• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #55: Menjadi Relawan Rumah Baca Masyarakat Kali Atas

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #55: Menjadi Relawan Rumah Baca Masyarakat Kali Atas

Relawan bukan hanya untuk orang yang punya waktu senggang. Semua orang bisa menjadi relawan. Terkadang hanya membutuhkan perbuatan-perbuatan sederhana dan kerelaan.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Anak-anak yang antusias datang dan bermain di Rumah Baca Kali Atas di Cicalengka. (Foto: Noor Shalihah)

10 Februari 2024


BandungBergerak.id – Sering kali pekerjaan kerelawanan berkaitan dengan waktu senggang. Premis yang menarik adalah “dia tidak memiliki pekerjaan, lalu menjadi relawan” Seolah pekerjaan relawan adalah pekerjaan untuk seseorang yang hanya memiliki waktu senggang. Pada kenyataannya  bisa  ya bisa tidak.

Hampir setiap pekan, sebagian orang akan menyisihkan waktunya. Satu belokan lagi, aku semakin mendekati Rumah Baca Masyarakat Kali Atas. Dari kejauhan, anak-anak sudah mengenali sebagian berlari ke arahku berebut tangan untuk menggandeng . Ternyata mereka sudah menanti sejak pagi. Sebagian ada yang sudah menanti di Rumah Baca sambil mengerjakan tugas-tugas menggambar dan mewarnai.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #52: Universitas Ma’soem Menjawab Tantangan Zaman di Era Gamangnya Mencari Pekerjaan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #53: Tragedi Kecelakaan Kereta Cicalengka dan Buruknya Transportasi Publik Kita
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #54: Paradoks Pembangunan Jalur Kereta Api Ganda Cicalengka-Bandung

Relawan yang Berbagi Sedikit Waktu Senggang

Dulu, kami dibesarkan dengan orang dewasa yang selalu hadir dalam lingkungan kami. Selalu saja ada waktu senggang di antaranya. Sebab niat baik ataupun kesukaan orang yang lebih dewasa inilah yang membuat kami menjadi berkembang saat ini. Berbeda dengan jaman sekarang yang sulit untuk melebur lintas generasi.

Entah mengapa, sebagian senior di kampung kami ada saja yang meluangkan waktunya untuk membersamai adik-adiknya. Namun hari ini, pemuda dari desa pergi ke kota untuk bekerja. Dorongan mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan menjadi lebih besar daripada mengisi waktu senggang dengan hal-hal lain. Meskipun harus meninggalkan kampung halaman.

Masyarakat juga mengamini hal-hal itu. Tinggal di kampung halaman bukanlah sebuah kemajuan. Terbukti dengan pertanyaan, “Kerja di mana?” Mereka yang keluar daerah dipandang sebagai sesuatu yang sukses dan berhasil. Itulah beberapa alasan yang bisa dilihat apabila relawan adakalanya banyak dan kemudian menghilang secara tiba-tiba. Padahal, apabila ditelisik lebih jauh, di kampung halaman membutuhkan pemuda untuk memajukan kampung halaman agar lebih berkembang. Bukan berkembang menjadi target pasar dan kemudian semuanya rusak.

Kerelawanan selalu memiliki kebingungan sendiri. Relawan bukan hanya untuk orang yang memiliki waktu senggang. Kerelawanan bukan untuk orang yang sudah cukup secara finansial maupun berlebih. Malah banyak relawan yang sama-sama masih berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri. Di saat yang bersamaan, perbuatan-perbuatan yang sederhana dan tak perlu kemampuan tinggi juga diharapkan. Dengan kata lain, bukan hanya dunia kerja, tapi dunia kerelawanan juga memerlukan sebuah pandangan baru untuk menghadapi dunia masa depan.

Seperti halnya membuka perpustakaan. Sebetulnya hanya perlu penjaga perpustakaan. Membuka saja, untuk memperluas akses. Itulah yang dilakukan oleh mending Pak Agus Sopandi. Buka perpustakaan setiap hari, anak-anak datang bermain dan membaca buku sambil ditemani oleh Pak Agus. Pekerjaannya sesederhana membuka perpustakaan. Tapi di saat yang bersamaan ia mengerahkan keseluruhan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki untuk menemani anak-anak ini bermain.

