• Opini
  • Bagaimana Omnibuslaw Mencekik Buruh, Pelajar, dan Mahasiswa?

Bagaimana Omnibuslaw Mencekik Buruh, Pelajar, dan Mahasiswa?

Omnibus Law memberikan jalan tol bagi investor. Sebaliknya, jalan terjal bagi buruh maupun calon buruh dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

Kokom Komalawati

Aktivis buruh perempuan, penulis cerita-cerita buruh, bisa dihubungi di [email protected] atau X @Kokom Komalawat1

Aliansi Buruh Bandung Raya memperingati Hari Buruh Internasional di bawah Jembatan Cikapayang, Bandung, Senin (1/5/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

23 Agustus 2023


BandungBergerak.id“Selama ini saya kerja mati-matian. Arti sakit buat saya adalah kalau sudah nggak bisa bangun. Sakit-sakit biasa mah saya tetap kerja buat masa depan anak, agar bisa kuliah. Walaupun saya buruh, anak saya harus bisa sekolah tinggi,” kata seorang kawan buruh, kepada saya.

Obrolan tersebut terjadi beberapa tahun lalu ketika dia, kawan saya itu, berniat memasukkan anaknya ke salah satu perguruan tinggi.

“Teh ada info loker ngak?” tanya dia, ketika saya bertemu kembali dalam satu kesempatan sekitar  bulan Mei 2023lalu.

“Buat siapa emang, bang?” jawab saya. 

“Buat anakku, susah banget nyari kerja. Pusing saya sudah ngelamar ke mana-kemana.”

Ketika kami bertemu kembali di acara diskusi dengan SP/SB (Serikat Buruh/Serikat Pekerja) Banten, sambil menunggu acara dimulai iseng saya bertanya kabar anaknya: 

Gimana anaknya bang, sudah kerja belum?”

“Sudah teh, alhamdulilahlah walaupun kontrak enam bulan. Gajinya cuma 3.500.000 (rupiah) teh, nggak ada uang lain-lain lagi.”

“Tapi mendinglah teh minimal ada buat jajan dia sendiri dan beli pulsa. Nggak ngandelin bapaknya mulu,” lanjut kawan saya. 

Anak kawan saya lulusan S1 jurusan manajemen. Saya ingat betul cerita waktu pertama memasukkan kuliah anaknya biaya per semester sekitar 4.000.000 rupiah. Total uang yang harus disediakan di awal masuk kuliah sekitar 12 sampai 13 jutaan rupiah.

Waktu itu temen saya menggadaikan kebunnya di kampung. Selain memasukkan anak pertamanya kuliah, ia juga harus menyekolahkan anak keduanya yang masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Untungnya kontrakanku sudah dibayar, jadi agak tenanglah. Sekarang istriku kerja juga, ngasuh anak tetangga lumayan buat bantu-bantu,” katanya, diiringi derai tawa.

Perjuangan Menolak Omnibus Law

Curhatan teman saya di atas membawa ingatan saya pada perjuangan penolakan Omnibus Law (UU Cipta Kerja) yang sampai hari ini masih terus dilakukan. Saya tidak ingat pasti sudah berapa kali saya mengikuti aksi menolak Omnibus Law ini. Seingat saya antara 30 sampai 40 kali.

Kalau tidak salah, aksi penolakan Omnibus Law berdekatan dengan aksi penolakan revisi UU KPK pada akhir tahun 2019. Nama Omnibus Law sendiri berubah-ubah, mulai dari UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan saat ini menjadi UU Cipta Kerja No 6 tahun 2023.

Gelombang aksi yang terus menerus dilakukan berbagai elemen rakyat baik buruh, mahasiswa, kaum tani, pemerhati lingkungan, dan banyak lagi tidak membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gentar. Justru aksi-aksi penolakan yang dilakukan diberbagai daerah dianggap angin lalu. Pada 5 Oktober 2020 DPR mengetok palu, mensahkan UU Cipta Kerja no 11 tahun 2020.

