• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #51: Perempuan-perempuan Pelopor

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #51: Perempuan-perempuan Pelopor

Dewi Sartika dan Raden Ayu Sangkaningrat mengubah wajah pendidikan dan perekonomian Indonesia dari Bandung Timur.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Perempuan bumiputra mempelajari pembuatan tekstil di Textielinrichting Bandoeng (TIB). Sumber: Or. 27.953. (Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

9 Desember 2023


BandungBergerak.id – Pembangunan suatu daerah tentu melibatkan berbagai elemen masyarakat, tak terkecuali perempuan. Di Bandung Timur, setidaknya ada dua sosok perempuan yang berkaitan dengan dua wilayah di Bandung Timur, yaitu Cicalengka dan Majalaya. Mereka adalah Raden Dewi Sartika, perempuan yang besar di Cicalengka tersebut pelopor pendidikan kaum perempuan melalui Sakola Kautaman Istri. Lalu Raden Ayu Sangkaningrat, istri Wedana Majalaya Wiranatakusumah yang berperan mengembangkan industri tekstil di Majalaya.

Lewat tulisan ini, kisah perjuangan Dewi Sartika dan Sangkaningrat beserta pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat Bandung Timur pada masanya. Hal ini menjadi menarik, sebab meskipun keduanya merupakan pelopor dari gerakan perempuan, namun memiliki corak yang berbeda. Jika Dewi Sartika lebih mementingkan kepada aspek yang merupakan dalaman keilmuan rumah tangga, namun Nyi Sangkaningrat lebih kepada aspek luaran perempuan yang bisa memajukan peradaban melalui industri dan keberdayaannya. 

SMPN 1 Cicalengka, Jalan Dipati Ukur, dulunya Dewi Sartika sempat tinggal di komplek kantor dan rumah tinggal Patih Afdeling Cicalengka ini. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
SMPN 1 Cicalengka, Jalan Dipati Ukur, dulunya Dewi Sartika sempat tinggal di komplek kantor dan rumah tinggal Patih Afdeling Cicalengka ini. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Raden Dewi Sartika dan Sakola Kautamaan Istri

Dewi Sartika tinggal di Cicalengka hanya sebentar. Meski begitu, ia memiliki inspirasi ketika berada di Cicalengka. Dewi Sartika tinggal bersama uaknya dan diperlakukan seperti abdi dalem.  Di pendopo kepatihan, Dewi Sartika belajar memasak, memasang meja, melayani orang tua saat makan, belajar tata cara makan, menjahit, menyulam, sopan santun, dan sedikit belajar bahasa Belanda melalui nyonya-nyonya Belanda, yaitu istri kontrolir Cicalengka.

Sekembalinya dari Cicalengka, Dewi Sartika mendapatkan ide untuk membentuk Sakola Kautaman Istri. Konsep pendidikan Dewi Sartika menjadikan perempuan lebih memiliki keterampilan dalam menjalani kehidupan sehari hari. Sekolah ini didirikan pada tahun 2011. Dalam skripsi tulisan dari Lina Zakiyah (2011), Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Dewi Sartika untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Ia memandang pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta memerlukan keterampilan.

Ia memiliki keyakinan bahwa orang-orang pribumi bisa sejajar dengan orang-orang Eropa dengan adanya pendidikan. Baik laki-laki maupun perempuan, ia berharap manusia yang lahir dalam keturunan yang baik, dirawat dan dididik dengan baik, akan menghasilkan manusia yang bermanfaat.

Pendidikan, bagi Dewi Sartika merupakan sebuah usaha untuk memelihara generasi selanjutnya. Pendidikan bisa berhasil apabila terdapat dalam lingkungan yang mendukungnya. Manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya.

Dewi Sartika menerapkan kurikulum yang menitikberatkan kepada keutamaan perempuan. Sehingga, dalam kurikulumnya banyak pelajaran seperti menjahit, menyulam, mengatur rumah tangga, merupakan pekerjaan perempuan yang mesti bisa dikuasai perempuan.

Lina (2011) juga menyebutkan bahwa Prinsip “nu bisa hirup” menjadikan sekolah ini memberikan ruh kepada muridnya agar perempuan bisa bertahan hidup apa pun yang terjadi di dalam kehidupannya seperti ditinggal oleh suaminya. Dewi Sartika mengharapkan kaum perempuan bisa dengan setara mengakses pengetahuan yang sama dengan laki-laki.

Seorang perempuan pekerja sedang memintal bendang di pabrik tenun Majalaya di Kampung Leuwinanggung, Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Senin (9/8/2021). Dari belasan orang, kini pabrik tenun tradisional ini menyisakan hanya empat pekerja. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Seorang perempuan pekerja sedang memintal bendang di pabrik tenun Majalaya di Kampung Leuwinanggung, Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Senin (9/8/2021). Dari belasan orang, kini pabrik tenun tradisional ini menyisakan hanya empat pekerja. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Nyi Raden Ayu Sangkaningrat

Nyi Raden Ayu Sangkaningrat, seperti judul yang telah ditulis oleh Atep Kurnia, bahwa ia merupakan pendorong usaha tenun dan tekstil di Majalaya. Sebelum memasuki wilayah Majalaya untuk mengembangkan tenun, ia juga belajar dan bertugas ke Belanda.

