• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #49: Agus Samsi yang Mendekatkan Bacaan Kepada Warga Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #49: Agus Samsi yang Mendekatkan Bacaan Kepada Warga Cicalengka

Agus Samsi telah membuka akses informasi dan pengetahuan bagi ribuan warga Cicalengka melalui kios koran dan buku bekasnya selama puluhan tahun.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Agus Samsi pemilik kios koran dan buku bekas di Cicalengka. (Foto: Noor Shalihah)

25 November 2023


BandungBergerak.id – Alun-alun Cicalengka pada 2000an didominasi dua toko besar, Haji Endang dan Acun. Keduanya adalah toko serba ada tempat warga berbelanja. Di antara kedua toko itu, berdiri kios kecil yang menjual koran, majalah, tabloid dwimingguan, tabloid bulanan, buku, dan bahan bacaan lainnya. Selama beberapa periode, semuanya berubah kecuali kios kecil diantara kedua toko itu. Bahkan tokonya pun sudah menghilang dan sudah berganti.

Agus Samsi namanya. Pemilik kios buku itu masih tetap bertahan di antara perubahan zaman. Warga Cicalengka yang bermula ikut menjajakan koran ke rumah-rumah, namun seiring berkembangnya waktu, ia mendirikan kios tersebut.  Kurang lebih sejak tahun 1976, Agus sudah memulai usahanya berjualan surat kabar.

Bermula dari mengikuti jejak sang ayah, ia mengikuti untuk menjadi penyambung antara bahan bacaan dan pembacanya. Khusus untuk surat kabar harian, langsung diantar ke kiosnya. Sebagian lagi, setiap pagi ia rutin mengantarkan koran pesanan pelanggannya. Koran-koran yang diantar, jika tidak laku, bisa dikembalikan dan dibawa kembali oleh media yang bersangkutan. Secara rutin ia juga sering mengambil buku bacaan dan tabloid yang tidak dipasok ke tempatnya, yaitu ia ambil  di Cikapundung. 

Tentu saja, ia juga akrab dengan koran-koran lama seperti Galura, Pikiran Rakyat, Gala Mandala, tabloid mingguan Nova, Horison, Intisari, dan masih banyak lagi. Kios yang dibukanya sempat berpindah tempat, namun hingga saat ini, kios itu memiliki tempat yang tetap. Berada tepat di pusat kota Cicalengka. Agus Samsi dan kiosnya  memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan dunia literasi warga Cicalengka.  Khususnya mengenai akses bahan bacaan.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #46: Desa Bayangan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #47: Bina Muda
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #48: Menua di Kereta

Melampaui Batas Pembeli dan Penjual

Pertama kali saya bertemu dengannya pada tahun 2000an. Waktu itu, saya sering mengikuti Mama untuk membeli koran masakan. Pak Agus Samsi adalah sosok pertama yang langsung menyambut kami begitu tiba di kios kecilnya. Di balik gesturnya yang ramah menyodorkan deretan tabloid baru yang masih berbau cetakan, terpancar semangat membara dalam sorot matanya yang bersinar-sinar.

Masalah utama yang dihadapi masyarakat Cicalengka sejak lama dalam meningkatkan budaya literasi adalah kelangkaan akses bahan bacaan. Tidak banyak sekolah maupun rumah tangga di kota kecil itu yang berlangganan surat kabar atau majalah secara rutin. Maka, keberadaan kios kecil Agus Samsilah yang menjadi andalan para pencari bacaan di Cicalengka untuk mendapatkan suplai bacaan yang diperlukan.

Beberapa kios koran lain sempat muncul dan menghilang, tapi hanya lapak Pak Agus-lah yang bertahan selama puluhan tahun—bahkan hingga beberapa bangunan di sekitarnya berganti kepemilikan.

Kecuali hari Minggu, ketika saya sekolah di jenjang SMP, hampir setiap hari mampir ke tempat Pak Agus Samsi. Ia selalu menyodorkan harian dan surat kabar yang menarik untuk dibaca. Tak hanya menjual, tapi juga membaca. Setiap saya datang, beliau selalu berkata

“Neng, nu rame koran dinten ayeuna mah nu ieu. Nu ieu mah seueur iklan. Nu itu mah politik hungkul.”

“Neng, ieu aya majalah terbitan enggal. Nembe pisan kamari dongkap.”

Kabar terbaru selalu datang dari Bapak Agus. Dari edisi yang terlampau lawas hingga yang terbaru. Ia memberikan alternatif informasi yang kami butuhkan. Baik untuk bacaan kami sehari-hari, atau untuk pemenuhan tugas sekolah.

