CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #48: Menua di Kereta
Permukiman di perkotaan bergerak ke arah pinggiran karena kota semakin padat. Moda transportasi kereta jadi pilihan karena menghemat waktu, biaya, dan tenaga.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
20 November 2023
BandungBergerak.id – “Tua di jalan” adalah sebuah istilah yang sering diungkapkan bagi orang yang memiliki jarak tempuh ke tempat kerjanya terbilang jauh. Sehingga ia menghabiskan waktunya di perjalanan. Entah itu satu kali pergi menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam bahkan 3 jam.
Bukan hanya fenomena yang terjadi di Jabodetabek belaka, namun juga terjadi di kawasan Bandung Raya. Saking biasanya, mungkin terdengar lebih dekat dan familier, namun sejatinya sama saja menghabiskan waktu di jalanan.
Banyak alasan mengapa ia memiliki sebuah jarak tempuh yang jauh. Lokasi rumah, biaya hidup, dan biaya perjalanan. Alat tukarnya adalah jarak tempuh yang terlampau lama. Terlebih lagi, saat ini pergerakan permukiman kota bergerak ke arah pinggiran karena kota sudah tidak dapat menampung tempat tinggal. Lagi-lagi, ongkos berupa waktu biaya dan tenaga menjadi harga yang harus dibayar.
Aktivitas yang dimungkinkan di dalam transportasi ini setidaknya cukup familier seperti membaca, melamun, beristirahat, bermain gawai, dan sebagainya. Tergantung kondisi dan kebutuhan. Jika memungkinkan, sebagian penumpang akan mengerjakan tugas, menghadiri kelas, bahkan menggelar rapat secara daring.
Tak jarang di jam yang perlu berangkat di pagi buta hanya memindahkan tempat tidur. Sesampainya di kursi gerbong kereta, langsung melanjutkan kembali aktivitas tidurnya. Sebab waktu istirahat belum tercukupi, namun harus kembali lagi berangkat bekerja.
Namun, siapa sangka di jalan tempatnya menua dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan, ruang sosialisasi dan sarana berkomunitas. Konon, bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain bisa bermanfaat untuk memperpanjang hidup.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #45: Hilang Acuan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #46: Desa Bayangan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #47: Bina Muda
Pilihan Kereta sebagai Mode transportasi
Moda transportasi kereta banyak dipilih sebab banyak menghemat sumber daya. Sumber daya ekonomi, waktu, maupun tenaga. Saat ini, belum ada sarana transportasi yang lebih nyaman dan bisa dipercaya ketepatan waktunya selain kereta.
Sebut saja Wawan, salah satu penumpang asal Garut yang selalu menggunakan kereta api lokal Cibatuan. Ia bekerja di Pasar Baru. Pulang pergi melalui kereta.
“Kalau mau cari saya, bisa dicari di gerbong lima.” bahkan a telah menandai tempatnya sendiri setiap ia menaiki kereta. Pokoknya cari saja di gerbong lima pada jam kereta Cibatu pagi. Kalau tidak ada, berarti ia naik kereta selanjutnya.
Laki-laki yang telah memasuki usia lanjut usia itu, menjabarkan bahwa ongkosnya dari rumahnya di Garut ke tempat ia mencari penghidupan lebih murah melalui kereta api yang sekitar 7000-8000 Rupiah. Dibanding dengan angkutan umum yang lain yang tentunya beberapa kali lipat.
Kereta sebagai penghubung transportasi masih menjadi andalan hingga kini. Terutama antara Garut dan Bandung. Tidak sedikit yang bergantung kepada kereta api orang yang tinggal di Garut namun bekerja di Bandung.
Begitu pun mereka yang bekerja di lintas kabupaten/kota. Seperti yang dialami oleh beberapa penumpang, ia perlu menempuh jalur Cicalengka-Cimahi, Haurpugur-Gadobangkong, belum ada sarana transportasi yang seringkas kereta api menuju ke tempat kerjanya. Jika sarana transportasi ini terkendala, semua sepertinya akan kebingungan mencari moda transportasi yang ringkas dan hemat dalam perjalanannya. Rata-rata angkutan harus ke kota Bandung terlebih dahulu, jalannya memutar, dan banyak terjebak kemacetan.
