• Foto
  • Gelap Sejarah Cicalengka

Gelap Sejarah Cicalengka

Di Cicalengka ada Goa Peteng, bunker tua militer yang kini tak terurus. Lalu, Stasiun Cicalengka yang terancam diruntuhkan.

Fotografer Prima Mulia15 Juli 2023

BandungBergerak.id "Ati-ati ulah ka dinya, loba oray (hati-hati, jangan ke sana, banyak ular)," kata Pak Nana, petani penggarap kebun sekaligus kuncen Goa Peteng di Kampung Kebon Kacang, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Kamis (13/7/2023). Yang disebut Goa Peteng adalah sebuah bangunan semacam bunker atau gudang militer di tengah-tengah kebun kopi dan hutan. Siang itu Pak Nana tengah menggarap lahan yang akan ditanami tanaman cabai.

Lokasinya benar-benar berada di tengah kebun pertanian dan hutan, persis di samping permakaman umum Cisaladah. Ada tiga bunker di kawasan tersebut. Yang satu sudah hancur sama sekali dan kini jadi ladang, yang tengah masih utuh dan bisa dimasuki, yang ketiga sudah ditumbuhi semak belukar dan sama sekali tak bisa dimasuki. Malah kata Nana kini jadi sarang ular. Dari bunker satu ke yang lain hanya berjarak sekitar 10 meter saja.

Menurut Nana, dulunya kawasan ini merupakan daerah bertebing, jadi bunker saat ini sebetulnya  terkubur longsoran tanah. Di bunker yang utuh, ada pintu di ruang di mana kita harus membungkuk saat memasukinya karena sedimentasi akibat longsoran di masa lalu.

"Saya kira tinggi bangunannya lebih dari 4 meter, panjang ruang dalamnya sekitar 10 meter, terbagi jadi 2 ruangan besar, di ujungnya cuma ada lubang bulat mungkin untuk sirkulasi udara, tidak ada pintu, cuma di depan pintunya," kata pria yang usianya lebih dari 60 tahun tersebut.

Goa Peteng berarti goa gelap. Jadi di Cicalengka ternyata ada juga bangunan-bangunan masa lalu yang masih bertahan. Selama ngubek-ngubek Cicalengka sejak dulu, jejak-jejak peninggalan masa lalu di Cicalengka cukup gelap. Jarang ada lihat bangunan tua bergaya kolonial yang tersisa, paling bangunan Stasiun Cicalengka saja dan satu dua rumah tua bergaya Eropa-Hindia Belanda.

Padahal, Cicalengka sejak tahun 1862 telah berstatus sebagai Ibu Kota Afdeling Bandung Selatan, dan memiliki Stasiun Kereta Api Cicalengka tahun 1884. Harusnya, banyak bangunan-bangunan masa Hindia Belanda di sekitar pusat keramaian Cicalengka.

Nyatanya bangunan tersebut bisa dihitung dengan jari. Lalu apa masih ada bangunan masa kolonial di sini? Kenapa sih dengan Cicalengka? Karena dalam beberapa pekan terakhir ini, nama Cicalengka mendadak jadi bahan "gunjingan" di dunia maya dan portal-portal berita online. Musababnya, ada petisi untuk mempertahankan bangunan Stasiun Kereta Api Cicalengka yang sarat sejarah. "Jangan robohkan Stasiun Cicalengka", tag line itu bergema saat pemerintah berencana untuk meremajakan bentuk bangunan stasiun dengan merobohkan stasiun lama.

Masyarakat pemerhati sejarah, pengguna kereta api komuter, khususnya warga Cicalengka yang memiliki romantisme atau kenangan terkait stasiun yang dibangun tahun 1884 itu tiba-tiba tersadar, kini tak banyak lagi bangunan peninggalan era kolonial, khususnya yang memiliki latar sejarah, di Cicalengka. Penetapan status benda cagar budaya pada bangunan-bangunan bersejarah di kawasan timur Bandung ini juga nyaris tak ada.

Rumah-rumah dan bangunan tua bersalin rupa jadi bangunan baru. Bahkan keberadaan gedung-gedung tua di Alun-Alun Cicalengka yang dulunya masih mengadaptasi kosmologi Jawa dalam penataan tata ruangnya, di mana selalu ditandai dengan keberadaan masjid agung, komplek pusat pemerintahan, dan lapang alun-alun, seperti hilang ditelan keriuhan zaman.

