• Opini
  • Hari Tanpa Belanja, sebuah Kritik Keras pada Budaya Konsumtif dan Kapitalis

Hari Tanpa Belanja, sebuah Kritik Keras pada Budaya Konsumtif dan Kapitalis

Hari Tanpa Belanja secara tidak resmi dicetuskan 20 tahun lalu di Vancouver, Kanada; sebuah kritik terhadap budaya konsumtif yang lahir dari kapitalisme.

Bani

Salah seorang pegiat Pasar Gratis Bandung

Ilustrasi kemudahan transaksi daring memicu budaya konsumerisme yang menjerat masyarakat. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

6 Desember 2023


BandungBergerak.id - Apa itu buy nothing day? Hari Tanpa Belanja (nonresmi) yang telah diselenggaran semenjak 20 tahun yang lalu, tepatnya di Vancouver, Kanada, dan telah menjadi agenda rutin yang setiap tahun diselenggarakan. Tujuan utama dari Buy Nothing Day sendiri ialah kritik terhadap budaya konsumerisme melalui serangkaian aksi kampanye "satu hari tanpa belanja".

Momen Buy Nothing Day memberikan kesadaran publik agar mereka lebih peka terhadap apa yang mereka beli, dan seharusnya mempertanyakan produk-produk yang mereka beli dari perusahaan yang membuatnya. Serta membuat orang berhenti dan berpikir tentang apa dan seberapa banyak yang mereka beli telah berpengaruh besar pada lingkungan dan gaya hidup masyarakat luas.

Ide sederhana ini muncul seiringan dengan kondisi ketimpangan sosial yang parah. Kita sadari, bahwa budaya konsumtif telah merambah ke berbagai lapisan masyarakat. Kaya atau miskin, orang desa atau orang kota, semua sudah terjebak dalam rayuan korporasi pasar bebas lewat iklan, membeli sebetulnya yang tidak penting dan tidak dibutuhkan.

Budaya Konsumtif Melahirkan Ketimpangan Sosial

Dunia yang katanya memiliki banyak kemajuan nyatanya memiliki banyak masalah juga. Belum lagi kemajuan ini tidak bisa dinikmati oleh semua orang. Masalah yang datang dari kemajuan ini memang seolah berjalan beriringan, kita bisa melihat dalam contoh semakin canggihnya teknologi semakin pabrik menggunakan mesin untuk efisiensi produksi, dengan adanya efisiensi produksi maka timbul pemecatan massal dan muncul banyak pengangguran.

Dengan hadirnya perkembangan teknologi, jangkauan pasar semakin luas dalam arti manusia bisa berbelanja dari rumah atau biasa kita kenal dengan online shop. Dengan hadirnya media sosial, para produsen pun kini lebih pandai merayu konsumen dengan segala kekreatifannya. Citra dan simbol dikemas sedemikian indah agar menarik hasrat konsumsi pembeli. Tidak disadari masyarakat hari ini adalah, ia tidak bisa membedakan mana barang yang dibeli atas dasar kebutuhan dan mana barang yang dibeli atas dasar terpengaruhi oleh bujuk rayu iklan. Karena mode produksi hari ini bukan saja berlomba-lomba agar menarik banyak pembeli, melainkan lebih jauh produsen berlomba-lomba menciptakan kebutuhan semu.

Belum lagi mode produksi mereka merubah dari yang semula nilai guna menuju nilai citra. Kita bisa temukan dalam contoh sederhana ketika kita memilih membeli barang yang memiliki brand lebih keren dibanding tidak. Ini contoh sederhana di mana kita mengutamakan nilai citra dibanding nilai guna. Dan ini juga merupakan contoh kebutuhan semu yang disebutkan tadi. Atau dalam contoh lain, kita masih memiliki smartphone yang bagus dan masih bisa dioprasikan, namun karena merek smartphone tersebut mengeluarkan seri terbarunya dan jika kita terdorong untuk membelinya, dapat dikatakan itu juga suatu bentuk kebutuhan semu dan mengedepankan nilai citra atau simbol.