Pada tahun 1928, ia mengembangkan teknik tenun yang diadaptasi dari berbagai teknologi. Ia membuka. kursus tenun yang diikuti perempuan dan menjadi berkembang pesat. Teknik pembuatannya pun masih sangat sederhana, yaitu dengan memanfaatkan roda tenun dan alat tenun tangan yang disebut, alat gedogan. Sebab alat tenun bukan mesin belum begitu banyak, maka dipergunakan secara bergantian.

Biasanya, ketika mendengar kata kursus merupakan sebuah sekolah yang mengajarkan keterampilan khusus dan sederhana yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Begitu pun apa yang dilakukan oleh Raden Ayu Sangkaningrat, dalam kursus menenun ini ditambah kegiatan menjahit dan memasak. Namun, Hal yang menjadikan perbedaan usaha yang dilakukan oleh Raden Ayu Sangkaningrat adalah dengan memboyong teknologi baru ke tempat penenunan. Istri dari Raden Wiranatakusumah, yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Bandung membawa perubahan pesat yang menjadi cikal bakal sekarang yang didirikan sebagai STT Tekstil Bandung. Inovasi dari Nyi Raden Ayu Sangkaningrat memperlihatkan bahwa pekerjaan yang bisa digunakan dengan teknologi tinggi bisa membawa perubahan yang signifikan.   

Perempuan yang mengikuti kursus mengenai seni Iyam, Edah, Oya, dan Leih belajar pada Raden Ayu Sangkaningrat selama satu bulan. Setelah kursus yang dibawa oleh keempat perempuan Majalaya, perlahan mulai memperkenalkan keahlian menenun kepada perempuan-perempuan di Majalaya. Berkat peran perempuan yang mulai belajar menenun, dan pernikahan-pernikahannya yang menghasilkan pabrik tenun, menjadikan Majalaya berkembang pesat menjadi sebuah kota industri tekstil.

Pada waktu itu, kondisi ekonomi lebih menekankan kepada hasil pertanian dan perkebunan. Industri tekstil dipandang sebagai usaha yang dipandang sebelah mata. Namun, dengan adanya perubahan dari sisi teknologi, dan bertahannya Majalaya di saat depresi besar-besaran pada tahun 1930an, menjadikan Majalaya dijuluki sebagai kota Dolar. Inovasi inilah yang perlu dibawa dan dicontoh dalam sisi teknologi dan perkembangan suatu wilayah.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #48: Menua di Kereta
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #49: Agus Samsi yang Mendekatkan Bacaan Kepada Warga Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #50: Literasi di atas Jurang

Refleksi Usaha Perempuan

Dua gerakan perempuan yang lebih dahulu terdapat pada abad 20an, merupakan penanda bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Baik pendidikan perempuan diperlukan baik untuk mengelola rumah tangga yang menjadi khas pengelolaan perempuan seperti Dewi Sartika.

Seperti yang dinyatakan oleh Aquarini Priyatna, Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad), gerakan perempuan memiliki banyak ragamnya baik untuk keluar untuk memperbaiki kondisi perekonomian, maupun pergerakan perempuan di dalam rumah. Semuanya patut diberikan apresiasi yang layak. Pilihan perempuan untuk memilih ruang berjuangnya merupakan salah satu hak perempuan dan kemerdekaan dalam memilih ranah berjuang.

Melalui kiprahnya masing-masing, Dewi Sartika dan Raden Ayu Sangkaningrat telah membuka mata masyarakat akan potensi luar biasa yang dimiliki perempuan Indonesia. Di Bandung Timur, gerakan perempuan yang mereka pimpin telah mengubah wajah pendidikan dan perekonomian setempat menjadi lebih maju.

Pentingnya peran serta perempuan dalam pembangunan bangsa. Kiprah Dewi Sartika dan Raden Ayu Sangkaningrat menunjukkan bahwa perempuan bisa memberi kontribusi besar pada kemajuan masyarakat. Gerakan perempuan tidak melulu soal hak dan pembebasan perempuan, tapi juga soal bagaimana potensi dan peran perempuan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Contoh nyata adalah perkembangan industri tekstil Majalaya berkat peran Kaum perempuan.

Pendidikan perempuan sangat penting agar perempuan bisa mengembangkan potensinya. Pendidikan tidak boleh melulu soal pengelolaan rumah tangga, tapi juga keterampilan yang bisa mendorong kaum perempuan berkontribusi di ranah publik.

Meninjau kembali gerakan perempuan yang dilakukan oleh para pendahulu, gerakan perempuan semestinya bisa menjadi luwes tanpa meninggalkan identitasnya sebagai perempuan. Dua gerakan tersebut membawa perubahan baik dalam peranan fungsi sebagai pemimpin di dalam rumah tangga seperti yang digagas oleh Dewi Sartika. Namun, hal tersebut bisa dikembangkan dalam usaha yang diperjuangkan oleh Nyi Raden Ayu Sangkaningrat. Pendidikan dan perempuan bisa mengantarkan kepada perbaikan dan kemajuan ekonomi suatu daerah.

Usaha-usaha perempuan dalam zaman ini sudah dipelopori oleh perempuan pendahulunya. Selayaknya usaha perempuan masa kini tidak meninggalkan unsur keperempuanannya dalam membangun peradaban sebuah wilayah.

*  Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Noor Shalihah atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//