• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #53: Tragedi Kecelakaan Kereta Cicalengka dan Buruknya Transportasi Publik Kita

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #53: Tragedi Kecelakaan Kereta Cicalengka dan Buruknya Transportasi Publik Kita

Kecelakaan kereta di Cicalengka membukakan kenyataan bahwa transportasi publik kita belum merata dan saling terintegrasi dengan baik dan mudah.

Nurul Maria Sisilia

pegiat literasi di Rumah Baca Kali Atas yang tergabung dalam komunitas Lingkar Literasi Cicalengka, bisa dihubungi di [email protected]

Kecelakaan maut antara kereta api commuter line Bandung Raya dan kereta api Turangga di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jumat, 5 Desember 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 Januari 2024


BandungBergerak.id – Akibat kecelakaan kereta yang terjadi antara kereta api Turangga dan kereta lokal Bandung Raya pada Jumat, 5 Januari 2024, tempo hari, sejumlah penumpang mesti mencari alternatif transportasi lain menuju kota. Perjalanan mencari alternatif transportasi inilah yang membuat saya merasakan ketidaknyamanan transportasi publik khususnya di Bandung Raya.

Secuplik Kisah Tragedi Kereta Cicalengka

Sekira pukul 06.25 WIB, saya tiba di Stasiun Cicalengka. Saya berencana menuju Cimahi dengan menggunakan kereta Commuter Line Garut pukul 06.40 WIB. Dari kejauhan, saya melihat sejumlah orang memadat sampai di luar stasiun. Karena hari itu adalah pekan terakhir libur sekolah, saya sempat berpikir bahwa kepadatan ini terjadi karena orang-orang hendak berlibur. Namun, hal tersebut rasanya kurang masuk akal sebab kemarin pun saya berkereta di jam yang sama dan situasi tidak sepadat ini. Dugaan kedua adalah  kereta pukul 06.20 WIB, atau sebelum jadwal kereta saya, datang terlambat. Walhasil, calon penumpang menumpuk. Dengan penuh kebingungan, saya berjalan masuk ke area stasiun. Beberapa orang yang juga datang bersama saya tampak bingung dengan situasi yang terlihat.

Beberapa calon penumpang tampak mengerumuni petugas di loket dan berapa lagi di area pemeriksaan tiket. Sambil mengamati sekeliling, saya mencuri dengar ujaran penumpang lain. “Keretanya anjlok!” katanya.

Dari pengeras suara stasiun pukul 06.29 WIB, terdengar sebuah pengumuman yang mengabarkan adanya keterlambatan kereta dan permohonan maaf dari pihak KAI. Mendengar pengumuman ini, para penumpang makin riuh. Karena merasa tidak mendapat informasi yang jelas dan lengkap, saya bersama beberapa  ibu yang juga akan menggunakan kereta pukul 06.40 WIB mencoba menggali informasi kepada petugas di loket. Sang petugas hanya menyatakan bahwa kereta hari ini batal berangkat.

Tak lama, dari calon penumpang lain saya mendapat informasi bahwa terjadi tabrakan kereta antara KA Turangga dan Kereta Lokal Bandung Raya di rel tunggal petak Haurpugur-Cicalengka. Konon, informasi itu ia dapatkan dari kerabatnya  yang berada di dekat lokasi kejadian.

Kabar itu pun menyebar cepat. Tak lama, terlihat banyak penumpang yang balik kanan, kembali pulang ke rumah. Sisanya, memilih mencari angkutan lain menuju tempat tujuan.  Saat itu, saya memilih yang kedua bersama penumpang lain yang juga batal berkereta. Saat keluar dari stasiun dan menuju jalan raya, saya melihat banyak penumpang berdiri di pinggir jalan mencari angkutan. Beberapa tampak  masih kebingungan mencari cara menuju kota.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #50: Literasi di atas Jurang
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #51: Perempuan-perempuan Pelopor
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #52: Universitas Ma’soem Menjawab Tantangan Zaman di Era Gamangnya Mencari Pekerjaan

Alternatif Transportasi Lain

Setelah mengetahui kabar insiden kereta, saya bersama dua orang ibu segera meninggalkan stasiun dan mencari alternatif angkutan lain. Kami berencana naik angkot menuju Majalaya dan naik elf menuju Leuwipanjang di sana. Sebenarnya, untuk menuju Leuwipanjang, bisa juga memakai angkot Cicalengka-Cileunyi sampai Parakanmuncang yang berjarak sekitar 2 kilometer lalu menunggu elf tujuan Leuwipanjang. Namun, atas pertimbangan ongkos dan waktu, maka kami bersepakat naik dari Majalaya.

