• Cerita
  • Kokom Komalasari di Dago Elos: Sudah Waktunya Buruh Mengabarkan Pengalaman dan Perjuangan Mereka Sendiri!

Kokom Komalasari di Dago Elos: Sudah Waktunya Buruh Mengabarkan Pengalaman dan Perjuangan Mereka Sendiri!

Di era media sosial ini semua orang bisa bercerita. Para buruh bisa menceritakan penindasan di pabrik. Mahasiswa bisa menuliskan mahalnya UKT.

Foto-foto yang dipajang di Balai RW 02 Dago Elos, Bandung, mewarnai Festival Kampung Kota 2023, Rabu (26/7/2023). (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya28 Juli 2023


BandungBergerak.idSatu pertanyaan dilemparkan kepada audiens, “mengapa buruh perlu mengabarkan pengalaman dan perjuangan mereka sendiri?” Kokom Komalasari, penulis buku “Buruh Menuliskan Perlawanannya”, menjelaskan bahwa alasan paling utama adalah karena riuhnya industri media acap kali mendiskreditkan buruh dalam pemberitaannya.

Lalu, mantan buruh di PT. Panarub Dwi Karya, salah satu pabrik sepatu untuk brand Adidas, itu juga menjelaskan bahwa cerita-cerita dari dalam pabrik, yang sering kali dianggap lumrah oleh para buruh, nyatanya penting untuk diketahui oleh khalayak umum. Masih banyak masyarakat yang belum tahu kalau di pabrik buruh yang hamil masih diharuskan lembur, upah tidak sesuai dengan aturan, hak cuti dipersulit, dan izin keperluan mendadak seperti ada keluarga yang meninggal, masih tidak mudah didapat.

“Kata orang-orang di Tanggerang, kalau kerja di Panarub keren. Karena mereka nggak tau penindasannya kayak gimana,” terang Kokom.

Masih dalam rangkaian Festival Kampung Kota, Dago Elos, Bandung, Rabu (26/7/2023), topik terkait Jurnalisme Kelas Pekerja dibahas dengan apik. Selain Kokom Komalasari, Adi Marsela, pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI), juga ikut serta. Bertempat di Balai RW Dago Elos, Awla Rajul dari BandungBergerak.id memandu jalannya diskusi yang membahas urgensi buruh menulis cerita mereka sendiri.

Kokom menganggap bahwa kasus perburuhan adalah kasus kemanusiaan. Perempuan kelahiran Bandung ini mengambil contoh kasus PHK. Ketika memimpin aksi PHK yang dihadiri oleh 1.300 massa aksi, Kokom mendapati bahwa PHK membuat delapan anak putus sekolah karena orang tua tidak sanggup membayar pendidikan anaknya,

Selain hak anak mendapatkan pendidikan, masih dalam kasus PHK, Kokom juga mendapati tiga orang temannya diusir dari kontrakan. Lalu ada pula buruh yang layanan asuransi jaminan kesehatannya dicabut, membuat si buruh mesti tawar menawar dengan rumah sakit.

“Bulu keteknya Nikita Mirzani keliatan, itu bakal jadi headline di media-media,” terang Kokom, “tapi ada buruh yang meninggal karena di PHK, karena ga bisa berobat, itu ga jadi berita.”

Bagi Adi Marsela, apa yang disampaikan oleh Kokom memang tepat. Jurnalis, meski dianggap mengetahui banyak hal, terkadang hanya sebatas permukaan. Pelatihan bagi jurnalis pun hanya diselenggarakan oleh beberapa media saja. Selain itu, tahu atau tidaknya jurnalis terkait sebuah isu juga masih cenderung mengandalkan editor. Atas dasar itu, menjadi sebuah hal yang penting ketika buruh menceritakan pengalaman dan perjuangannya sendiri.

Jurnalis yang telah terjun di dunia pers sejak tahun 2003 ini juga menyoroti bagaimana buruh acap kali ragu menceritakan kisahnya sendiri, menganggap apa yang dibicarakannya nanti adalah hal yang sepele dan lumrah. Padahal, apa yang dialami buruh, seperti yang disampaikan oleh Kokom, amat luar biasa bila diketahui oleh publik.