Beberapa pekan kebelakang, tepatnya tanggal 25 Juni 2023, saya beruntung dapat kesempatan menjelajah kota tua Cicalengka lewat program Aloen-Aloen Tjitjalengka Walking Tour bersama komunitas Tjitjalengka Historical serta sejumlah pegiat literasi dan pemerhati sejarah.

Pagi hari peserta berkumpul di sebuah rumah tua yang disebut Bumi Kapungkur. Rumah besar di Jalan Dewi Sartika, di Desa Cicalengka Kulon, itu terdiri dari dua bangunan. Satu bangunan utama dan satu di bagian sayap atau paviliun. Keduanya terhubung melalui selasar di samping rumah. Di dinding samping bangunan utama ada tulisan 1928, biasanya merujuk pada tahun pembuatan.

Rumah ini milik keluarga besar H.M Samhudi, seorang pengusaha di industri akar wangi dan ulat sutera. Kini ditempati oleh Sofia Riantini, salah seorang keturunannya. Konon, keluarga ini masih memiliki kekerabatan dengan Pahlawan Nasional Dewi Sartika. Rumah ini disebut memiliki gaya indische empire stijl, sebagian lagi menyebutnya memiliki gaya art deco.

"Dewi Sartika tidak pernah tinggal di sini, tapi menurut Uyut keluarga kita memang berkerabat dengan Dewi Sartika," kata Sofia, usai berbagi cerita dengan peserta walking tour.

Tak Ada Pendataan Cagar Budaya

Pemerhati sejarah, Atep Kurnia, juga hadir dan jadi salah satu pembicara. Sebelum memulai jalan-jalan menyusuri kawasan bersejarah di Cicalengka, saya sempat bertanya pada Atep apakah sudah ada pendataan terkait bangunan-bangunan dan lokasi bersejarah di Cicalengka.

"Belum, belum ada pendataan yang mendetail tentang benda atau bangunan cagar budaya di Cicalengka," kata penulis buku-buku sejarah tentang Bandung tersebut.

Dari Bumi Kapungkur rombongan dibagi dua dan lanjut berjalan kaki ke arah Alun-alun Cicalengka. Di simpang Jalan Dewi Sartika dan Jalan Raya Cicalengka, ada monumen berupa patung dada pahlawan pendidikan perempuan tersebut. Kecil saja ukurannya dan tak terlalu kentara keberadaannya.

BandungBergerak.id ikut rombongan pertama. Kami berjalan sampai ke Pasar Sehat Cicalengka, tujuannya adalah melihat sisa-sisa Gereja Santo Antonius. Dan yang tersisa adalah sebuah bangunan berbentuk kotak dengan tulisan “depot es balok”. Tak ada sisa-sisa bangunan bekas gereja sama sekali di sana. Gereja katolik yang dibangun 3 Mei 1931 dan diresmikan 13 Juni 1931 itu lenyap seperti tak pernah ada di Cicalengka.

Di seberang bekas lokasi gereja ada SDN V Cicalengka yang diduga dulunya adalah bekas asrama untuk anak laki-laki. Yayasan Camilus di bawah pimpinan Pastor J.H Goumans, mendirikan asrama ini untuk menampung dan merawat anak-anak miskin tanggal 12 Juni 1931. Asrama putri berada terpisah, yaitu di Jalan Anggrek, Kota Bandung.

Perjalanan dilanjut dengan menyusuri kawasan alun-alun menuju SMPN 1 Cicalengka di Jalan Dipati Ukur. Sekolah ini dulunya komplek kantor dan rumah tinggal Patih Afdeling Cicalengka. Dewi Sartika sempat tinggal di komplek ini antara tahun 1894 sampai 1902. Sedangkan Patih yang pernah tinggal di antaranya Demang Wiradi Koesoema antara tahun 1871-1874, dan Aria Soeria Karta Adiningrat antara tahun 1874 sampai 1901. Di komplek ini sempat berdiri Europeesche Lagere School, di antara lulusannya adalah tokoh nasional Ir H Djuanda dan Umar Wirahadikusumah. Kini bangunan aslinya sudah berganti jadi bangunan baru.

Rombongan lanjut ke Masjid Besar Cicalengka (masjid agung) yang ada di alun-alun. Masjid Besar ini jadi masjid tertua di Cicalengka. Saya tak dapat data pasti terkait tahun masjid ini berdiri. Dari data Komunitas Lingkar Literasi Cicalengka di BandungBergerak.id bulan September 2022, masjid ini diperkirakan dibangun pada abad ke-19. Arsitektur masjid ini sudah jauh berubah dibanding aslinya dulu. Kabarnya masjid ini akan kembali dibangun ulang dengan desain arsitektur yang baru.

