Warga Bandung Berhak Atas Program Sertifikasi Tanah
Pemkot Bandung tengah sibuk melakukan sertifikasi aset. Jaminan atas aset juga diperlukan warga yang menghadapi sengketa tanah seperti yang terjadi di Dago Elos.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah20 Januari 2024
BandungBergerak.id – Masih banyak warga Bandung yang hidup dalam pusaran sengketa tanah. Nasib mereka kerap kali berakhir dengan penggusuran, seperti yang dialami warga Tamansari yang berkonflik dengan proyek rumah deret. Ada juga warg Dago Elos yang sampai saat ini terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman penggusuran.
Hak atas tanah atau kepemilikan aset isu krusial di Bandung. Bukan hanya tanah warga saja yang posisinya terancam, aset milik Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung pun tak lepas dari isu ini. Bedanya, warga harus berjuang sendiri melakukan legalisasi asetnya, sementara Pemkot Bandung memiliki banyak sumber daya untuk mengamankan aset, seperti yang dilakukan baru-baru ini.
Ada 823 sertifikat bidang tanah yang selesai disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung dengan luas mencapai 644.910 meter persegi. Sertifikasi aset pemerintah ini disebut oleh Penjabat (Pj) Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono sebagai kepastian hukum agraria atas aset yang dimiliki Pemkot Bandung.
"Ini penegasan hukum terhadap aset-aset punya Pemkot. Semoga ke depannya kedudukan hukumnya lebih legitimate,” ucap Bambang, dikutip dari laman resmi, Kamis, 18 Januari 2024.
Sertifikat ini diperoleh dari BPN Kota Bandung atas 805 bidang dari kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang ada di enam kelurahan di antaranya Kelurahan Babakan Ciamis, Kelurahan Braga, Kelurahan Cihapit, Kelurahan Kebon Pisang, Kelurahan Merdeka, serta Kelurahan Tamansari ditambah 18 Sertipikat dari pendaftaran Rutin.
Dari 6 kelurahan itu, ada sertifikat Kantor Pemerintah, Puskesmas, Taman, Sarana Pendidikan Sekolah Dasar, jalan, lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat (sewa), Gudang Arsip Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), dan Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD).
Sebanyak 18 bidang sertifikat terdiri dari prasarana umum dan perumahan di Kawaluyaan, permakaman umum Rancacili serta ruang terbuka hijau di Kelurahan Pamulang.
Pengaman Aset di Tengah Konflik Pertanahan
Sertifikasi aset tanah yang dilakukan oleh Pemkot Bandung mendapat tanggapan kritis dari Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia. Di tengah tingginya konflik pertanahan di Kota Bandung, Pemkot seharusnya hadir untuk menyelesaikan dan memberikan jaminan serta kepastian hukum hak atas tanah warganya.
“Justru pemerintah menerbitkan sertifikat tanah untuk mengamankan aset mereka sendiri,” kata Koordinator Agrarian Resource Center (ARC) Rizki Maulana Hakim, kepada BandungBergerak.id, Rabu, 17 Januari 2024.
Konflik pertanahan di Kota Bandung mengalami ekslasi tinggi ketika penggusuran Tamansari pada 2019 yang kemudian menyisakan seorang warga yang bertahan, Eva Eryani. Rumah bedeng milik Eva akhirnya digusur juga pada 18 Oktober 2023. Di saat yang sama, warga Dago Elos tengah berjuang mempertahankan aset turun temurun mereka dari klaim ahli waris yang dibekingi pengusaha.
Rizki menyebutkan, penerbitan sertifikat dilakukan oleh Pemkot Bandung melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dinilai menyalahi prinsip dan konsep umum. Seharusnya, kata peneliti di bidang agraria ini, PTSLmenyasar pada lahan-lahan warga yang belum mendapatkan sertiFikat.
“Namun, dalam konteks masalah ini PTSL menyasar pada pengamanan aset Pemkot Bandung, yang tujuannya adalah mengambil rente kepada warga,” jelas Rizki.
Dalam penjelasannya, Rizki mengatakan rente merupakan satu konsep kecil dalam term ekonomi. Di konteks ini warga diwajibkan membayar biaya kepada pemilik tanah dan penguasa tanah dalam aspek relasi produksi. Sertifikasi ini menjadi motif untuk menguasai lahan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh warga.
“Karena berangkat dari asumsi bahwa Pemkot Bandung adalah pemilik aset tanah tersebut dan warga adalah usernya. Padahal warga telah lebih dulu menduduki tanah tersebut,” tutur Rizki.
Kepastian hukum pada bidang pertanahan, lanjut Rizki, tidak bisa dilihat dari banyaknya sertifikat yang telah terbit, melainkan dilihat dari seberapa banyak warga bisa mengakses tanah dan sumber daya agrarianya.
“Perlu dipastikan pula bahwa warga memiliki jaminan atas kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan di atas tanah tersebut,” ungkap Rizki.
Baca Juga: Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Festival Kampung Kota 3: Dago Elos Melawan Klaim Investor dengan Solidaritas
Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga
Kasus Hukum Dago Elos, Hakim Kurang Teliti?
Kasus sengketa tanah Dago Elos banyak menarik perhatian publik. Tidak sedikit kalangan akademik yang meneliti sengketa ini, di antaranya Thalia Dwi Aisyah Putri dan Indri Fogar Susilowati dari Progam studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya.
Dalam kajian ilmiah berjudul “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 109 PK/Pdt/2022 Terkait Penguasaan Tanah Bekas Eigendom Verponding”, Thalia dan Indri menjelaskan sejak Indonesia memberlakukan Undang-undang Pokok Agraria, hak-hak barat atas tanah seperti hak eigendom wajib dikonversikan menjadi hak-hak atas tanah yang sesuai dalam UUPA.
Namun, kenyataanya masih terdapat kasus-kasus menyangkut tanah dengan alas haknya eigendom verponding yang belum dikonversi, seperti tanah Dago Elos. Sehingga, tulis Thalia dan Indri menilai dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 109 PK/Pdt/2022 kurang teliti dalam menerapkan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Majelis hakim berpendapat bahwa Para Penggugat (keluarga Muller) menjadi pihak yang lebih berhak untuk mendaftarkan hak atas tanah obyek sengketa dan Para Tergugat (warga Dago Elos) dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
“Namun, hakim kurang meneliti dan menggali secara menyeluruh terhadap perkara yang terjadi, hakim tidak mempertimbangkan Penggugat I, II, III sebagai bekas pemegang hak selama ini tidak menguasai tanah tersebut, sedangkan Para Tergugat telah menempati/menggarap tanah tersebut lebih dari 30 tahun bahkan ada yang sampai 50 tahun secara turuntemurun, dan terhadap tanah tersebut juga telah dipergunakan untuk sarana umum dengan adanya Terminal Dago dan Kantor Pos,” papar tulis Thalia dan Indri, dikutip dari jurnal ilmiah, diakses Sabtu, 20 Januari 2024.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang Dago Elos dan Sengketa Tanah