Lebih dari sekadar menjual, Pak Agus juga gemar membaca dan menganalisis isi bacaan. Ia sering membandingkan sudut pandang isi yang menarik dari berbagai surat kabar. Satu hal yang jarang ditemukan dari penjual koran dan majalah pada umumnya. Melalui obrolan ringan di kiosnya, Pak Agus seolah menjadi guru pengenalan dunia yang memperluas wawasan kami. Ketika saya terjebak hujan di kiosnya, kami bisa berbincang panjang lebar tentang pengalaman membacanya. Lalu ia akan membandingkan dengan pengalamannya di lapangan atau ketika bertemu dengan banyak orang.

Lain saya, lain juga dengan Sanda. Lelaki yang bertempat tinggal  Tenjolaya itu, ketika bersekolah sering berlangganan komik. Pecinta komik, maka ia akan memesan komik edisi favoritnya. Lelaki yang memiliki cucu ini, sangat faham dan hafal karakteristik pembacanya. Sehingga, dengan sigap ketika pelanggan itu datang, Bapaknya akan menyodorkan bacaan yang menarik bagi pelanggannya.

“Kapungkur ge, sok aya Ibu-ibu nu dikacamata sering ngaborong buku-buku. Nu aya di Bapak dipeser we sadayana diborong ku anjeunna. Linggihna teh di Ciayunan, ayeunamah tos ngalih,” kenangnya. Ia hafal dan ingat bagaimana pelanggan dan wajah-wajah pelanggannya.

Di mata pelanggannya, sosok Agus Samsi merupakan sosok yang bermakna. Membuka dunia lain, membuka cakrawala. Tak  jarang ada pelanggan yang datang kemudian mencari Pak Agus Samsi untuk memberikan tanda terima kasih, bingkisan, ataupun hadiah.

Bertahan di Tengah Badai Digitalisasi

Dulu, Agus membuka tokonya sampai pukul 15.00-WIB atau waktu asar. Beberapa tahun belakangan ini, ketika surat kabar dan tabloid mulai berkurang, Bapak akan membuka toko sampai pukul 11.00 WIB atau zuhur. Beberapa tahun terakhir, Pak Agus membuka kiosnya hanya sebentar dan tidak memiliki waktu yang tetap.

Ayeuna mah teu aya deui nu cetak. Kedah icalan naon deui nya?

Ia merenung, pengusaha yang ada di pasar pun sama-sama habis dilibas jaman. Entah perlu jualan apalagi yang bisa membuatnya lebih baik dalam bertahan hidup.

Bisnis koran cetak pun sudah melambung harganya Tribun, Pikiran Rakyat, Kompas. Isinya hanya tiga lembar, sedikit sekali lembarannya. Jika dulu sisa oplah bisa ditarik oleh pemilik koran, sekarang tidak bisa. Jadi lebih banyak risiko kerugian daripada untung dari penjualan koran.

Saat ini, Pak Agus mulai mengambil barang seperti  puzzle, worksheet, dan beberapa buku yang tersisa. Beberapa tahun silam masih ada majalah anak, sekarang  sudah tidak terbit lagi. Ditambah sudoku dan TTS yang selalu ada di kios miliknya.

Ia kehilangan pelanggan sebab sebagian besar sudah beralih ke dunia digital. Pemandangannya terlampau kontras. Jika dulu pelanggannya sering berburu buku dan bahkan menanti khawatir kehabisan, kini beliau harus mengenali lagi kebutuhan pelanggan. Apa yang diharapkan oleh pelanggan? Seperti membuka lembaran baru untuknya.

Belakangan, saya pun baru tahu bahwa Agus Samsi memiliki hubungan dengan Agus Sopandi, pemilik RBM Kali Atas sekaligus pembina kami di Rumah Baca. Ia pun menjadi pemasok buku utama untuk pembelajaran. Keduanya menjalin hubungan baik dan akrab. Agus Sopandi sering memesan buku dan surat kabar kepada Agus Samsi untuk bahan pelajarannya di sekolah maupun di Rumah Baca Kali Atas.

Melalui kios koran dan buku bekasnya selama puluhan tahun, Agus Samsi telah membuka akses informasi dan pengetahuan bagi ribuan warga Cicalengka. Ia telah memainkan peran kunci dalam meningkatkan minat baca dan membuka akses pengetahuan kepada warga Cicalengka. Meskipun kini, ia sedang mencari cara lain untuk bertahan hidup namun masih tetap memberikan makna bagi orang-orang di sekitarnya.

*  Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Noor Shalihah atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//