Mengais Sisa-sisa Kenangan di Bioskop Regent
Bioskop Regent bisa dibilang bioskop mandiri terakhir di Kota Bandung. Tersisih oleh kemunculan bioskop-bioskop mal yang sejauh ini masih bertahan.
Penulis Daffa Primadya Maheswara15 Juli 2023
BandungBergerak.id - Mungkin beberapa orang akan bernostalgia jika mendengar nama Bioskop Regent. Salah satu bioskop legendaris yang terletak di Jalan Sumatera nomor 2 Kota Bandung. Bioskop tersebut sempat hits pada tahun 1990-an sebelum akhirnya menjadi gedung terbengkalai. Kendati demikian, masih ada orang yang mengurusnya.
Dari arah perempatan arah Jalan Lembong, sebagian bangunan bekas Bioskop Regent terlihat masih berdiri kokoh dengan pohon rindang yang teduh mengelilinginya. Terlihat juga masih ada pos jaga yang masih ditempati, lahan parkir cukup luas yang sudah ditutup rimbun semak-semak ilalang; serta musala yang sudah tidak bisa digunakan lagi.
Bekas bangunan Bioskop Regent dahulu sempat menyandang nama Wisata Graha. Namun karena ada bioskop di lantai atasnya, gedung ini pun lebih dikenal dengan Bioskop Regent. Pada masanya, gedung ini dikelola PT. Kharisma, perusahaan yang bergerak di bidang distributor film di Kota Bandung.
Awal mula keruntuhan Bioskop Regent tak lepas dari banjir CD dan DVD bajakan di Kota Bandung. Orang lebih memilih menonton dan memutar film di rumah berbekal CD/DVD dengan harga 10 ribu rupiah per tiga kepingnya. Perlahan tapi pasti, bisnis dan kebiasaan ini menggeser ketenaran Bioskop Regent dan gedung-gedung film umumnya.
Keberadaan bioskop di Bandung, termasuk Bioskop Regent, memiliki sejarah tersendiri pada khasanah perfilman Kota Kembang. Apalagi istilah Bandung van Bioscoop amat melekat sejak zaman penjajahan Belanda. Tak diragukan lagi, Bandung sebagai barometer perkembangan film di Indonesia.
Namun dengan perkembangan zaman yang begitu pesat pula, banyak bioskop independen seperti Regent gulung tikar. Pamor mereka kalah dibandingkan bioskop yang menyatu dengan mal-mal.
Yana Supriatna (70 tahun) sanggup menuturkan sekelumit sejarah Bioskop Regent. Sehari-hari ia bekerja sebagai pedagang kaki lima di eks bioskop tersebut, sejak belasan tahun lalu. Saat ini, ia mendapat tugas membersihkan halaman depan gedung bioskop.
Menurut Yana, pada akhir tahun 2006 gedung Bioskop Regent sempat beberapa kali mengalami ganti fungsi, mulai dari restoran cepat saji sampai warung internet alias warnet. Perubahan ini sempat menarik minat anak-anak muda Bandung. Namun tak lama karena pada 2007, aktivitas ekonomi di gedung ini akhirnya tutup.
“Sempat dengar sih orang yang bertanggung jawab atas gedung ini diurus oleh orang Jakarta, namun saya ga tau namanya, karena saya hanya dititipkan oleh pegawainya saja untuk membersihkan halaman depan dan diizinkan jualan juga,” tutur Yana, Kamis (13/7/2023).
Masih menurut Yana, pernah beberapa orang yang ingin membeli tanah dan gedung bioskop ini untuk dijadikan aktivitas komersil. Namun selalu tidak jadi hingga saat ini.
Meski demikian, eks Bioskop Regent tak selamanya sepi. Sesekali suka ada beberapa orang yang sekadar syuting konten Youtube. Mereka bahkan meminta masuk ke dalam gedung. Namun Yana tak pernah mempersilakan mereka berkegiatan di luar gedung saja.
Selebihnya, beberapa orang datang sekadar berteduh atau istirahat di pinggir gedung sembari membeli dagangan Yana. Orang-orang cukup ramai ketika akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Kedatangan mereka cukum membuat dagangan Yana laris.
“Apalagi hari libur Sabtu Minggu allhamdulillah kadang rame yang datang dan dominan para driver ojol yang sedang menunggu orderannya,” tutur Yana.
Bioskop Regent meninggalkan kenangan bagi beberapa warga Bandung. Mereka menyayangkan bioskop ini tutup. Padahal harga tiketnya tidak mahal-mahal amat dibandingkan bioskop lain.
"Pertama kali saya nonton dengan pasangan saya, ya Bioskop Regent. Jadi pas tahu Bioskop Regent tutup, agak sedih juga," kata Gilang Fathu, pegawai Rumah Sakit Umum Bungsu.
