Petani Muda Jawa Barat Membutuhkan lebih dari Sekadar Wisuda
Jumlah petani muda secara nasional maupun Jawa Barat jauh lebih kecil dari petani tua. Mereka juga membutuhkan pendidikan atau ilmu pertanian.
Penulis Iman Herdiana31 Mei 2023
BandungBergerak.id - Sebanyak 4.095 petani milenial Jawa Barat angkatan tahun 2022 diwisuda di Graha Sanusi Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Selasa (30/5/2023) lalu. Petani muda atau petani milenial sebenarnya membutuhkan lebih dari sekadar wisuda. Dunia pertanian di Jawa Barat saat ini dilanda krisis petani terdidik.
Wisuda petani milenial disaksikan langsung oleh Gubernur Jabar yang juga penggagas program Petani Milenial Ridwan Kamil. Dalam momen tersebut Ridwan Kamil turut menyematkan rompi kuning dan topi kepada perwakilan petani milenial yang diwisuda.
Ridwan Kamil mengatakan, 4.095 petani milenial yang diwisuda tersebut merupakan yang masuk kriteria berhasil mengikuti pedampingan secara penuh dan mendapatkan perubahan dari sisi ekonomi.
Ridwan Kamil menyebut terjadi peningkatan minat yang signifikan pada angkatan tahun 2022, yakni sebanyak 20.894 pendaftar. Jumlah tersebut meningkat tajam dari angkatan tahun 2021, yaitu sebanyak 8.996 pendaftar. Bahkan pendaftar petani milenial untuk tahun 2023 sudah mencapai 30.000 orang.
"Tentu tidak semua pendaftar lulus tahap awal karena ada seleksi umur, kelayakan, dan lainnya," tambah Ridwan Kamil, dikutip dari siaran pers, Rabu (31/5/2023).
Peningkatan jumlah pendaftar tersebut, kata mantan Wali Kota Bandung ini, menandakan bahwa program Petani Milenial sangat diminati oleh generasi muda. Hal itu akan berdampak pada terjaganya regenerasi petani di Jabar.
Program Petani Milenial yang mulai digulirkan tahun 2021 merupakan pengembangan usaha pertanian yang melibatkan generasi milenial berkolaborasi dengan pemangku kepentingan.
Program ini bertujuan menciptakan sistem pertanian mandiri, maju, dan berkelanjutan dengan tema tinggal di desa, rezeki kota, bisnis mendunia.
Bukan Karpet Merah
Ridwan Kamil mengakui program petani milenial bukanlah program memberi honor atau menggaji peserta, juga bukan program karpet merah yang menjamin kesuksesan. Tugas pemerintah hanya memfasilitasi. Berhasil dan tidaknya tergantung dari kerja keras, konsistensi, keberuntungan dari peserta.
"Tadi yang diwisuda terbukti sebagian pernah mengalami kegagalan, tapi tidak menyerah karena kegagalan bagian dari proses yang harus dilalui untuk bangkit lagi dan akhirnya sukses," ujarnya.
Sebagai contoh, ia menyebut ada petani milenial angkatan tahun 2022 asal Ciamis penghasilan awalnya hanya berkisar 1 juta rupiah. Namun omsetnya kini telah mencapai 40 juta rupiah.
Ia berharap keberhasilan tersebut terus dipublikasikan oleh media massa tak hanya memberitakan satu kegagalan yang seolah-olah digeneralisasi programnya tidak berhasil.
Diketahui, program petani milenial pernah menuai kritik di media sosial pada Februari 2023 lalu. Salah seorang peserta program petani milenial tanaman hias dari Lembang, Kabupaten Bandung Barat, membeberkan kesulitannya saat menghadapi gagal panen. Di saat yang sama, ia memiliki beban utang yang sebelumnya ia dapatkan melalui program petani milenial Pemprov Jabar. Keluh kesah ini kemudian viral di media sosial yang kemudian menjadi pemberitaan di media massa.
Dalam wisuda tersebut turut diserahkan bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan program Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dari Bank Bjb kepada petani milenial. Sejumlah produk petani milenial juga mejeng pada pameran produk di area kampus Unpad.
"Jadi ini adalah tawaran dari Jabar untuk generasi muda bahwa di masa depan tinggal di desa saja asal kuasai ilmu bisnis dan digitalnya, maka akan mendapatkan rezeki kota dan bisnisnya mendunia," pungkas Ridwan Kamil.
