• Berita
  • Seratus Tahun Persoalan Stunting di Tanah Priangan

Seratus Tahun Persoalan Stunting di Tanah Priangan

Stunting dan gizi buruk terdapat dalam naskah Sunda kuno. Pemkot Bandung tampaknya mesti bercermin menangani stunting dari masa lalu.

Warga menunjukan daging ayam beku dan telur yang baru diterima dari program pemerintah untuk bantuan pangan di halaman kantor Kecamatan Andir, Kota Bandung, Jumat (5/5/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul1 Juli 2023


BandungBergerak.idStunting masih menjadi persoalan kesehatan serius yang harus ditangani pemerintah pusat maupun daerah. Kota Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat sampai saat ini masih menghadapi angka stunting. Pemkot Bandung menargetkan angka prevalensi stunting di tahun 2023 sebanyak 14 persen.

Ditilik dari dokumen-dokumen sejarah, ternyata persoalan stunting bukan mengemuka sejak beberapa tahun ke belakang saja, melainkan sudah disinggung dalam naskah kuno nusantara yang berusia ratusan tahun. Pemerintah mestinya bercermin dari naskah-naskah lama.

Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Elis Suryani Nani Sumarlina menjelaskan, beberapa naskah Sunda baik kuno (bihari), peralihan/klasik (kamari), dan masa kini (kiwari) telah menyinggung dan berkaitan dengan pengetahuan antistunting.

Salah satu contoh naskah yang menjelaskan tentang stunting misalnya Sanghyang Titisjati Pralina. Beberapa isi dari naskah ini mengungkap cara perawatan, pemeliharaan, dan penanggulangan anak sejak dalam usia kandungan hingga remaja.

“Salah satunya agar kondisi di mana tinggi badan seorang ‘anak’ tidak pendek dibanding tinggi badan orang lain seusianya, dalam arti agar anak tidak gagal tumbuh kembang. Hal ini pun disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang diterima oleh janin/bayi dalam kandungan, hingga masa awal anak lahir,” kata Elis sebagaimana dikutip dari siaran pers Unpad, Senin (26/6/2023).

Naskah Sanghyang Titisjati Pralina juga menjelaskan tahapan bulan kandungan disertai dengan adat dan tradisi yang mengiringinya. Misalnya, pemijatan ibu dan bayi sejak dilahirkan hingga pemanfaatan toga (obat berupa teks yang dibacakan) ketika bayi sakit. Prosesn ini dilakukan untuk menjadikan bayi atau janin yang dikandung selaigus ibunya berada dalam keadaan sehat, kuat, serta tidak kekurangan suatu apa pun selama kehamilan dan saat melahirkan.

Elis melanjutkan, naskah Sunda juga berupaya mengungkapkan upaya yang dilakukan orang terdahulu untuk menghindari gejala stunting, khususnya yang berkaitan degan “teks naskah mantra pengobatan”. Hal ini ditengarai ada keterkaitan antara penyakit yang diderita dengan obat (toga berupa teks yang dibacakan), dengan jenis tanaman obat, fungsi, cara pengolahan, dan tindak pengobatan untuk mengobat ibu dan bayi. Tindak pengobatan ini baik yang dilakukan oleh dukun beranak (paraji) maupun dukun orang pintar.

Beberapa teks judul mantra pengobatan di antaranya, Jampe Keur Kakandungan, Jampé Tujuh Bulan, Ngajampé nu Kakandungan, Jampé ngalahirkeun/Jampé Orok Medal, Jampé Motong Tali Ari-Ari, Jampé Ngaranan Orok, Jampé Kandungan nu Elat Lahir, Jampé Tampek, Jampé Lamun Orok Ceurik baé, Jampé Lamun Orok Harééng, Jampé Meuseul Orok, Jampé Nyeri Beuteung, dan lain-lain.