Di dalam angkot, percakapan mengenai insiden kereta seperti menjadi buah bibir. Tak terasa, kami pun sampai di Alun-alun Majalaya. Seorang ibu yang membawa anaknya mengusulkan untuk meneruskan perjalanan menggunakan bus Damri Majalaya-Leuwipanjang karena dirasa lebih cepat dan efisien. Kami setuju, maka kami berjalan sedikit menuju tempat pemberhentian bus Damri tersebut. Namun, sesampainya di sana kami terkejut karena tidak ada satu pun bus yang tersedia di sana. Seorang petugas mengatakan bahwa armada bus sudah empat hari tidak beroperasi.

Kami yang kecewa kemudian kembali mencari angkutan lain yaitu elf. Setelah mendapat elf, kami pun menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit sampai terminal Leuwipanjang. Dari sana, saya harus lanjut lagi menggunakan angkot Leuwipanjang-Cimahi. Biasanya, jika memakai kereta, saya akan tiba di Unjani pukul 08.20 WIB. Kini, saya harus sampai di sana pukul 10.29 WIB.

Bis Trans Metro Pasundan (TMP), Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Bis Trans Metro Pasundan (TMP), Kamis (15/12/2022). Transportasi di Bandung belum terintegrasi dan masih banyak yang perlu dibenahi. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Lika-liku Transportasi Publik

Pengalaman pergi ke Cimahi menggunakan angkutan selain kereta menjadi hal pertama bagi saya. Kesannya tentulah berbeda jika naik kereta. Faktor biaya dan waktu menjadi sangat tidak efektif jika berkendara menggunakan selain kereta. Bayangkan saja, untuk pergi ke Cimahi saya harus berkali-kali naik angkot, ditambah naik elf, dan berakhir naik ojek daring. Hal ini menekankan bahwa kereta menjadi transportasi  primadona. Namun demikian, di sisi lain, hal ini pun jadi pertanda bahwa kualitas transportasi publik kita belum merata. Oleh sebab itu, saat kereta tidak bisa beroperasi, transportasi lain menjadi alternatif yang terpaksa dipilih.

Tak hanya tidak merata, transportasi publik kita belum saling terintegrasi dengan baik dan mudah. Tampak dari pengalaman saya tadi, untuk menjangkau Cimahi saya harus terlebih dulu menuju Kota Bandung. Pilihan ini pun tak semudah yang dikira sebab nyatanya saya harus menggunakan elf yang berdesakan. Ditambah lagi, dalam konteks saya kala itu, alternatif lain yakni bus Damri ternyata tidak beroperasi.

Saya cukup beruntung karena didampingi  dua orang ibu yang tahu betul alternatif angkutan selain kereta. Saya membayangkan jika tidak di posisi itu. Saya tentu akan kebingungan dengan alur transportasi yang ada sebab ketiadaan informasi tentang hal tersebut.

Bukan hanya kendaraan, jalan raya pun menjadi hambatan dalam menggunakan transportasi publik.

Sepulang dari Cimahi, saya kembali harus memutar pikiran agar bisa pulang dengan selamat menggunakan angkutan selain kereta. Untungnya, saat itu kawan saya di Unpas menawarkan bantuan. Ia berkenan mengantar saya pulang ke Cicalengka. Namun ternyata, rencana tersebut tak juga berjalan lancar. Hujan besar sedari sore membuat perjalanan terhambat. Belum lagi area Jalan Soekarno-Hatta, tepatnya di wilayah Gedebage, tergenang banjir. Saya harus menunggu cukup lama sampai hujan reda dan banjir surut. Akibat hal itu, saya sampai di rumah sangat malam.

Bagaimana tidak, kemacetan dan juga banjir jadi hal yang rupanya belum bisa ditanggulangi dengan baik oleh pihak terkait. Hal ini tentu merugikan pengguna jalan terutama para pengguna transportasi publik dari wilayah satelit menuju pusat kota. Hal-hal tersebut agaknya menjadi cerminan betapa belum ramahnya transportasi publik kita pada masyarakat. Padahal, transportasi publik dengan kualitas merata dan terintegrasi akan memudahkan mobilitas masyarakat dan lebih jauh pembangunan itu sendiri.

*  Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Nurul Maria Sisilia atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//