• Berita
  • Festival Kampung Kota Dago Elos: Mengarusutamakan Kelas Buruh melalui Media Alternatif

Festival Kampung Kota Dago Elos: Mengarusutamakan Kelas Buruh melalui Media Alternatif

Kelas buruh tidak memiliki modal besar untuk menuntut hak-hak dasarnya. Mereka memiliki militansi dengan corong media alternatif.

Festival Kampung Kota 3 saat menggelar diskusi Media Alternatif dan Perebutan Wacana di Balai RW Dago Elos, Bandung, Kamis (27/7/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul29 Juli 2023


BandungBergerak.idAksi-aksi buruh kadang kurang mendapat tempat di media arus utama. Dalam beberapa pemberitaan terkait aksi buruh, narasi yang dimunculkan justru tak berkaitan dengan tuntutan mereka. Yang disoroti justru masalah kemacetan, misalnya. Sementara tuntutan utama para buruh sendiri malah tak tersampaikan.

Jengah dengan pemberitaan yang tidak menyuarakan suara buruh, tahun 2018 media alternatif yang fokus dengan isu perburuhan lahir. Trimurti.id namanya. Baskara Hendarto dari Trimurti.id menyampaikan, buruh menghadapi relasi yang timpang di perusahaan. Perusahaan bisa dengan mudah membayar atau memfasilitasi HRD untuk melawan tuntutan para buruh. Sedangkan buruh hanya memiliki militansi dan harapan.

“Nah itu makanya kita berdiri sebagai corong, pengeras suara buruh. Karena kita percaya kelas buruh itu bukan subjek yang dia diam dan gak berdaya. Dia juga melawan. Nah, makanya itu Trimurti ada untuk ngasih ruang itu, biar buruh bisa merebut ruang publikasi,” ungkap Baskara Hendarto yang karib disapa Darto, pada diskusi tentang “Media Alternatif dan Perebutan Wacana” di Festival Kampung Kota 3, di Balai RW Dago Elos, Kamis (27/7/2023).

Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara yang mewakili media alternatifnya masing-masing. Tri Joko Her Riadi dari BandungBergerak.id, Mahendra dari Arah Juang, dan Baskara Hendarto dari Trimurti.id. Diskusi yang dilaksanakan pada malam hari itu dimoderatori oleh Syawahidul Haq.

Darto menjelaskan, media alternatif perlu menandingi media arus utama. Media arus utama cenderung mengontrol persoalan yang mendatangkan profit, bagaimana cara mendatangkan klik, menjangkau audiens lebih banyak agar mendulang keuntungan yang lebih besar. Namun hal-hal ini menghasilkan berita yang kedalaman informasinya kurang.

Selain itu, media arus utama tidak terlalu maksimal memberitakan kondisi sebenarnya orang-orang yang terpinggirkan atau bahkan cenderung mengeksploitasi. Darto menegaskan, Trimurti melakukan sebaliknya. Trimurti memandang para narasumber sebagai subjek utuh yang telah mengalami pergolakan dalam hidupnya.

Ia juga berpendapat perlu ada media alternatif yang berani mengangkat cerita orang-orang yang terpinggirkan, para korban dari modernisme. Sebab, media arus utama dipandang meromantisasi pembangunan kota, modernisasi sebagai hal yang wajar.

“Padahal di balik setiap cerita itu ada orang-orang yang terusir, ada orang-orang yang hilang ruang hidupnya, hilang lahannya bahkan hilang harkat dan martabatnya. Itu yang jarang sekali diceritakan,” terang Darto.

Mahendra dari Arah Juang juga mengungkapkan bahwa iklim media arus utama dimiliki oleh orang-orang yang berkuasa. Media-media besar bisa ditelusuri bergabung dengan grup media apa dan dimiliki oleh siapa. Karena penguasaan modal yang dimiliki oleh penguasa, membuat media arus utama melahirkan berita yang menyokong kekuasaan. Menurutnya, hal ini memang tidak terlihat kentara, namun bisa dilihat secara eksplisit.

Media yang dimiliki oleh penguasa melahirkan permasalahan besar, yaitu penindasan. Sebab menurut Mahendra, penindasan tidak harus selalu dilakukan menggunakan senjata atau sepatu boots. Tapi bisa juga dilakukan dengan mengontrol isi kepala masyarakat. Media arus utama memiliki jaringan yang luas, dari televisi hingga digital dan mudah dilahap oleh orang banyak. Yang celaka adalah ketika masyarakat hanya melahap informasi dari satu corong.

“Karena pikirannya dikontrol maka bicara persoalan keadilan, pembebasan, berbicara soal penghargaan hak asasi manusia dan segala macamnya akan semakin sulit. Itu aku pikir yang menjadi problem dari media mainstream,” terang Mahendra.

Mengejar Cepat Mengorbankan Kedalaman Informasi

Tri Joko Her Riadi dari BandungBergerak.id menilai iklim media saat ini tidak sehat. Salah satunya karena mengejar kecepatan dan kuantitas, tapi menanggalkan kedalaman informasi. Ia menyebut, ketika jurnalis media arus utama harus mencari lima hingga 10 berita per hari, jurnalis tidak punya waktu di lapangan untuk berpikir, membaca situasi, mencari tau latar belakang persoalan, mencari data, apalagi menentukan keberpihakan.

“Dan kalau beradu banyak, produk yang dihasilkan, informasi yang dihasilkan ya tanda kutip akan seadanya. Itu kenapa siaran pers dengan mudah dalam hitungan jam bisa tayang di puluhan media online,” jelas Joko.

