Menjelang 100 Tahun RSHS, Menengok Lagi Dokter-dokter Aktivis Pergerakan Nasional
Dahulu, para dokter terlibat dalam pergerakan nasional untuk membentuk bangsa yang merdeka dan mandiri.
Penulis Iman Herdiana19 Juli 2023
BandungBergerak.id - Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung akan genap 100 tahun pada 15 Oktober tahun ini. Rumah sakit yang dulu dikenal dengan nama RS Rantja Badak ini sekarang sudah ancang-ancang memperingati momen tersebut, dengan “Kick Off Peringatan HUT ke-100 RSHS” di Lapangan Upacara RSHS Bandung Senin (17/7/2023).
Menilik perjalanan panjang RSHS, secara tidak langsung berkaitan erat dengan sejarah pendidikan dokter di Indonesia, tepatnya ketika negeri ini masih dinamai Hindia Belanda. Dalam catatan sejarah tersebut, sejumlah dokter memiliki peranan penting dalam pergerakan nasional.
Kita ambil fase di saat berdirinya School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) atau sekolah dokter bumiputra. Stovia yang didirikan di Jakarta merupakan tonggak penting dalam perkembangan awal pendidikan kedokteran. Tak hanya itu, sejumlah pelajar di sekolah kedokteran ini juga terlibat aktif dalam pergerakan nasional.
Aktivisme mereka jauh keluar dari ranah kesehatan, melainkan terjun ke ranah sosial negeri terjajah. Para siswa Stovia banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional Indonesia, dr. Ciptomangunkusumo, dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Setiabudi (Douwes Dekker), dll.
Dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia yang disusun Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (1997) disebutkan bahwa Perkumpulan Stovia didirikan oleh dr. Soetomo. Stovia merupakan perhimpunan yang membidani Budi Utomo, organisasi yang tanggal pembentukannya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.
Dokter lainnya yang berperan pending dalam pembentukan Budi Utomo adalah dr. Wahidin Sudirohusodo. Sebelum R. Soetomo dkk. mendirikan Perkumpulan Budi Utomo, terlebih dahulu terjadi pertemuan antara dr. Wahidin Sudirohusodo dengan R. Soetomo dan M. Soeradji pada akhir tahun 1907, di dalam Gedung Stovia.
“Dalam pertemuan tersebut dr. Wahidin banyak mengemukakan tentang ide-ide untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui "st udiefonds" (dana pendidikan). Kalau bangsa sudah cerdas maka banyak wawasan yang timbul, sehingga tidak mudah untuk diadudomba dan diatur oleh pihak penjajah,” demikian dikutip dari buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (SPNI).
Para pelajar Stovia menjadi tercerahkan sejak diterapkannya Politik Etis di Hindia Belanda. Meski memiliki latar belakang di bidang ilmu kesehatan, golongan elite intelektual ini merasa perlu terjun ke dalam pergerakan nasional untuk menentukan nasib sendiri sekaligus melawan penjajah.
“Soetomo dan para pelajar Stovia telah tertanam rasa nasionalisme, untuk berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan bahwa para pelajar Stovia telah banyak mengetahui perjuangan di negara-negara lain, melalui berbagai buku bacaan yang diperolehnya” (SPNI).
Untuk melanjutkan gagasan dr. Wahidin dan R. Soetomo tentang pentingnya organisasi pergerakan nasional, R. Soetomo dengan M. Soeradji mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan pelajar Stovia lainnya. Pertemuan ini diselenggarakan secara non-formal
pada hari senggang (tidak ada pelajaran) dengan mengambil tempat di salah satu ruang di Ruang Anatomi Stovia.
“Hasil pertemuan itu sangat positif dan berhasil mendirikan organisasi yang diberi nama "Perkumpulan Budi Utomo",” (SPNI).