Dapat dikatakan bahwa di era dewasa kini memang mudah sekali terjerat dalam siklus konsumerisme. Karena memang perangkat sosial yang mendukung dan mendikte agar bertindak demikian. Mode konsumsi yang mengedepankan kemasan simbol dibanding nilai guna memang syarat akan kurangnya kedalaman makna dan kritisisme. Maka tak heran bila manusia hari ini mudah begitu saja terjebak dalam siklus konsumerisme.

Pasar Gratis Bandung hadir sebagai protes secara tidak langsung terhadap sistem kapitalisme yang serba beli. (Foto: Bani/Pasar Gratis Bandung)
Pasar Gratis Bandung hadir sebagai protes secara tidak langsung terhadap sistem kapitalisme yang serba beli. (Foto: Bani/Pasar Gratis Bandung)

Baca Juga: Mengecam Kapitalisme dan Oligarki dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di Bandung
Kesehatan Mental dan Kapitalisme
Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo

Peran Sederhana Buy Nothing Day di Tengah Budaya Kapital

Ketimpangan sosial bermula dari corak ekonomi masyarakatnya yang mengharuskan adanya ketimpangan. Ada kelas buruh dan ada kelas pemodal. Semua komoditi/barang dan jasa yang dihasilkan oleh buruh haruslah bisa dikomsumsi, dengan cara menjualnya. Agar dapat terjual, orang harus membeli. Agar orang bisa beli setidaknya harus ada dua hal: (1) orang mau beli dan (2) ada alat tukarnya.

Agar orang mau membeli, kapitalisme menjejalkan segala macam narasi yang meyakinkan orang-orang. Dalam produksi iklan misalnya, selalu ada narasi barang/jasa sehingga pada akhirnya kita tetap membeli produk tersebut. Hal ini dikarenakan banyak dari kita yang tidak memiliki imajinasi lain selain “membeli”.

Lalu bagaimana dengan mereka yang kehilangan akses akan kebutuhan tersebut? Di situlah peran aktivasi ruang publik sebagai ruang alternatif di mana orang-orang yang membutuhkan dapat memperoleh kebutuhannya tanpa harus menukarnya dengan uang. Dengan terdistribusinya barang-barang tadi, mereka yang berada pada strata ekonomi rendah misalnya dapat mengakses kebutuhan pokok tersebut. Tapi lebih dari itu, Buy Nothing Day juga telah melawan urat nadi dari kapitalisme itu sendiri.

Uang — uang adalah dirinya. Tanpa uang, perputaran modal tidak dimungkinkan karena tidak ada alat tukar yang universal yang sama di setiap tempat. Selain itu, uang dalam corak kapital memiliki arti sebagai penyimpanan kekayaan. Misalnya, untuk mengukur kekayaan selalu dinilai dari seberapa banyak jumlah uang yang dimiliki.

Dengan ini, Buy Nothing Day sendiri merupakan salah satu upaya menciptakan imajinasi sekaligus alternatif dari kehidupan di bawah sistem kapitalisme sekarang yang mengharuskan adanya belanja dan melahirkan ketimpangan kelas. Karena capaian kami bukan dinilai dari seberapa banyak orang datang untuk memilih tidak berbelanja selama satu hari, namun seberapa banyak orang yang sadar dengan semangat yang kami tularkan.

"Satu-satunya cara untuk membuat manusia menjadi kurang rakus dan egois, serta kurang ambisius adalah dengan menghilangkan kondisi yang mendukung tumbuhnya egoisme dan keserakahan, perbudakan, dan ambisi," (Peter Kropotkin, hal. 83).

*Kawan-kawan bisa membaca esai atau artikel tentang konsumerisme atau Pasar Gratis Bandung dalam tautan berikut ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//