• Nusantara
  • Gairah Ekonomi dan Budaya Konsumtif Mudik Lebaran

Gairah Ekonomi dan Budaya Konsumtif Mudik Lebaran

Jumlah pemudik lebaran 2022 secara nasional diprediksi mencapai 85,5 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 14,7 juta orang pemudik akan masuk Jawa Barat.

Sejumlah pemudik bersepeda motor memilih istirahat dan menepi di semi tunnel Lingkar Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (16/5/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana6 Mei 2022


BandungBergerak.idRamadan identik dengan tradisi mudik. Migrasi temporer ini biasa dilakukan di saat menjelang lebaran. Pada momen akhir Ramadan ini jutaan orang berbondong-bondong ke kampung halaman menggunakan jalur darat, laut maupun udara.

Menurut Dinas Perhuhungan Jawa Barat, jumlah pemudik pada momen Idul Fitri tahun 1443 H atau 2022 secara nasional diprediksi mencapai 85,5 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 14,7 juta orang pemudik akan masuk atau bertujuan ke wilayah Jawa Barat.

Sementara pemudik yang akan masuk wilayah Jakarta plus Bodebek akan mencapai 5,9 juta orang atau sekitar 7,0 persen. Kemudian, tujuan pemudik terbanyak masih ke wilayah Jawa Tengah dengan perkiraan mencapai 27,5 persen atau sekitar 23,5 juta orang, Jawa Timur 16,8 juta orang atau 19,6 persen.

Warga Jawa Barat yang akan keluar pada momen Idul Fitri tahun ini akan mencapai 9,2 juta orang. Sementara Jakarta plus Bodebek mencapai 14 juta orang. Moda transportasi pemudik didominasi kendaraan pribadi baik mobil ataupun motor.

"Kami mengantisipasi penumpukan kendaraan saat istirahat, baik di rest area dan SPBU, agar tidak mengganggu lalu lintas," ujar Sekretaris Dinas Perhubungan Jabar Idat Rosana, dikutip dari laman Pemprov Jabar, Minggu (24/4/2022).

Mobil diprediksi akan mencapai 28,6 persen sementara motor sekitar 21,5 persen. Sisanya menggunakan kendaraan angkutan umum seperti bus kota (17,38 persen), kereta api (9,7 persen), pesawat (8,13 persen) dan sisanya lewat jalur laut/sungai.

Meneropong Mudik dari Kacamata Ekonomi

Mudik menjadi ritual wajib sebagai penutup Ramadan, selain hari raya Idul Fitri. Semua orang berhak mudik dan mendapatkan pelayanan terbaik selama di perjalanan. Tak ada yang bisa menghentikan mudik. Bahkan pada situasi pagebluk Covid-19 dua kali lebaran ke belakang, mudik tetap berjalan.

Kini, pagebluk sudah berangsur menurun meski protokol kesehatan pencegahan Covid-19 tetap harus dijalankan. Di luar masalah kesehatan, mudik sendiri menarik dikaji dari sudut pandang ekonomi. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa mudik ibarat darah segar yang mengalirkan denyut ekonomi di kampung halaman.

Salah satu penelitian tentang mudik dilakukan Bambang B Soebyakto dalam studi kualitatif berjudul “Mudik Lebaran” (Jurnal Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, 2011). Penelitian ini menggunakan metode incidental sampling yaitu mendapatkan informan atau responden di tempat mudik langsung, yakni di stasiun kereta api, pelabuhan kapal laut, pelabuhan udara dan terminal bus antarkota antarprovinsi, dengan jumlah responden 196 orang.

Bambang B Soebyakto menyatakan bahwa mudik sebagai migrasi spontan yang mampu mendobrak beban berat besaran ekonomi atau biaya yang dikeluarkan. Sebab yang menjadi tujuan adalah kebahagiaan dan kegembiraan untuk dapat berkumpul dengan keluarga di kampung halaman.

“Kegembiraan dan kebahagian yang akan dinikmati bersama keluarga yang berada jauh dari kediaman migran menghapus semua beban sosial maupun ekonomi yang ditanggung pemudik. Mereka tak menghiraukan banyaknya biaya yang dikeluar kan dalam melakukan “ritual tahunan” tersebut yang dikeluarkan agar keinginan untuk berkumpul dapat tercapai dengan baik,” terang, Bambang, dalam latar belakang penelitiannya.

Disebutkan bahwa para pemudik medapatkan biaya mudik tidak hanya dari pendapatan dan tabungan yang dikumpulkan selama setahun, tetapi juga dengan cara berhutang pada bank atau pegadaian, bahkan menjual segal sesuatu yang berharga milik pribadi asalkan mudik lebaran terlaksana.

Bambang membeberkan data Dompet Dhuafa bahwa pada mudik lebaran tahun 2010 saja terjadi perputaran uang sebesar Rp 84,9 triliun untuk sebuah ritual singkat mudik masa itu. Dari jumlah tersebut, sebesar 56 persen berputar dalam kisaran pengeluaran biaya untuk akomodasi, wiasata dan juga sedekah maupun zakat yang dibayarkan pemudik.