Kondisi seperti ini yang persis terjadi di Bandung. Siaran pers pemerintah dalam hitungan jam tayang di berbagai media online. Persoalannya adalah masyarakat mendapatkan informasi versi cepat yang bersumber dari pemerintah, dari penguasa. Masyarakat melahap satu informasi yang sama, meski memperolehnya dari media yang berbeda dengan judul yang berbeda.

Joko menegaskan, karena persoalan inilah perlu hadir media alternatif. Media alternatif yang meskipun berat dalam perjalanan pengembangannya, setidaknya ia diniatkan untuk memberikan informasi dengan perspektif yang berbeda, yang lebih komplet.

“Atau bahkan justru sebaliknya dengan perspektif yang bukan dari atas, tapi dari perspektif yang dari bawah. Mendengarkan warga, mereka yang terdampak, yang menjadi korban,” ungkapnya.

Namun begitu, media alternatif menghadapi jalan terjal untuk keberlanjutannya. Joko menyebutkan tantangan yang paling sulit dihadapi adalah menciptakan dampak. Meskipun media alternatif dalam banyak hal memiliki keterbatasan, seperti SDM hingga pendanaan, namun harus mengupayakan apa pun yang dilakukan berdampak bagi publik. Upaya untuk berdampak dilakukan dengan menghasilkan produk yang sebaik-baiknya.

“Artinya ada tanggung jawab untuk terus belajar, terus membaca yang disukai audiens seperti apa. Pada akhirnya harus bertanggung jawab dengan terus belajar,” ungkap Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung ini.

Joko menambahkan, media alternatif tetap harus relevan dengan publik dan harus berdampak. Meskipun dampaknya kecil dan penilaian mengenai dampak bisa bermacam-macam. Maka dari itu, ia menghimbau kepada publik untuk tidak memandang media alternatif tinggi. Media alternatif lahir untuk audiens dan butuh bantuan dari audiens.

“Media alternatif itu lahir untuk audiens, sehingga justru butuh banyak bantuan dari teman-teman semua, butuh dukungan entah ide, tulisan, atau entah apa pun itu. Artinya menjadi media alternatif sejak awal memang justru pengIn bukan untuk eksklusif, tapi menjadi inklusif,” tutupnya.

Foto yang dipajang di Balai RW 02 Dago Elos, Bandung, mewarnai Festival Kampung Kota 2023, Rabu (26/7/2023). (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak.id)
Foto yang dipajang di Balai RW 02 Dago Elos, Bandung, mewarnai Festival Kampung Kota 2023, Rabu (26/7/2023). (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Kokom Komalasari di Dago Elos: Sudah Waktunya Buruh Mengabarkan Pengalaman dan Perjuangan Mereka Sendiri!
Festival Kampung Kota 3: Dago Elos Melawan Klaim Investor dengan Solidaritas
Haris Azhar Menyemangati Warga Dago Elos untuk Terus Melawan Mempertahankan Tanahnya

Berdampak bagi Publik

Arah Juang merupakan koran pergerakan yang diterbitkan oleh Pergerakan Sosialis. Hingga kini, Arah Juang masih mengeluarkan koran cetaknya. Mahendra menjelaskan bahwa distribusi yang dilakukan selalu berhubungan erat dengan perkembangan gerakan. Dengan distribusi koran secara langsung mereka bisa bertemu massa, menjelaskan, mengajak, hingga meyakinkan orang untuk melakukan gerakan.

“Karena berhubungan dengan pengorganisiran, itu berhubungan dengan pembangunan gerakan. Itu yang menurut kita sampai sekarang tidak bisa diganti dengan yang digital, apalagi yang media sosial,” jelasnya.

Meski ketika pandemi, Arah Juang sempat membuat Youtube dan Spotify karena kondisi yang memang tidak memungkinkan melakukan interaksi langsung. Mahendra menyebutkan bahwa kenyataan-kenyataan materialistik seperti penindasan, eksploitasi, penggusuran, PHK sewenang-wenang dan lainnya hanya bisa diubah dengan kekuatan material pula.

“Ide yang disebarkan oleh media alternatif juga bisa jadi kekuatan material hanya ketika ide itu digenggam dan diyakini oleh massa. Ide yang diperjuangkan oleh Arah Juang untuk memperjuangkan pembebasan dirinya,” tegas Mahendra memberikan pernyataan penutup diskusi.

Adapun Darto dari Trimurti menyebutkan, media alternatif bertarung dengan persoalan publikasi. Media arus utama punya banyak medium dan menguasai banyak kanal. Namun begitu, media alternatif selalu berupaya agar informasi yang disampaikan dapat dilahap oleh orang banyak.

Ga apa-apa gak jadi dampak besar, tapi minimal dia dibicarakan bahwa itu adalah masalah,” ungkap Darto.

Ia menceritakan perihal salah satu cerita buruh dari Majalaya yang tayang di Trimurti. Cerita itu membahas soal mendapatkan pekerjaan dengan cara harus membayar ke sejumlah calo. Setelah cerita itu tayang, ia menjadi buah bibir bagi buruh-buruh pabrik dan menyadarkan mereka bahwa hal yang dianggap biasa merupakan sebuah permasalahan.

Hak hidup layak menjadi hak semua orang tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Darto menjelaskan bahwa Trimurti sejak awal diniatkan sebagai ruang publik untuk semua orang. Semua orang bisa bercerita, mengkritik, mengeluarkan pendapat dan berdialog dengan bebas.

“Silakan bercerita sebanyak-banyaknya, karena kami cuma yakin dengan baca, sebar maka kita akan melawan,” ungkap Darto menutup diskusi.

Festival Kampung Kota merupakan acara rutin di Dago Elos, tanahnya yang berpuluh tahun didiami warga Bandung namun diklaim oleh pengusaha yang mengaku ahli waris zaman kolonial Belanda. Festival ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ancaman penggusuran oleh pengusaha.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//