“Pengetahuan tentang cara merawat, memelihara, dan menangani anak sejak dalam kandungan hingga remaja yang terungkap dalam naskah Sunda diharapkan menjadikan anak sejak dari kandungan hingga tumbuh dewasa menjadi selamat dan sehat, terhindar dari stunting,” ungkap Elis.

Elis juga berharap, bekal pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang Sunda ini menjadi referensi literasi untuk generasi muda yang berperan maupun yang akan berperan sebagai ibu. Meskipun zaman sekarang dipenuhi dengan teknologi canggih.

Seorang ibu penting untuk memiliki referensi pengetahuan tentang stunting, baik informasi sejak lama maupun yang terbaru. Ibu berperan sebagai garda terdepan dalam pendidikan informal, dalam upaya mengurus, membimbing, mendidik, dan mengasuh anak, agar sehat dan kuat dan terhindari dari stunting.

Baca Juga: Kasus Stunting, Pekerjaan Rumah Pemkot Bandung
BAYI-BAYI PANDEMI: Membubung Stunting di Kota Bandung
Aqila, Dia yang Lahir di Puncak Gelombang Kedua

Angka Stunting Bandung

Bandung menjadi salah satu kota yang masih bergelut dengan stunting. Ketua Umum Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi (Akopsi) Ahmed Zaki Iskandar mengatakan, salah satu penyebab stunting dan gizi buruk adalah masalah sanitasi.

Ahmed menegaskan, sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang seharusya dapat diakses secara mudah oleh masyarakat. “Pekerjaan rumah kita saat ini menekan angka stunting nasional menjadi 14 persen pada tahun ini,” ujar Ahmed, dikutip dari siaran pers Pemkot Bandung, Kamis (15/6/2023).

Ahmed menekankan pemerintah daerah harus memiliki konsen dan strategi khusus dalam menekan angka stunting. Sementara itu, dalam Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Annita Olo, Henny Suzana Mediani, dan Windy Rakhmawati menyimpulkan faktor air dan faktor sanitasi berhubungan dengan kejadian stunting di Indonesia.

Faktor air di antaranya adalah sumber air minum tidak layak dan pengolahan air minum. Adapun faktor sanitasi yaitu penggunaan fasilitas toilet, perilaku buang air besar sembarangan (open defecation), dan pembuangan tinja balita tidak pada jamban.

“Upaya mengurangi kejadian stunting pada balita di Indonesia dibutuhkan intervensi gizi sensitif  dengan  perbaikan sanitasi  lingkungan, pembangunan  konstruksi jamban  yang memenuhi syarat kesehatan, melakukan upaya promotif kesehatan dengan edukasi untuk meningkatkan kesadaran  masyarakat  agar  tidak  melakukan  perilaku  open defecation dan pembuangan tinja  termasuk  tinja balita  harus  pada  jamban,” tulis Annita dkk, diakses Rabu (28/6/2023). 

Pada Dokumen Profil Kesehatan Kota Bandung 2021, angka prevalensi stunting tertinggi di Kota Bandung terjadi di tahun 2015, yaitu 8,96 persen atau setara dengan 11.999 anak dari total balita ditimbang. Di tahun-tahun berikutnya, kasus stunting cenderung fluktuatif dengan angka terendah di tahun 2017, yaitu 1,94 persen atau setara dengan 2.509 anak.

Sementara saat pandemi melanda di tahun 2020, prevalensi kasus balita stunting di Kota Bandung melambung hingga 8,93 persen. Angka ini setara dengan 9.567 anak balita dari total 107.189 anak ditimbang, terdiri dari dari 2,27 persen balita berstatus sangat pendek dan 6,65 persen balita berstatus pendek.

Selain sanitasi yang layak, stunting juga berkaitan erat dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi. Dalam data Profil Kesehatan Kota Bandung 2014-2020, ada keterkaitan antara pemberian ASI eksklusif dan persentase balita yang menderita stunting. Dalam kurun waktu itu, ketika jumlah bayi penerima ASI eksklusif cenderung meningkat, angka stunting cenderung turun.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//