Pasca-DPR mensahkan UU CIpta Kerja, beberapa organisasi buruh, buruh migran dan lainya, melakukan judicial reviuw dan hasilnya melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 tahun 2021 menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja no 11 tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. MK meminta pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.

Bukannya diperbaiki, pada  2 Februari 2021 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan aturan turunan dari UU Cipta kerja yaitu  44 Peraturan Pemerintah dan empat Peraturan presiden, lima di antaranya adalah peraturan pemerintah untuk kluster ketenagakerjaan, yaitu:

  1. Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2021 tentang Pengunaan Tenaga Kerja Asing;
  2. Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja, Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja;
  3. Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan;
  4. Peraturan Pemerintah nomor No 37 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

“Nih aturan membangongkan yah. Masa buat dapat dua kali ketentuan harus meninggal dulu,” komentar Dewi, salah seorang buruh, pada saat diskusi mengenai PP 35 di bulan Maret 2021. 

“Sakit hati banget sih sama rezim ini rasanya pengen &*%$$$. Kok buruh nih bener-bener cuma jadi sapi perah pengusaha dan pengusaha,” timpal Sari, buruh lainnya, terlihat ekspresi marah di wajahnya. 

Adalah wajar kalau kawan-kawan buruh kecewa, marah atas aturan tersebut, dan memang sudah seharusnya marah karena Omnibus Law atau UU Cipta Kerja ini telah merampas habis hak-hak buruh.

Akhir tahun 2022 Presiden Jokowi memberikan hadiah tahun baru kepada rakyat Indonesia khususnya kaum buruh berupa Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja Nmor 2 tahun 2022. Kalau dilihat dari aspek norma administrasi publik, dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja merupakan bukti bahwa pemerintah tidak memiliki niat baik untuk mematuhi Putusan MK Nomor 91 Tahun 2020, dalam hal ini pemerintah sudah melecehkan Mahkamah Konstitusi.

Jokowi-Ma’ruf berdalih bahwa keluarnya Perppu Cipta Kerja karena alasan kemendesakan, di mana dunia sedang dihadapkan krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim. Tujuan utama dari Perppu Cipta Kerja agar investor dari luar negeri datang ke Indonesia. Perppu Cipta Kerja diharapkan memberikan kepastian hukum kepada para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia (Kompas.com, 8 Januari 2023).

Di bagian “menimbang” Perppu Cipta Kerja pun ditujukan untuk membuka lapangan kerja; dan menghadapi tantangan global berupa kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), dan terganggunya rantai pasokan (supply chain), penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan inflasi global.

Secara keseluruhan Perppu Cipta Kerja memberi karpet merah pada investor asing untuk menguasai sumber daya di Indonesia, mulai dari tanah, lingkungan, dan buruh. Investor akan mudah menguasai lahan tanpa harus memenuhi prasyarat wajib izin lingkungan. Di sisi lain, regulasi ini merugikan buruh, upah murah, dan berdampak pada terampasnya hak atas kesehatan dan pendidikan mereka. 

Dalam seluruh cerita pendirian pabrik manufaktur maupun tambang serta minyak dan gas, analisis mengenai dampak lingkungan seringkali menjadi persoalan penting. Karena berkaitan dengan udara dan air bersih. Namun, Perppu Cipta Kerja menjadikan persyaratan tersebut sebagai pelengkap saja. 

Sedangkan isi dari kluster ketenagakerjaan secara umum menganut dan melegitimasi rezim pasar kerja fleksibel. Rezim pasar kerja fleksibel adalah sisi lain dari kepentingan modal untuk mengeruk untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Ciri utama rezim pasar kerja fleksibel adalah:

1. Kemudahan merekrut. Berarti ketersediaan tenaga kerja siap pakai dengan keahlian yang memadai. Kemudahan merekrut tenaga kerja terampil diserahkan kepada pemerintah dan swasta. Hal ini tecermin dalam pasal-pasal yang mengatur penyedia jasa tenaga kerja alias yayasan outsourcing (alih daya), lembaga-lembaga pelatihan tenaga kerja dan pemagangan.

