Melupakan Peran Penting PKL dengan Narasi Negatif dari Pemkot Bandung
Pemkot Bandung sudah lama mempraktikkan penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL). Ada akar masalah yang dilupakan.
Penulis Iman Herdiana26 Juli 2023
BandungBergerak.id - Kota Bandung tak salah jika disebut kota PKL (pedagang kaki lima). Sektor informal ini menjadi napas utama ekonomi warga di tengah sulitnya lapangan kerja formal. Meski demikian, para PKL kerap dinarasikan negatif. Mereka selalu menghadapi penertiban atau penggusuran, kebijakan paling dominan yang dijalankan Pemkot Bandung sejak berpuluh-puluh tahun.
Kebijakan penertiban, penggusuran, baik yang disertai relokasi atau tidak, tampaknya tidak membuahkan hasil maksimal. Kenyataannya jumlah PKL semakin banyak. Pascapenertiban di satu titik selalu muncul PKL-PKL baru di titik tersebut.
Pada 2014, di Bandung pernah berlaku kebijakan tidak populis berupa denda warga yang belanja ke PKL, mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung No 4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL.
Kebijakan tersebut berlaku di saat Kota Bandung dipimpin Ridwan Kamil. Langkah Kang Emil, demikian ia biasa disapa, menuai kritik dari anggota dewan yang menilai tidak efektif dan menunjukkan ketidakmampuan Pemkot Bandung dalam mengelola masalah PKL.
Contoh lain, pada 2016 para pedagang kaki lima di Jalan Oto Iskandardinata (Otista) menolak relokasi ke Pasar Baru lantai 12 yang dinilai akan pembeli. Motif PKL berjualan di Otista adalah mendekati pembeli, bukan menjauhinya.
Sanksi pidana ringan juga diberlakukan pada PKL. Jumat 12 Mei 2023, sebanyak 19 PKL menjalani sidang di Pengadilan Negeri Bandung terkait pelanggaran Perda No. 9 Tahun 2019 tentang Ketentraman Ketertiban Umum di Kota Bandung. Para PKL yang terbukti melanggar tindak pidana ringan ini didenda mulai 50.000-150.000 rupiah subsider 3-7 hari kurungan.
Di tengah atribut negatif yang disematkan kepada para PKL, Pemkot Bandung berusaha membangun narasi positif dengan klaim penertiban yang humanis, artinya mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Pada 31 Maret 2023, misalnya, penertiban 30 PKL dilakukan di zona merah sekitar Taman Regol yang diklaim berhasil karena menggunakan pendekatan humanis.
Plh Wali Kota Bandung Ema Sumarna pun mengimbau agar para aparat tetap menjaga wibawa meski pendekatan yang dilakukan secara humanis. Sebab kekuatannya bukan diperlihatkan dengan fisik, tapi dengan komunikasi.
“Harus diperkuat argumentasinya dengan beragam referensi. Harus memberikan solusi juga untuk masyarakat. Jangan sampai pemerintah itu dicap cuma bisa gusur saja,” kata Ema Sumarna, dikutip dari laman resmi, Rabu (26/7/2023).
Baca Juga: Problem di Balik Kecantikan Jalan Braga
Kekeringan Menghantui Bandung Raya
Mahasiswa UPI dan Unpad Menuntut Keringanan UKT
Melupakan Akar Masalah
Penanganan PKL yang dilakukan Pemkot Bandung cenderung tidak banyak terobosan berarti. Resmi Setia M dalam penelitiannya bersama peneliti AKATIGA tentang “Ekonomi Informal Perkotaan: Sebuah Kasus Tentang Pedagang Kaki Lima Di Kota Bandung” menyatakan, berbagai kebijakan penanganan PKL yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung, baik yang bersifat exclusion (penggusuran) maupun inclusion (tendanisasi), terbukti masih belum efektif mengatasi maraknya kegiatan perdagangan jalanan.
“Bahkan strategi yang dipilih, terutama penggusuran seringkali memunculkan persoalan lain, yaitu kerusuhan dan penurunan kualitas hidup,” tulis Resmi, diakses Rabu (26/7/2023).
Menurutnya, ketidakefektifan tersebut salah satunya terkait dengan persoalan praktis yaitu keterbatasan pemahaman pemerintah akan karakteristik dan tipologi PKL serta ketiadaan dokumentasi sistematis mengenai PKL. Kebijakan yang dibuat sering kali tidak didasari atas pemahaman yang tepat terhadap PKL dan cenderung mengabaikan kompleksitas permasalahan dan keterlibatan banyak aktor dalam kegiatan perdagangan kaki lima.
Resmi mencatat pendekatan penggusuran terhadap PKL di Kota Bandung sudah berlaku sejak tahun 1970-an. Misalnya yang mencuat, relokasi PKL di Jalan Dalem Kaum ke Pasar Kota Kembang. Namun tidak lama berselang, PKL baru bermunculan kembali di kawasan tersebut. Kondisi serupa terus terulang pada tahun-tahun berikutnya.
“Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Kota Bandung yang di dominasi oleh penggusuran dan relokasi masih kurang berhasil menahan PKL untuk kembali ke jalan,” catat Resmi.
Resmi memperkuat argumentasinya dengan penjelasan dari Bappeda Kota Bandung bahwa hanya sedikit dari sekian banyak kebijakan relokasi yang berhasil, salah satu relokasi yang dianggap cukup berhasil adalah pemindahan PKL produk fashion bekas di kawasan taman Tegalega ke pasar Gedebage, relokasi PKL di 7 titik ke Gerbang Marema jalan Kepatihan, dan relokasi PKL di jalan Supratman ke Taman Cilaki. Sedangkan contoh kebijakan relokasi yang dianggap gagal adalah relokasi PKL ke toko Ria di Tegalega dan Pertokoan Dezon di Alun-alun.
Selain relokasi, pemerintah juga melakukan strategi penggusuran atau penertiban. Sejak tahun 1970-an, pemerintah Kota Bandung tak henti-hentinya melancarkan operasi penertiban. Salah satu operasi penertiban yang cukup intensif dilakukan pada tahun 2005, di bawah kepemimpinan Wali Kota Dada Rosada.
Saat itu, pemerintah kota memfokuskan operasinya di 7 titik di pusat kota yang telah ditetapkan sebagai kawasan bebas PKL. Tujuh kawasan bebas PKL itu meliputi: (1) Alun-alun dan sekitarnya; (2) Jl. Dalem Kaum dan Jl. Dewi Sartika; (3) Jl. Oto Iskandar Dinata; (4) Jl. Merdeka; (5) Jl. Kepatihan; (6) Jl. Jenderal Sudirman; dan (7) Jl. Asia Afrika.
Hampir setiap hari Satpol PP Kota Bandung melakukan patroli dan penertiban di ketujuh kawasan tersebut. Sehingga sebagian PKL terpaksa memindahkan usahanya ke daerah pinggiran atau daerah lain yang jarang menjadi target penertiban. Namun sebagian lainnya nekad berjualan di kawasan tersebut dan memilih “kucing-kucingan” dengan petugas Satpol PP.
“Kenyataan ini menggarisbawahi bahwa tekanan ekonomi yang dialami PKL mampu mengalahkan berbagai upaya pemerintah untuk membatasi kegiatan usaha mereka,” lanjut Resmi.
Permasalahan PKL Kota Bandung tidak berdiri sendiri. Ada penyebab utama di balik maraknya para pedagang informal ini, yaitu sempitnya kesempatan kerja dan tingginya angka pengangguran. Kesenjangan antara kota dan desa juga turut menyumbang suburnya sektor-sektor informal.
“Peningkatan migrasi desa-kota yang tidak diimbangi dengan perluasan lapangan kerja formal ditambah dengan maraknya praktek korupsi dan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit serta perubahan tatanan ekonomi global yang mendorong praktek tenaga kerja fleksibel atau tenaga kerja informal berkontribusi terhadap berkembangnya kegiatan ekonomi informal perkotaan,” papar Resmi.
Sekarang kita tengok angka pengangguran di Kota Bandung. Jumlah penduduk Kota Bandung saat ini sekitar 2,5 juta jiwa dan terus meningkat setiap tahunnya. Dokumen Bandung dalam Angka 2022 menyatakan penduduk Kota Bandung didominasi usia produktif atau angkatan kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sekitar 70,52 persen penduduk Kota Bandung merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun). Angka pengangguran terbuka pada 2021 mencapai 11,46 persen dari total penduduk Kota Bandung sebesar 2.452.943 jiwa.
”Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Bandung tahun 2021 sebesar 11,46 persen. Ini berarti bahwa dari 100 penduduk yang termasuk angkatan kerja 11 orang di antaranya adalah pencari kerja (pengangguran),” demikian laporan Bandung dalam Angka 2022 yang dirilis BPS Kota Bandung.
Tingkat partisipasi angkatan kerja Kota Bandung sebesar 65,31 persen. Ini berarti bahwa dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas terdapat 65 orang yang termasuk angkatan kerja. Mereka dikelompokkan dalam sektor pertanian (7.819 laki-laki dan 1.224 perempuan), manufaktur (83.738 perempuan dan 184.721 laki-laki), dan sektor jasa paling mendominasi (539.698 laki-laki dan 368.423 perempuan).
Sementara itu, pada tahun 2005 jumlah PKL diperkirakan mencapai hingga 26.490 orang. Jumlah ini terlihat berkurang dibandingkan tahun 2015 dalam Data Jumlah PKL Per Kecamatan di Kota Bandung yang mencapai 22.359. Namun realisasi jumlah ini bisa lebih besar mengingat pendataan PKL tidak dilakukan secara berkala.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa penggusuran terhadap PKL tidak efektif di saat angka pengangguran terus membengkak. Jika mereka digusur lalu lapangan kerja tidak ada, mau bagaimana?