• Berita
  • PROFIL KOMUNITAS KARYA SENI TULI: Mendengarkan yang Tak Terdengar

PROFIL KOMUNITAS KARYA SENI TULI: Mendengarkan yang Tak Terdengar

Komunitas Karya Seni Tuli menjadi wadah yang inklusif bagi teman Tuli dan orang-orang yang bisa mendengar. Ada harapan di balik kesunyian.

Tiga teman Tuli berinteraksi di acara Komunitas Karya Seni Tuli Bandung, Minggu, 14 Januari 2024. (Foto: Hizqil Fadl Rohman/BandungBergerak.id)

Penulis Hizqil Fadl Rohman25 Januari 2024


BandungBergerak.id - Refina Nuraini Ultari (25 tahun) duduk di bangku kedai Kisah Manis Dago, Jalan Ir. H. Djuanda Bandung, Minggu, 14 Januari 2024. Juga ada Anastasia Novita Eka (26 tahun) menemaninya. Mereka menunggu kedatangan peserta nongkrong bertajuk “Yuk… Produktif Bersama Karya Seni Tuli”. Para peserta adalah orang-orang yang bisa mendengar (teman Dengar) dan orang-orang yang tidak bisa mendengar (teman Tuli).

Agenda yang berlangsung Minggu, 14 Januari 2024, lalu itu terbuka bagi siapa pun yang ingin membuat karya bersama. Orang yang diberi anugerah pendengaran dan teman Tuli yang terbatas pendengarannya bisa bersama-sama berinteraksi dalam kebersamaan yang hangat.

Agenda nongkrong “Yuk… Produktif Bersama Karya Seni Tuli” digagas Komunitas Karya Seni Tuli (KST). Komunitas ini didirikan Refina Nuraini Ultari, sedangkan Anastasia Novita Eka bertugas sebagai humas komunitas.

Peserta mulai berdatangan baik dari teman Tuli maupun teman Dengar. Mereka saling melambaikan tangan dan bersua. Teman-teman yang hadir datang dari berbagai kalangan, berbagai usia, juga profesi. Meski pertukaran kata banyak diselingi bahasa isyarat dan ekspresi wajah, tanpa suara atau ucapan, kehangatan tetap terpancar dari mereka.

Refina menjelaskan, agenda ini menjadi wadah bagi masyarakat khususnya teman Tuli untuk produktif membuat karya bersama-sama, saling memberikan dukungan atau motivasi satu sama lain.

“Kita bisa maju bersama-sama di KST, dari sini kita dapat membuat teman-teman percaya diri untuk membuat karya. Jadi tidak merasa terhambat, kita berusaha untuk memajukan semua orang di KST” terang Refina, ekspresif, kepada BandungBegerak.id.

Beberapa alat gambar dan cat warna terhampar di atas meja kedai. Sebagian dari teman Tuli terfokus pada secarik kertas untuk meluapkan kreativitas dengan menggambar, sebagian lainnya saling berinteraksi satu sama lain dengan bahasa isyarat.

Salah satu peserta dari teman Dengar, Hanif Abdul Ramadhan (27 tahun) yang baru pertama kali mengikuti agenda Komunitas Karya Seni Tuli, tampak sangat antusias mendalami bahasa isyarat. Baginya, mempelajari bahasa isyarat sangat penting. Dengan begitu ia bisa bermanfaat bagi orang yang memiliki keterbatasan (Tuli). Menurut Hanif, di luar sana mungkin banyak teman Tuli bisa diajak berinteraksi.

Hanif juga kagum dengan KST, komunitas yang hadir untuk teman-teman Tuli. Mereka mampu merangkul teman-teman Tuli dengan agenda-agenda menarik, seperti dengan berkarya bersama.

“KST ini yang membuat saya kagum. Bagaimana melihat perjuangan mereka dalam menyuarakan pendapat melalui karya seni ini, yang harapannya bisa dilirik oleh teman Dengar (masyarakat),” tutur Hanif, sambil menggambar.

Produktif dengan Karya Seni Tuli

Pandangan Refina terpaku pada teman-teman yang ramai saling berinteraksi dan menggambar. Refina selaku pendiri Komunitas Karya Seni Tuli bercerita, ia dan teman-temanya membentuk KST pada 6 Agustus 2023. Walaupun terhitung masih dini, Refina dan teman-temannya optimis komunitas ini dapat menjadi wadah yang produktif, berkelanjutan, sekaligus inklusif atau terbuka bagi teman Tuli maupun teman Dengar.

KST beberapa kali mengadakan kegiatan berupa kolaborasi dengan komunitas lainnya, misalnya dengan mengadakan pelatihan bahasa isyarat di bulan September 2023 lalu. Juga berkolaborasi dengan komunitas Wee Can Draw di bulan Desember 2023, mengadakan acara bertemakan “Wee Can Fest” berupa seminar dan pameran, dan membuat kerajinan berupa Pop Up Card.

Selain menjadi wadah teman-teman Tulis yang inklusif, KST juga hadir dalam memberikan advokasi dan edukasi kepada masyarakat umum, serta pentingnya mempelajari Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) bagi teman Dengar.

“Karena kan Bisindo itu dibuat oleh teman Tuli, sedangkan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) itu dibuat oleh teman dengar. Isyarat SIBI mengikuti SPOK dalam kalimat bahasa Indonesia, sehingga memakan waktu lama, membuat bosan dan tidak ekspresif,” ungkap Refina.

Teman Tuli, Renaya Sarasti sependapat bahwa KST dapat menjadi batu loncatan bagi dirinya, banyak hal yang bisa ia kerjakan untuk terus produktif dan mengejar impiannya.