Relawan juga bermacam-macam. Lebih bagus bagi relawan yang sudah menetapkan aspek apa saja yang ia gunakan untuk pekerjaan relawan. Seperti Sanda, lelaki yang kini bekerja di Dinas Komunikasi dan Informasi itu, mengajukan untuk menjadi desain grafis bagi Rumah Baca. Lain halnya Hilal, Sanda memiliki ketertarikan untuk memberikan sumbangsih kemampuannya dalam bidang desain. Ia memang mendedikasikan kemampuannya dalam bidang desain, sehingga dapat membantu kami dalam berbagai bidang desain seperti poster, spanduk, dan desain-desain untuk sosial media.

Adapun Hilal, pemuda yang sedang belajar di semester lima ini, memiliki motivasi untuk melanjutkan perjuangan guru. Ia ingin membuka perpustakaan dan aksesnya kepada anak-anak selanjutnya agar menjadi penerus. Sehingga pekerjaannya pun menjadi lebih spesifik kepada membuka perpustakaan sambil mengisi waktu-waktu senggangnya bahkan mengisi waktunya mengerjakan tugas. Nongkrong di Rumah Baca, tampaknya belum menjadi tren daripada nongkrong di cafe

Adapun Ibu Dewi, sebagai pembina yang meneruskan perjuangan mendiang suaminya. Ia merupakan sosok ibu yang memiliki perhatian lebih kepada masyarakat sekitar. Melalui tangan ajaibnya yang menyulap makanan menjadi enak dilidah, membersamai kami para relawan yang berkunjung ke sana. Pintunya selalu terbuka, baik di waktu senggangnya maupun ia yang selalu menyempatkan waktu meneruskan cita-cita.

Menjadi Relawan Rumah Baca sebagai Hiburan dan Laboratorium

Betapa pun, aktivitas menemani anak-anak merupakan aktivitas yang menghibur. Meskipun memiliki keributan dan kekacauan tersendiri, selalu saja ada yang bisa dipelajari dari mereka.

“Bu, mau menggambar! Bu, mau mewarnai! Bu mau baca!”

Setiap kami datang, anak-anak dengan antusias datang ke RBM dan berkumpul secara otomatis. Anak-anak berkumpul dari yang baru bangun tidur, belum mandi, menjadi tak masalah. Di siang hari, mereka akan pamit pulang untuk sekedar mandi, makan, atau mengambil uang jajan.

Setiap mereka berkata “Bu, mau pulang!” anak-anak itu  akan pulang dan beberapa menit kemudian akan kembali lagi. Mengulang rutinitas yang sejak awal datang: meminta kertas menggambar, mengambil pensil warna, dan kemudian fokus mewarnai atau bahkan mengganggu temannya. Mereka benar-benar menghabiskan waktu di RBM. Meskipun yang lain bermain sepeda, tapi mereka memperlakukan Rumah baca seperti rumahnya sendiri.

Secara tak sengaja, kadang kami melihat beberapa perilaku anak yang di luar kebiasaan. Diajari oleh Bu Albertha, kadang kami meningkatkan kualitas-kualitas anak dengan cara-cara yang dirasa menyenangkan. Serbuan gawai membuat perkembangan motorik anak-anak ini menjadi lebih lambat daripada generasi sebelumnya. Jadi, kami berpikir selain menyediakan buku, perlu menyediakan apa lagi untuk membantu tumbuh kembang mereka?

Lalu, mengapa tidak kami sampaikan kepada orang tua? Masalah yang lebih runyam sedang menanti. Seperti orang tua yang tidak kunjung pulang, ibu yang sering marah-marah, kerap terdengar dalam permasalahan rumahnya. Perlahan, saya bisa mengenali mereka apakah sesuai dengan tumbuh kembangnya atau tidak. Kami bukan Posyandu, hanya saja kami ingin memajukan anak-anak ini supaya lebih sehat, cerdas, dan sesuai dengan kebutuhannya.

Mau tidak mau, secara tidak langsung kami mengakui pernyataan Goenawan Muhammad dalam catatan pinggirnya, “Tampaknya … kerelaan berkorban tak selamanya bisa diharap”.

Segala hal yang terjadi dalam waktu-waktu menjadi relawan merupakan satu stimulus yang alami yang membuat kami lebih banyak belajar. Entah belajar untuk mengorganisasi diri atau belajar untuk memikirkan masa depan anak-anak yang sebelumnya tidak pernah kami kenal. Selamanya, untuk manusia akan bersifat transaksional. Itulah mengapa selalu ada pasang surut kerelawanan. Atau barangkali ada sesuatu yang membuat semangat kerelawanan ini senantiasa ada dan terjaga sepanjang waktunya.

*  Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Noor Shalihah atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//