Dalam perkembangannya, Budi Utomo dinilai lamban atau kurang radikal. Anggota Budi Utomo yang lebih militant kemudian keluar dari keanggotaannya, antara lain Cipto Mangunkusumo yang juga seorang dokter, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
“Mereka ini menginginkan gerakan yang militan dan langsung bergerak dalam bidang politik. Budi Utomo bukan tidak mau bergerak dalam bidang politik, tetapi tidak boleh terlalu cepat. Sebab sejak awal tujuan Budi Utomo pada prinsipnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi masih banyak segala sesuatu yang diperlukan dan harus tetap
bekerjasama dengan pihak pemerintah. Lebih baik "Biar lambat asal selamat daripada hidup sebentar mati tanpa bekas," (SPNI).
Baca Juga: Menanggapi Surat Relaas dari Pengadilan, Warga Dago Elos Merumuskan Ulang Strategi Perlawanan
Ketika Para Perempuan Pedagang Pasar Banjaran Menghalau Ekskavator
Mengais Sisa-sisa Kenangan di Bioskop Regent
Gedung Stovia
Gedung Stovia pada masanya menjadi tempat pertemuan para tokoh pergerakan nasinal untuk membahas perjalanan kebangsaan. Dalam Laporan Kegiatan Kajian Sejarah Stovia yang disusun Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Kebangkitan Nasional 2014 disebutkan, Gedung Stovia dibangun pada tahun 1899 di atas tanas seluas 15.742 meter persegi.
Pembangunan gedung ini diprakarsai oleh Direktur Sekolah Dokter Jawa Dokter H.F. Rool. Gedung Stovia dibangun menyerupai tangsi militer, karena perencanaan dan pembangunannya dilakukan oleh Korps Zeni Militer.
Gedung Stovia terletak di Hospitaalweg - Gang Menjangan (kemudian menjadi Jl. Abdurrahman Saleh No. 26, Kampung Ambon, Kelurahan Senen, Kecamatan Senen, Wilayah Jakarta Pusat). Pada 20 Mei 1974, gedung ini diresmikan sebagai Gedung Kebangkitan Nasional (dinaskebudayaan.jakarta.go.id).
Laporan tersebut mencatat bahwa bulan September 1901 gedung Stovia sudah siap digunakan untuk kegiatan pendidikan kedokteran dan asrama pelajar, tetapi baru pada tanggal 1 Maret 1902 gedung tersebut secara resmi mulai digunakan. Penundaan penggunaan gedung Stovia karena banyak pelajar kedokteran yang terserang penyakit beri-beri dan kolera.
Pelajar Stovia diharuskan tinggal dalam asrama yang menerapkan disiplin sangat ketat, semua kegiatan sudah terjadwal sejak pagi sampai malam hari di bawah pengawasan pengurus asrama yang disebut suppoost. Kehidupan dalam asrama Stovia yang penuh dengan suka dan duka menimbulkan rasa persaudaraan di antara sesama penghuninya, karena interaksi yang terjalin secara rutin dalam suatu tempat dan dalam waktu yang lama akan memunculkan rasa kebersamaan.
“Perbedaan suku, bahasa, agama dan budaya yang ada dalam diri pelajar Stovia melebur menjadi kesadaran akan persamaan nasib yang kemudian terus berkembang menjadi kesadaran bersama sebagai satu bangsa,” demikian laporan Laporan Kegiatan Kajian Sejarah Stovia.
Kesadaran sebagai satu bangsa inilah yang membuat sebagian pelajar Stovia memilih untuk bersikap radikal terhadap pemerintah kolonial meskipun resiko yang harus ditanggungnya cukup besar. Pelajar Stovia mulai merumuskan bentuk perjuangan baru untuk membebaskan masyarakat dari penderitaan, karena perjuangan yang dilakukan selama ini masih mengalami kegagalan.
Demikian sejarah singkat para dokter aktivis pergerakan nasioal yang mewarnai perjalanan sejarah kedokteran Indonesia, termasuk para dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang kini siap menyongsong 100 tahun RSHS.