“Dulu juga impian saya bikin projek, alhamdulilah dapat terwujud di komunitas ini (KST). Dulu juga kurang kenal sama teman Tuli di Bandung, karena sibuk kuliah. Waktu itu kenal Refina jadi banyak kenal juga sama teman Tuli lainnya di KST,” jelas Renaya.

Renaya bercerita perihal target yang ingin ia capai di KST, seperti mengadakan kelas desain, ilustrasi digital, juga workshop melukis. Ia berharap karya yang dihasilkan teman Tuli dapat melanglang buana. “Masih banyak yang ingin saya lakukan,” unkap Renaya.

Impian Renaya saat ini ingin membangun studio bersama teman Tuli. Selain itu, juga beberapa ia targetkan seperti iklan khusus disabilitas dan animasi karya teman Tuli, serta aplikasi visual kuat untuk teman Tuli. Saat ini, ia menekuni pekerjaan sebagai desain grafis selama empat tahun, pengalamannya selama bekerja memicu ambisi untuk mencoba berjuang bersama teman Tuli.

“Masih banyak yang harus saya lakukan untuk mendukung kemajuan teman Tuli,” jelasnya.

Berkolaborasi dengan komunitas lainnya memang dirasa perlu untuk saling berjejaring. Terget lainnya mereka akan membuat acara secara mandiri, yang sepenuhnya diinisiatori oleh KST. Tentunya ini menjadi bahan rundingan bagi teman-teman KST untuk membuat karya-karya hebat di acara selanjutnya dengan tajuk “Merayakan Sunyi”.

“Hal ini agar menjadi bukti bahwa KST pun bisa mandiri, bahwa teman tuli itu bisa mandiri, pastinya mereka mempunyai kemampuan,” timpal Refina.

Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS EARTH HOUR BANDUNG: Gaya Hidup Hemat Listrik Demi Bumi
PROFIL GREAT UPI: Jalan Pedang Pendamping Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
PROFIL KOMUNITAS LIRIKSEKITAR: Para Pemuda yang Menebar Kebaikan

Saling Bercerita dari Keresahan di Kampus

Proses pencarian ilmu diperkuliahan tentunya menjadi hak bagi setiap insan, namun bagi teman Tuli tentunya hal ini tidak mudah mereka tempuh. Refina menempuh pendidikan akademik di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) jurusan Pendidikan Seni Rupa tahun 2018. Selama proses belajar mengajar, Refina merasa kesulitan memahami bahasa dosen yang ia rasa terlalu tinggi untuk dicerna.

“Bahasanya (dosen) tinggi, komunikasi dengan dosen pembimbing juga dirasa sulit, walaupun bisa lewat Whatsapp namun kadang kurang paham juga soalnya bahasanya yang kurang dimengerti oleh teman Tuli,” jelasnya.

Hambatan lain, saat ini ia menghadapi tugas akhir (skripsi). Berbeda dengan teman-temannya, ia harus bergantung pada juru bahasa isyarat (JBI) untuk berkomunikasi langsung dengan dosen pembimbing.

“Kalau bertemu juga harus ada JBI-nya dulu baru bisa berkomunikasi dengan lancar,” ungkapya.

Cerita yang sama dirasakan oleh Renaya. Untuk memahami proses belajar mengajar, ia harus mencari kesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi secara personal atau meminta file materi dari dosen.

“Pasti ada kesulitan ketika berurusan dengan teori yang dibahas, tapi saya berusaha mencari dari perpustakaan. Jika saya masih belum paham dengan teorinya, saya akan terus mencari pemahamannya,” ungkap Renaya.

Renaya yang notabene kuliah di Institute Teknologi Nasional (Itenas) Bandung jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Angkatan 2015, merasa beberapa beban perkuliahannya dapat meringankan dan terbantu dengan pembelajaran visual, seperti pemaparan lewat proyektor.

Teman Tuli lainnya, Gumelar Salahuddin Al-Ghazi juga merasakan keluhan serupa waku pertama kali kulah di UPI tahun 2022. Ia sejurusan dengan Refina, juga kelimpungan untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Namun dengan semangat dan pantang menyerah, ia dapat merangkul teman-temannya satu per satu dan mengajari mereka bahasa isyarat.

“Aku pernah menawarkan (kepada teman Dengar) ‘kamu mau ga belajar bahasa isyarat? Untuk komunikasi sama teman Tuli?’, ‘oh iya boleh-boleh’ (jawab temannya). Teman Dengar pada mau, nah mulai tuh teman Dengar belajar dari A sampai Z. Teman-teman lainnya juga melihat, terus tiga bulan seterusnya teman-teman lainnya meminta untuk diajari bahasa isyarat, dari situ kita bisa berkomunikasi,” jelas Gumelar yang akrab disapa Ael.

Ael yang tergabung di KST selama hampir empat bulan ini, tidak terlepas dari rangkulan Refina. Refina berharap besar agar kampusnya mempunyai aksesibilitas bagi teman Tuli, memahami pendidikan yang layak bagi teman Tuli, dan melakukan program untuk bersosialisasi tentang dunia Tuli serta adanya pelatihan-pelatihan Bisindo di kampus, karena ia bukan satu-satunya yang menjadi teman Tuli.

Komunitas Karya Seni Tuli menjadi harapan cerah Refina dan teman Tuli lainnya. Selain menjadi wadah untuk produktivitas, juga menjadi teman yang merangkul dan menampung keluh kesah dari berbagai teman Tuli lainnya yang sedang berproses di perkuliahan maupun pekerjaan.

*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Hizqil Fadl Rohman atau menyimak artikel lain tentang Teman Difabel

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//