Baca Juga: Ironi Pemidanaan Buruh Tani Garut dan Petani Milenial Jawa
Jabar Hadapi Krisis Petani Muda dan Tantangan Teknologi
Jawa Barat Menghadapi Kelangkaan Petani Pangan
Regenerasi dan Pendidikan Petani Muda
Regenerasi petani menjadi persoalan secara nasional maupun Jawa Barat. Dalam penelitian yang dilakukan R.A Budi Kusumo dan G.W Mukti dari Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Unpad, disebutkan jumlah rumah tangga petani cenderung mengalami penurunan 5,10 juta (16 persen), berdasarkan Data Sensus Pertanian tahun 2003 dan 2013.
Pada jurnal bertajuk “Potret Petani Muda (Kasus Pada Petani Muda Komoditas Hortikutura di Kabupaten Bandung Barat)” tersebut, Budi dan Mukti memaparkan rumah tangga petani di Indonesia pada 2003 berjumlah 31,23 juta dan menurun menjadi 26,14 juta pada 2013. Lebih lanjut data Sensus Pertanian tahun 2013 menyebutkan bahwa jumlah petani berkurang sebanyak satu juta orang per tahun (BPS, 2013).
“Jumlah rumah tangga petani di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah meninggal atau berpindah kerja ke luar sektor pertanian, dan di sisi lain jumlah penduduk yang baru masuk terlibat di sektor pertanian jumlahnya lebih sedikit,” tulis kedua peneliti.
Selain permasalahan berkurangnya jumlah petani, kedua peneliti juga mengidentifikasi struktur umur petani didominasi oleh petani yang sudah berusia tua, 61,8 persen petani berusia di atas 65 tahun.
“Banyaknya pemuda desa yang meninggalkan sektor pertanian disebabkan oleh penilaian para pemuda yang menganggap sektor pertanian tidak menguntungkan, kurang bergengsi, dan identik dengan kemiskinan. Para pemuda desa lebih memilih melakukan urbanisasi ke kota-kota besar yang dinilai memiliki status sosial yang lebih tinggi dan dapat lebih menjamin kehidupan,” tulis mereka.
Budi Kusumo dan G.W Mukti memotret persoalan pertanian pada konteks lebih mikro, yakni sektor hortikultura Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Para petani hortikultura ini memang rata-rata berusua muda, 34 tahun. Namun latar belakang pendidikan mereka menjadi kendala tersendiri.
Sangat sedikit jumlah petani yang pernah mengenyam pendidikan tinggi atau sarjana. Hal ini berpengaruh pada inovasi-inovasi produk pertanian.
Berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh, terlihat bahwa petani muda di Kabupaten Bandung Barat ada yang menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana, meskipun persentasenya kecil dibandingkan dengan petani yang menempuh pendidikan formal hanya hingga tingkat SMP.
“Tingkat pendidikan formal berkaitan dengan kemampuan petani untuk menerapkan inovasi. Petani dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk berinovasi dalam usaha yang mereka jalankan, memiliki konsep dan model bisnis yang jelas,” terangnya.
Fakta lain, kedua peneliti menemukan bahwa sebagian besar petani tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi di bidang pertanian. Fenomena tersebut di satu sisi memberikan gambaran usaha tani hortikultura merupakan usaha yang diminati generasi muda dan dinilai cukup menjanjikan, namun di sisi lain baru sebagian kecil tenaga kerja terdidik yang terjun dalam bidang pertanian.
Hal ini sejalan dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Direktotat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (2015) yang menunjukkan lulusan pendidikan tinggi pertanian cenderung memasuki dunia kerja nonpertanian dan meninggalkan tenaga kerja kurang berpendidikan/kurang terlatih di sektor pertanian.
Dengan demikian, persoalan pertanian di Jawa Barat selain soal regenerasi juga terkait erat dengan pendidikan. Dalam artian, mereka membutuhkan pendidikan yang sesungguhnya mengenai ilmu-ilmu pertanian, bukan sekadar seremonial wisuda. Hal tersebut sejalan dengan kesimpulan Budi Kusumo dan G.W Mukti bahwa:
“Untuk mendukung minat generasi muda pada sektor pertanian diperlukan dukungan kepada petani muda untuk meningkatkan kualitas petani dan menumbuhkan usahatani yang inovatif di pedesaan.”