Rumah Sakit Umum Bungsu tepat berseberangan dengan Bioskop Regent. Gilang kerap merindukan momen-momen indah menonton film di gedung yang kini kosong tersebut. Gilang punya analisa tersendiri mengenai mengapa bioskop ini tutup, karena ketenarannya kalah dibandingkan bioskop lain yang lebih modern dengan fasilitas lengkap.
Baca Juga: Gelap Sejarah Cicalengka
Pameran Tunggal Simfoni Patetik Diyanto, Memanusiakan Manusia melalui Tontonan Manusia
Bandung Historical Study Games 2023 di Gedung Dwi Warna
Mal Kaum Urban
Bangkrutnya Bioskop Regent tentu disebabkan banyak faktor, selain maraknya DVD hingga kini mudahnya orang menonton film di internet, juga karena tren bioskop sekarang lebih menyatu dengan mal. Dalam catatan BandungBergerak.id, banyak gedung-gedung film yang berdiri sendiri pada akhirnya jatuh.
Sementara gedung-gedung film di mal beberapa masih bertahan sampai sekarang. Masalah gedung film ini menjadi kajian dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh Gorivana Ageza, Aquarini Priyatna, R.M. Mulyadi dari Program Studi Magister Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran (Unpad).
“Tutupnya Regent 21 dan Astor secara berturut-turut pada rentang tahun 2011-2013 menandai bahwa di Kota Bandung tidak ada lagi bioskop yang berbentuk bangunan mandiri (Adi, 2013; Maradona, 2011). Akibatnya, sejak saat itu bioskop hanya berada di mal (pusat perbelanjaan),” demikian tulis Gorivana Ageza dkk., diakses Sabtu (15/7/2023).
Hingga awal April tahun 2018, catat Ageza dkk., di Bandung terdapat lima belas bioskop . Kelima belas bioskop tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, nama bioskop diambil dari nama mal yang ditambahkan dengan merek jaringan bioskop. Kedua, nyaris semua mal di Bandung memiliki bioskop.
Lebih jauh, Ageza dkk., memaparkan sejak tahun 1986 terjadi perubahan konsep bioskop yang dipelopori jaringan bioskop Cineplex 21 (Sen, 2009: 107). Pada mulanya bioskop berbentuk bangunan mandiri dan hanya terdiri atas sebuah ruangan untuk menonton (studio/teater/auditorium) berukuran besar yang dapat menampung ratusan penonton. Sementara itu, bioskop dengan bentuk baru memiliki format sinepleks (kompleks sinema), yakni sebuah bioskop yang terdiri atas beberapa ruangan untuk menonton (studio/teater/auditorium).
Bersinggungan dengan konsep sinepleks, lanjut Ageza dkk., terjadi pula perubahan lain yakni integrasi antara bioskop dan pusat perbelanjaan. Masuknya bioskop sinepleks ke dalam bangunan pusat perbelanjaan awalnya dimungkinkan karena kepemilikan yang sama antara jaringan bioskop Cineplex 21 dan jaringan pasar swalayan Golden Truly (Sen, 2009: 108).
“Seiring perkembangan zaman, keberadaan bioskop-bioskop dalam bentuk bangunan mandiri dan kepemilikan mandiri (di luar jaringan bioskop Cineplex 21) mulai tutup. Kondisi tersebut diperparah oleh situasi perfilman tanah air yang terpuruk pada era tahun 1990-an. Bioskop jaringan dengan format sinepleks diuntungkan karena afiliasinya dengan pasar swalayan, pemutaran film-film impor, serta fasilitas bioskop yang nyaman dan mutakhir (Sen, 2009: 107),” bebernya.
Ageza dkk., kemudian mencatat saat ini di Indonesia, kita mengenal jaringan-jaringan bioskop lain, seperti CGV Cinemas dan Cinemaxx, sebagai kompetitor dari jaringan bioskop Cineplex 21. Baik bioskop jaringan maupun bioskop non-jaringan sama-sama memilih bergabung.
Keberadaan mal sendiri adalah salah satu penanda kehidupan urban atau kota modern sebagai miniatur atau arcade. Arcade adalah bentuk pusat perbelanjaan di abad ke-20, berupa lorong/gang dengan deretan toko di sepanjang kiri-kanannya.
“Dengan perkataan lain, mal adalah miniatur dari kota urban. Sementara itu, Karl Marx dan Friedrich Engels sebagaimana dikutip oleh Simon Parker mengatakan bahwa kapitalisme yang menciptakan kota modern, dan bukan sebaliknya (2004). Kedua premis tersebut mengisyaratkan bahwa arcade atau mal adalah pengejawantahan dari sistem kapitalisme,” tulis Ageza dkk.