Tak jauh dari masjid, ada bangunan SDN Cicalengka VIII. Dulunya merupakan sekolah Belanda untuk bumiputera atau Hollandsch Inlandsche School atau HIS. HIS di Cialengka mulai berjalan sejak tahun 1914, salah satu HIS yang masih ada sekarang menjadi SDN Cicalengka VIII.

Rombongan kembali berjalan membelah hiruk pikuknya jantung kota Cicalengka yang riuh dengan lalu lalang kendaraan dan pedagang kaki lima di trotoar jalan. Kali ini kita berhenti di rumah yang terkenal dengan nama rumah Dr Gofar. Lokasinya di Jalan Raya Barat Cicalengka. Di dinding depan rumah tertera angka anno 1920.

Rumah ini dulunya dikenal dengan nama Societeit Soekasari. Bangunan ini jadi seperti sebuah klub atau tempat berkumpulnya orang-orang Eropa dan para elite bumiputera. Rumah ini terawat baik, di pagar depan ada spanduk penawaran bila rumah ini dijual.

Kali ini rombongan berjalan lagi ke arah kantor Pegadaian. Masih di jalan yang sama, gedung pegadaian dengan dominasi warna hijau yang khas terlihat luas dan bersih. Di samping gedung utama ada bangunan besar berdinding putih mirip bangunan gudang tua.

Bangunan gudang yang dulunya merupakan Gouvernement Pandhuis (pegadaian Belanda) ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-19. Dibuktikan dengan adanya catatan transaksi gadai tahun 1898 atas nama F Klein, 1900 atas nama Bartstra, dan pelelangan tahun 1913.

Dari pegadaian kami menuju TK Al Mushinat atau Madrasah Fathoel Chair. Lokasinya berdekatan dengan monumen Dewi Sartika. Bangunan bersejarah ini berdiri tahun 1928. Didirikan oleh pengusaha keturunan Palembang yang tinggal di Cicalengka. Bangunannya terbilang masih utuh, walau di bagian samping banyak konstruksi kayunya sudah lapuk dimakan zaman.

15 Juli 1934, Nahdlatul Ulama Cicalengka mengadakan pertemuan umum di sini. 200 orang peserta yang hadir, termasuk polisi, Wedana, dan Camat Cicalengka. Pengurus cabang yang hadir antara lain Soetisna Sendjaja, Roehijat, Hoetami, dan H Naeman dari Tasikmalaya. Hasboelah dan Soelaiman dari Bandung, termasuk arsitek kenamaan Kemal Wolf Schoemaker, sang maestro art deco.

Walking Tour berakhir di kantor Kecamatan Cicalengka. Kantor kecamatan ini dulunya merupakan kantor dan kediaman Wedana. Kediaman Wedana ini lebih tua dibanding kediaman para Patih di masa lalu. Diperkirakan kantor sekaligus kediaman Wedana ini sudah ada sejak tahun 1813. Saat ini semua bangunan lamanya sudah berganti, kecuali selasar beratap di halaman belakang yang konon masih asli.

Beberapa bangunan tua bergaya Eropa yang masih utuh terlihat di sekitar Stasiun Cicalengka, dekat pintu perlintasan kereta api. Masih bagus dan terawat, sekarang jadi salah satu kantor PT KAI. Di seberang gardu pengatur perlintasan kereta juga masih ada bangunan tua yang sedang diperbaiki, tentu masih aset PT KAI.

Sementara di seberang sisi sebelah timur, bangunan tua Stasiun Cicalengka makin terancam keberadaanya dengan rangka baja menjulang bakal bangunan stasiun baru. Padahal, bangunan stasiun lamanya yang mungil itu bisa saja bersanding dengan yang baru, secara estetika pun tidak terlalu mengganggu.

Ternyata, kota kecil di timur Bandung bernama Cicalengka, Ibu Kota Afdeling Bandung Selatan yang sudah bergeliat sejak abad ke-19 ini seperti melupakan sejarah masa lalunya. Tak banyak yang bisa digali dari tinggalan-tinggalan berupa bangunan atau benda penanda bahwa sejarah pernah bergulir di Cicalengka. Jika masih ada pun satu per satu dirobohkan atau berubah bentuk jadi bangunan modern.

Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//