2. Mudah memecat. Pasal-pasal kemudahan memecat terlihat alasan-alasan melakukan PHK dalam Pasal 151 hingga 152. Misalnya disebutkan alasan melakukan PHK dengan alasan indisipliner dan perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.

3. Kemudahan melakukan merekrut dan memecat pun terlihat dalam hubungan kerja waktu tertentu dengan iming-iming akan mendapat kompensasi. Padahal pasal PKWT dengan kompensasi justru memberikan peluang kepada pengusaha untuk mempekerjakan buruh menjadi buruh kontrak seumur hidup dengan kompensasi alakadarnya.

4. Pengupahan fleksibel. Sistem pengupahan dalam Perppu Cipta Kerja berlandaskan prinsip no work no pay dengan dua mekanisme, yaitu upah satu waktu dan upah satuan hasil.

5. Melemahkan sistem pengawasan dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada pengusaha. Beberapa cirinya terdapat dalam pasal-pasal PHK. Misalnnya disebutkan, PHK tidak perlu diberitahukan jika atas kemauan sendiri, putus kontrak, mencapai usia pensiun. Dalam praktik, alasan PHK dengan kemauan sendiri menggunakan mekanisme ‘tawaran pensiun dini’, ‘sistem kontrak yang berulang’, dan ‘tawaran pengunduran diri’.

6. Hak pesangon dipotong total sampai 65 persen berupa 15 persen uang jasa dan 50 persen  uang pesangon.

7. Upah sektoral dihilangkan dan jam kerja panjang. 

8. Aturan lembur dalam Undang-undang Cipta Kerja menjadi lebih panjang dimana sebelumnya aturan jam lembur adalah tiga jam sehari dan 14 jam seminggu, saat ini menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. 

Walaupun jam lembur dalam prakteknya lembur sama wajibnya dengan jam kerja biasa, jam kerja panjang selain membahayakan kesehatan juga merugikan bagi buruh perempuan.

9. Penetapan kenaikan upah melalui Inflasi dan Pertumbuhan ekonomi dimana kenaikan upah berkisar antara 6-11 persen. Bahkan di saat pandemi beberapa wilayah tidak ada kenaikan upah. Tabel dibawah adalah dafatar kenaikan upah Kota Tangerang:

Tahun

Persentase kenaikan

Nominal Kenaikan

Aturan yang dipakai

2012

18,3 %

Rp. 237.000

 

Kepmenaker 17/2005

UU 13/2003

2013

44,2 %

Rp. 676.000

2014

10,9 %

Rp. 241.301

2015

11,5 %

Rp. 285.699

2016

11,6 %

Rp. 313.950

 

 

PP 78/2015

2017

8,25 %

Rp. 254.125

2018

8,71 %

Rp. 287.000

2019

8,03 %

Rp. 287.641

2020

8,51 %

Rp. 249.312

2021

1,5 %

Rp.    63.000

Omnibus Law / PP 36/2021

2022

0,56 %

Rp.    23.783

2023

6,97 %

Rp. 387.727

Permenaker 18/2022

Baca Juga: Buruh CV Sandang Sari Berulang-ulang Digugat oleh Perusahaan Sendiri
May Day 2023 di Bandung: Persoalan Buruh masih Laten, Kelas Pekerja Harus Bersatu
Kokom Komalasari di Dago Elos: Sudah Waktunya Buruh Mengabarkan Pengalaman dan Perjuangan Mereka Sendiri! 

Upah Padat Karya Dilegalkan

Setelah UU Cipta Kerja disahkan kembali pada Maret 2023, Kemenaker mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 5 tahun 2023 tentang penyesuaian waktu kerja dan pengupahan pada perusahaan industri padat karya yang berorientasi ekspor.

