelanggaran HAM Berat masa lalu. Menurut Kontras, pada dasarnya pengakuan tanpa dibarengi dengan permintaan maaf, pertanggungjawaban dan akuntabilitas negara dalam menyelesaikan kasus itu hanya semu dan tidak dapat memberikan keadilan bagi korban.
Kontras menyatakan, permintaan maaf tentu penting, karena merupakan wujud reparasi simbolis sebagai awal dari upaya mengakui kesalahan dengan sungguh dan menempatkan korban sebagai pihak yang telah dirampas haknya dan harus dihormati. Pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tentu saja tidak bisa berdiri sendiri.
“Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan serangkaian tindakan politik lainnya seperti mengembalikan hak-hak korban dan keluarga korban serta tindakan hukum dengan mengadili para terduga pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu,” demikian keterangan resmi Kontras, dikutip Senin (8/5/2023).
Perlu diingat bahwa korban dalam pelanggaran HAM berat adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan (commission/omission Badan/Pejabat Pemerintahan yang melawan hukum). Menurut hukum yang berlaku universal, negara sebagai duty bearer tentu memiliki serangkaian kewajiban yang harus dilakukan secara holistik terhadap pelanggaran HAM berat dengan berupa; kewajiban mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menuntut pidana (duty to prosecute), kewajiban untuk mengembalikan keadaan korban (duty to redress) serta kewajiban untuk menjamin tak ada lagi repetisi pelanggaran HAM (non-recurrence).
Dalam pengalaman internasional, lanjut pernyataan resmi Kontras, pemerintah juga dapat belajar dari pemerintah Afrika Selatan pascapolitik apartheid runtuh dengan berani meminta maaf, mengakui dan mempertanggungjawabkan kesalahannya.
“Selain itu, kami juga menyoroti dalam konferensi pers tersebut pemerintah berusaha menitikberatkan penyelesaian non-yudisial dengan tidak akan mencari pelaku. Pernyataan tersebut jelas kembali mempertontonkan impunitas atau kekebalan hukum pada para pelanggar HAM di Indonesia. Meski Pemerintah mengakui telah terjadi peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu, tetapi Pemerintah tidak memproses hukum para pelakunya,” lanjut Kontras.
Hal itu, lanjut Kontras, tentu menguburkan prinsip dan upaya pengungkapan kebenaran, akuntabilitas dan pertanggungjawaban dari aktor negara. Pemerintah seakan menutup ruang pengungkapan kebenaran karena ada celah untuk mensimplifikasi peristiwa yang terjadi baik kepada korban maupun keluarga korban sebagai kelompok yang terdampak langsung.
Padahal menurut Kontras, jika negara serius dan berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, pemerintah harus seterang-terangnya membuka keadilan melalui pengungkapan kebenaran dan keadilan, utamanya bagi para korban, keluarga korban dan penyintas. Bukan justru keadilan dan ruang aman bagi para pelaku pelanggaran HAM berat.
Oleh sebab itu, KontraS mendesak:
- Presiden meminta maaf terhadap para korban, penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia atas dampak yang muncul akibat peristiwa yang terjadi serta dari pengabaian pemenuhan atas keadilan dan hak lainnya sampai hari ini.
- Pemerintah melakukan penuntasan pelanggaran HAM berat secara menyeluruh lewat proses hukum, pengungkapan kebenaran, pemulihan para penyintas dan keluarga korban serta menjamin ketidak berulangan pelanggaran HAM berat berikutnya di masa depan.
- Presiden mendorong penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melalui mekanisme yudisial menggunakan UU Nomor 26 Tahun 2000 dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM.
Baca Juga: Amnesty Internasional Indonesia: Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Perlu Diikuti Pengungkapan Kebenaran dan Penghukuman Pelaku
Presiden Jokowi: Negara telah Melakukan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu
Pekerjaan Rumah Pemerintah Indonesia Menegakkan HAM Perempuan
Instruksi Presiden
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memimpin rapat tentang tindaklanjut dari rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM. Dalam keterangannya usai mengikuti rapat, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyampaikan bahwa Presiden telah memberikan instruksi kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
“Presiden sudah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu,” ujar Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
Menkopolhukam menekankan bahwa rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM pada penyelesaian non-yudisial menitikberatkan pada korban pelanggaran HAM berat. Sementara pelaku pelanggaran HAM berat akan diselesaikan secara yudisial sesuai keputusan dari Komnas HAM bersama DPR.
“Jadi ini titik beratnya pada korban bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non-yudisial ini karena itu urusan Komnas HAM dan DPR,” katanya.
Selain itu, dalam rekomendasi penyelesaian non-yudisial tersebut pemerintah mengakui bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat telah terjadi di Indonesia. Pemerintah, lanjut Mahfud, menyesali terjadinya peristiwa tersebut.
“Jadi yang kita lakukan ini adalah fokus pada korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang berdasar temuan Komnas HAM ada 12 peristiwa dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut Undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM, dan Komnas HAM merekomendasikan 12 (peristiwa) yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu,” lanjutnya.
Selanjutnya, pemerintah akan melakukan peluncuran upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial yang direncanakan dilaksanakan pada bulan Juni di Provinsi Aceh. Namun, Mahfud menyampaikan bahwa rencana peluncuran tersebut masih akan dibicarakan lebih lanjut.
“Data sudah ada sumbernya nanti akan dikroscek lagi. Bentuk yang akan diluncurkan sebagai bentuk penyelesaian di dalam kick off itu mungkin bentuknya adalah taman belajar atau living park tentang hak asasi,” ujarnya.