“Hal-hal itu akan jadi biasa kalau kita omongin sesama kita. Tapi untuk orang yang di luar, itu bisa menandingi wacana yang selama ini sama media selalu gembar-gemborkan,” ujar jurnalis yang pertama kali berkarier di Suara Pembaruan ini.

“Mungkin kalo sekarang eranya itu bukan menulis dulu, tapi teman-teman mau bercerita atau membagi ceritanya,” ujar Adi.

Baca Juga: Mendengarkan Cerita PKL Jalan Ganesha setelah Ultimatum Relokasi TIba
Mahasiswa UPI dan Unpad Menuntut Keringanan UKT
Cerita Pengunjung di Tengah Ancaman Penyegelan Lahan Kebun Binatang Bandung

Awla Rajul (kiri), Kokom Komalasari (tengah), Adi Marsela (kanan)dalam diskusi Festival Kampung Kota 2023, Dago Elos, Bandung, Rabu (26/7/2023).
Awla Rajul (kiri), Kokom Komalasari (tengah), Adi Marsela (kanan)dalam diskusi Festival Kampung Kota 2023, Dago Elos, Bandung, Rabu (26/7/2023).

Menulislah di Media Sosial

Kokom pernah mengikuti pelatihan menulis di Lembaga Informasi Perburuhan Sedani (LIPS). Ia menyalurkan tulisan-tulisan kritisnya lewat dinding Facebook-nya. Di sekretariat, Kokom berusaha menularkan ke kawan-kawannya yang lain untuk menulis cerita menarik selama di pabrik. Dari sekitar 680 orang, ada sekitar 50 orang yang mulai menulis.

Kokom juga sempat membuat kampanye di media sosial, setiap jam 16.00 WIB sampai 21.00 WIB, kawan-kawan Kokom didorong untuk menulis cerita di dinding media sosial dengan menandai akun-akun pejabat pemerintahan. Hampir 1.200 tulisan tayang setiap hari.

“Kawan-kawan bisa bayangkan, emak-emak, ada yang nggak lulus SD, ada yang cuman lulus SD, paling tinggi SMA itu nggak banyak, harus belajar Twitter,” cerita Kokom sambil terkekeh, “yang dia antara signal dan pulsa aja ga bisa bedain.”

Keberhasalan dari aktivitas tulis-menulis ini dapat terlihat ketika Kementrian Ketenagakerjaan melirik kampanye yang dilakukan oleh Kokom dan kawan-kawan, meminta aktivitas tersebut dihentikan. Selain itu, pabrik pusat Adidas memotong order untuk perusahaan tempat Kokom dan kawan-kawannya bekerja.

Apa yang dilakukan oleh Kokom dan kawan-kawan buruh dijamin kebebasannya oleh negara, begitulah ucap Adi Marsela. Walaupun kemungkinan besar banyak pihak yang akan mempertanyakan verifikasi dari cerita-cerita yang disampaikan. Namun, menurut Adi, buruh tidak perlu memikirkan hal tersebut, karena menuliskan pengalaman tidak membutuhkan verifikasi. Lebih lanjut, Adi mengungkapkan masalah verifikasi biar diurus oleh jurnalis.

Adi menyarankan apa yang telah dilakukan oleh kawan-kawan buruh ini bisa diimplementasikan juga oleh komunitas atau kelompok kolektif lain. Karena, kerja media hari ini mirip dengan pemerintah, hanya akan meliput apabila fenomena tersebut telah viral.

“Tapi penting, tidak hanya buruh tentunya tapi semua lapis masyarakat, termasuk warga terkena penggusuran, mahasiswa yang UKT-nya naik tiba-tiba, itu semua perlu besuara menyampaikan pendapat. Karena orang-orang ga tahu apa yang terjadi, apalagi wartawan,” pungkas Adi.  

Festival Kampung Kota merupakan acara rutin di Dago Elos, tanahnya yang berpuluh tahun didiami warga Bandung namun diklaim oleh pengusaha yang mengaku ahli waris zaman kolonial Belanda. Festival ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ancaman penggusuran oleh pengusaha.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//