Permenaker ini berlaku bagi lima sektor usaha padat karya yang berorientsi ekspor di antaranya adalah industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, industri kulit dan barang kulit, mainan dan furnitur.

Isi dari Permenaker No 5/2023 ini adalah pengusaha tersebut diatas dibolehkan memotong upah sebesar 25 persen selain boleh juga merubah waktu kerja. Kebijakan di luar nalar kenaikan upah tahun 2023 paling tinggi sebesar 7 persen tetapi dirampas kembali dengan kebijakan baru di mana pengusaha bisa memotong upah sampai 25 persen.

Kemudahan Melakukan PHK

Dalam undang-undang sebelumnya, UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 menyebutkan PHK yang dilakukan pengusaha harus melalu penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun dalam UU Cipta Kerja pemerintah memberikan kemudahan dalam proses PHK. Dalam aturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2021 menyatkaan, pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada buruh dan/atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Untuk buruh dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK. 

Status Kerja

“Manfaat yang diterima antara lain pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mendapatkan uang kompensasi setelah kontrak kerja berakhir. Status PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap,” ujar Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga (Tagar, Kamis, 15 Oktober 2020).[1]

Uang kompensasi bagi buruh kontrak menjadi jualan pemerintah dalam membantah kritikan dari pihak-pihak yang menolak UU Cipta kerja. Kompensasi yang ditawarkan bagi buruh kontrak tercantum dalam Peraturan pemerintah No 35 tahun 2021 pasal 15 yang berbunyi, “ Pengusaha wajib memberikan kompensasi bagi buruh yang hubungan kerjanya PKWT”. Hal ini juga tercantum UU Cipta Kerja No 2 tahun 2020.

Yang harus digarisbawahi adalah bahwa dalam batas waktu PKWT atau kerja kontrak dalam UU Cipta Kerja lebih panjang dibandingkan aturan sebelumnya. Dalam UU Ketenagakerjaan batas waktu kerja kontrak adalah tiga tahun, sedangkan dalam UU Cipta Kerja menjadi 10 tahun.

Panjangnya batas waktu kerja kontrak memberikan keutungan bagi pengusaha, karena hanya memberikan uang kompensasi yang nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan uang pesangon yang harus diterima buruh tetap.

Batas waktu PKWT yang panjang juga berpotensi menghilangkan hak-hak reproduksi buruh perempuan, dengan status kerja buruh kontrak/outsourcing bisa dijadikan alasan bagi pengusaha untuk memutus kontrak.

Sejak dilahirkannya Undang-undang Cipta Kerja banyak perusahaan yang melakukan PHK terhadap buruh tetap dan menganti status buruh menjadi buruh kontrak atau buruh harian lepas.

Status kerja kontrak, alih daya yang ditetapkan dalam UU Cipta Kerja bukan hanya merugikan buruh tetap karena akan memudahkan terjadinya PHK, tapi juga mengancam keberadaan serikat buruh karena dengan status buruh kotrak membuat buruh takut menjadai anggota serikat buruh.

Yang tidak bisa diabaikan adalah aturan ini juga menjadi ancaman bagi pelajar atau mahasiswa yang akan memasuki dunia kerja, di mana lapangan kerja yang tersedia adalah lapangan kerja dengan status kontrak/outsourcing.

"Yang jelas dengan Omnibus ini akan menciptakan lapangan kerja kalau kami hitung kira-kira 3 juta lapangan kerja tambahan," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Bunsar Panjaitan (cnbcindonesia.com, Rabu (29/1/20).

Omnibus Law atau UU Cipta Kerja akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan seperti pernyataan Luhut Binsar Panjaitan mungkin benar. Tetapi yang tidak disampaikan adalah bahwa buruh diera Omnibus Law adalah buruh dengan upah murah, jam kerja panjang dan tidak ada kepastian kerja.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//