Ruang Sosialisasi, Berkomunitas, dan Memperpanjang Hidup
Perjalanan yang cukup lama, menjadikan seseorang bisa lebih mengenal seseorang yang lain. Ketika berangkat dengan kereta yang sama, jadwal yang sama, maka besar kemungkinan akan menemui orang yang sama. Bisa dilihat wajah-wajah yang familier sedang mengangkut barang. Ada yang berpakaian necis pergi ke tempat kerja, berseragam, bahkan pekerja yang tak memerlukan seragam di tempat kerjanya.
Perjumpaan di kereta menghasilkan berbagai macam pertemuan yang konsisten dan memungkinkan manusia memiliki ikatan grup yang sesuai dengan minatnya masing-masing. Bagi yang berminat, maka ia akan memulai sebuah obrolan kecil. Jika cocok, maka ia akan berlanjut dalam perkumpulan yang lebih menetap.
Seperti grup pekerja yang terdiri atas 4 – 6 orang pergi dan pulang pada waktu yang sama. Jika saya bertanya siapa temannya itu? Biasanya, para penumpang ini tak mengenal secara personal satu sama lain. Hanya saja, mengikat persaudaraan hanya karena satu kereta, satu waktu, dan memiliki jiwa yang berdekatan. Mereka akan berbicara apa saja yang berkaitan dengan pekerjaannya maupun dengan rekan kerjanya, tak jarang masalah pribadi.
Jika beruntung, kadang bisa bertemu dengan sekelompok Bapak-bapak yang menggunakan nalar kritis pembangunan yang terlihat di sepanjang perjalanan. Mulai membuka pengalaman hidupnya, sejarah hidupnya, dan menghimpun pengalaman-pengalaman lain. Obrolan kecil yang kadang sebagai sarana pertukaran informasi, menyampaikan kegelisahan dan unek-unek, ataupun sebagai sarana mengkritisi pemerintah.
Jika diamati, mungkin aktivitas pagi di kereta adalah semacam pengganti obrolan pagi yang biasa dilakukan di selasar rumah. Namun, sebab ia sudah harus pergi ke tepat bekerja, maka obrolan pun berpindah dari selasar rumah ke gerbong kereta. Biasanya yang bertukar cerita merupakan para pekerja yang sudah lanjut usia dan akan membagi pengalamannya tanpa sungkan. Saya berpikir, mungkin dengan cara itu, para penumpang ini bisa menjaga ritme hidupnya selalu bisa bersosialisasi dan menyampaikan keluh kesah hidupnya.
Seperti halnya pedagang laki-laki yang selalu berminat bermain game. Secara konsisten, selama perjalanan akan bermain game bersama. Tentu saja, aktivitas ini menyenangkan.
Banyak aktivitas yang bisa dilakukan di kereta untuk memperbaiki kualitas hidup. Menua di jalan, istilah yang sering digunakan bagi orang-orang yang menghabiskan waktunya di jalan, khususnya di kereta. Selain menua, di ruang perjalanan pula bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Menutup perjalanannya dari kereta api, biasanya para pekerja ini sudah bersiap untuk bertemu dengan keluarga kembali. Para perempuan mulai merapikan baju, melapisi wajah dengan bedak dan mengolesi bibir dengan pewarna bibir, dan melepas penat yang telah dilalui di tempat kerja.
Ruang-ruang di kereta masih bisa dimaknai dan menyokong kehidupan yang semakin lama semakin individualis. Meskipun ketika keluar dari gerbong kereta, para penumpang ini masih akan berhadapan dengan kenyataan bahwa harus mengitari luasnya stasiun dan berjejal di pintu yang sempit.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Noor-Shalihah atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.