Sisanya sebesar 44 persen diperuntukkan bagi biaya transportasi, makan di jalan, juga oleh-oleh bagi keluarga di kampung maupun yang dibawa pulang oleh pemudik sekembalinya mereka dari tempat asal.

Hal yang menarik bahwa sebagian besar pemudik (52 persen) membayarkan zakat mereka di daerah asal, di mana potensi zakat yang terkumpul di daerah asal hampir mencapai angka Rp 7,35 triliun. Selain itu, sebesar 36,47 persen pengeluaran dibelanjakan pada oleh-oleh hasil kerajinan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada di daerah-daerah.

“Berdasarkan pada data tersebut, dapat kita simpulkan sementara bahwa terjadi aliran dana yang sangat besar dari kota-kota besar ke daerah serta terjadi multiplier effect yang signifikan bagi kegiatan penginapan, transportasi, perdagangan maupun perbankan di seantero wilayah Indonesia,”paparnya.

Baca Juga: Implementasi UU TPKS Membutuhkan Kerja Panjang Kolaborasi
Pasar Kekinian The Hallway Space Menyambut Momen Hari Buku Sedunia
Mengundang Banjir dari Menyusutnya Sawah Gedebage

Pemudik terjebak macet di Cibiru, Bandung, Jumat (7/5/2021). Pemudik tanpa dilengkapi dokumen pendukung berupaya untuk bisa melintas pos penyekatan Covid-19. (Foto: Prima Mulia)
Pemudik terjebak macet di Cibiru, Bandung, Jumat (7/5/2021). Pemudik tanpa dilengkapi dokumen pendukung berupaya untuk bisa melintas pos penyekatan Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Mudik dan Budaya Konsumtif 

Ibarat obat untuk suatu penyakit, mudik sebagai obat melepas rindu dengan keluarga dan kampung halaman pun memiliki efek samping. Tidak dipungkiri bahwa mudik memiliki prilaku konsumtif yang besar. Prediksi mudik tahun 2022 tentang akan adanya 14,7 juta orang pemudik yang masuk atau bertujuan ke wilayah Jawa Barat menunjukkan potensi konsumsi yang tinggi, misalnya BBM.

Bambang pun dalam penelitiannya menyebut mudik lebaran dapat pula dikatakan sebagai salah satu gambaran tentang pola konsumtif masyarakat akibat merasa mencapai kemenangan setelah melakukan puasa selama satu bulan penuh. Bambang melihat fenomena menghambur-hamburkan uang yang mereka mengarah pada sesuatu yang dapat dianggap mubazir.

Meski di sisi lain, lanjut Bambang, tradisi mudik lebaran juga menguntungkan daerah-daerah yang  menjadi tujuan mudik.

Bambang memotret bahwa sebesar 33 persen informannya mempunyai penghasilan antara Rp 3 juta sampai dengan Rp 20 juta per bulan. Besaran penghasilan perbulan tersebut memang sebagian mereka tabungkan guna diperuntukkan menghadapi acara mudik.

Selain itu terdapat sebanyak 2,1 persen informannya yang mempunyai penghasilan lebih dari Rp 20 juta per bulan. Lalu, 60,6 persen berpenghasilan antara Rp 750 ribu sampai dengan Rp 3 juta. Ada pula 22 persen informan yang tidak mempunyai penghasilan bulanan tetap.

Biaya mudik yang dikeluarkan umunya berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 10 juta tergantung dari jenis moda transportasi, termasuk untuk membeli oleh-oleh atau bawaan.

Penelitian ini juga mendapatkan bahwa pemudik yang berpendapatan anatara Rp 500 ribu sampai diatas Rp 20 juta pada umumnya berderma dengan sesama terutama sanak keluarga di tempat asal mereka. Jumlah sedekah atau derma yang mereka keluarkan berkisar antara Rp 250 ribu sampai dengan diatas Rp 5 juta.

Selain pengeluaran guna keperluan berderma atau bersedekah pada kerabat di kampung, ternyata pengeluaran untuk melakukan wisata pada saat lebaran juga relatif cukup besar. Hal ini menarik karena fenomena dibanyak kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa obyek wisata yang ada pada umumnya padat dipenuhi pengunjung dari berbagai daerah.

Bila dilihat dari tradisi “patron client” nampaknya sudah terjadi degradasi budaya dari kebiasaan berkupul atau saling bersilaturahmi dalam waktu lebaran diganti dengan tamasya atau berwisata ketempat keramaian kota, misalnya ke kebun binatang. Fenomena ini nampak sudah mulai tergambar terutama di kota besar akibat pola hidup yang mengarah individualis dan tertutup (introvert).

Biaya yang dikeluarkan pada waktu lebaran guna berwisata ini juga cukup besar. Lebih dari 50.9 persen informan mengeluarkan biaya wisata antara Rp 250 ribu sampai dengan diatas Rp 5 juta, walaupaun ada juga para pemudik yang pulang kampung sekadar melepas rindu pada keluarga yang ada di tempat asal mereka (49.1 persen).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//