• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #56: Siapa yang Mengasuh Anak Pekerja?

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #56: Siapa yang Mengasuh Anak Pekerja?

Seorang anggota KPPS kehilangan anaknya yang masih bayi berusia 6 bulan sepulang mengawal pemungutan dan penghitungan suara pada Pemilu 2024.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Mengajari seorang anak berhitung. (Foto: Noor-Shalihah)

19 Februari 2024


BandungBergerak.id – Rabu, 14 Februari 2024. Lebih dari dua belas jam Kriistian, petugas KPPS, mengurusi kegiatan pemilihan umum di desanya, Desa Waluya, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. Jarum jam sudah melewati angka 12, menunjukkan sudah berganti hari. Berarti, hari tersebut sudah tanggal 15 Februari 2024. Niat Kriistian pulang untuk beristirahat, sirna ketika mendapati anaknya yang masih bayi berusia 6 bulan sakit keras. Ia mencoba untuk mencari pertolongan ke rumah sakit. Ternyata usia anaknya untuk tinggal di dunia ini hanya sampai ia pulang bertugas,

Terlepas dari kematian adalah sebuah takdir. Ada sesuatu di benak kami yang perlu ditanyakan, “Siapa yang mengasuh bayi 6 bulan itu, selama ibunya bertugas?” Bahkan, petugas KPPS bertugas jauh hari sebelum hari pemilihan. Bayi yang seharusnya masih bersama ibunya, tentunya akan dititipkan dan didelegasikan pengasuhannya kepada orang lain. Ya, tapi siapa?

Kabar duka dari bagian kerja sebentar seperti itu, merupakan potret kecil dari rutinitas kerja. Lalu, bagi Ibu yang sehari-hari bekerja dan memiliki anak, siapa yang mengasuh anaknya?

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #53: Tragedi Kecelakaan Kereta Cicalengka dan Buruknya Transportasi Publik Kita
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #54: Paradoks Pembangunan Jalur Kereta Api Ganda Cicalengka-Bandung
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #55: Menjadi Relawan Rumah Baca Masyarakat Kali Atas

Mengasuh Anak Sendiri vs. Mengasuh Anak Orang Lain

Anak tetangga kami, seorang anak perempuan usia lima tahun tiba-tiba tidak mau berangkat sekolah. Padahal dia adalah anak yang rajin, pintar, dan semua kebaikan ada padanya. Hampir satu bulan, dia melakukan aksi mogok sekolah. Semua orang berpikir. Wabilkhusus orang tua dan gurunya mencoba menyelidik mengapa anak ini tidak mau sekolah?

Ibunya berinstrospeksi. Anak perempuan ini menunjukkan perilaku seperti menangis berlebihan, tidak mau ditinggal oleh ibu, dan mencari banyak alasan agar tidak ke sekolah. Hal ini terjadi setelah ibunya melakukan pekerjaan barunya: mengasuh anak orang lain.

Setiap pukul 06.00 – 09.00 pagi, ibunya berangkat mengurusi adik bayi dari pemberi kerja. Pemberi kerja memang membutuhkan tenaganya di jam-jam sibuk persiapan sebelum masuk sekolah. Ia memiliki anak empat. Yang terakhir adalah si bayi. Sementara kayak-kakaknya akan ditangani oleh ibunya sendiri. 

Bukan tanpa alasan gadis kecil ini melakukan pemogokan. Sebenarnya ia cemburu kepada anak bayi yang diurusi oleh ibunya di tempat baru. Pikirnya, itu adalah orang lain. Anak gadis itu ingin ditemani ibunya untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Ia ingin mandi, berpakaian, makan, sampai diantar ke sekolah hanya ditemani oleh ibunya. Meskipun ia memiliki kakak atau orang lain yang bisa membantunya, ia tetap tidak mau. Ia mau sekolah dengan satu syarat yakni ditemani ibunya.

Betapa kami tercengang mendengar kabar itu. Orang yang bekerja membantu mengasuh anak orang lain, kemudian meninggalkan anaknya yang masih perlu diasuh oleh dirinya sendiri.

Kami semua terdiam, tak bisa memberikan komentar maupun solusi. Entah mengapa pilihan-pilihan yang datang terkadang begitu rumit. Antara mengurusi anak sendiri atau anak orang lain. Ini berkaitan dengan keberlangsungan hidup.

Tetangga dan Saudara jadi Pengasuh Dadakan

Sebab pengalaman yang menjadikan mereka atau waktu luang yang memungkinkan untuk menunggui anak-anak, maka orang sekitar memandang siapa pun yang pernah memiliki anak atau memiliki waktu luang bisa mengasuh anak. Anggapan kemurahan hati orang tua, menjadikan anak yang telah memiliki anak menitipkan anaknya kepada orang tuanya.

Sewaktu ibuku masih membuka toko, tetangga kami sering membawa cucunya jajan di tempat kami. Di sela-sela memilih jajanan, tetangga ini akan bercerita tentang sederet aturan mengasuh dari orang tuanya seperti (1) tidak boleh jajan permen, ciki, dan coklat, (2) tidak boleh bermain gawai terlalu lama, (3) harus tidur siang, dan sederet aturan lainnya tampaknya mengekang.

Walhasil, ketika orang tua yang baru pulang, neneknya akan kena omelan-omelan dari anak yang telah dibesarkannya untuk membesarkan anaknya. Percekcokan tak terhindarkan. Selama bertahun-tahun, tetangga ini hidup dengan mengomel tentang kelelahan-kelelahan mengurus cucunya. Berkali-kali ia hendak berhenti mengurusi cucunya. Tapi tetap saja ia masih membersamai cucunya.

Selain nenek, ada juga yang berpotensi menjadi pengasuh dadakan yaitu tetangga yang punya waktu luang. Biasanya jenis tetangga ini akan direkomendasikan sebagai pengasuh karena sudah pensiun atau sudah tidak memiliki tanggungan. Katanya, hitung-hitung mengisi waktu luang mengisi masa tua.

Mengasuh anak bukan seperti perkara memelihara kucing atau binatang peliharaan lainnya. Perlu energi dan tenaga yang penuh untuk menemani tumbuh kembangnya. Ada sesuatu yang perlu dipenuhi selain kebutuhan fisik, yaitu kebutuhan batin dan jiwa. Mengawasi perkembangan, mengikuti, mengasuh, bermain, tentu memerlukan tenaga yang lebih bahkan pengetahuan yang lebih.

Mendelegasikan Peran Pengasuhan

Selama ini, tradisi mengasuh anak dianggap tugas alamiah bagi manusia. Setiap orang tua memiliki naluri untuk memberikan pemeliharaan, pengasuhan, dan hal-hal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup makhluk hidup. Kurang lebih begitu apa yang diutarakan Dawkin dalam bukunya The Selfish Gene. Ada naluri untuk melindungi, memberikan makanan, kenyamanan dan memberikan pengorbanan entah bagaimana bentuknya kepada generasi selanjutnya.

Pekerjaan pengasuhan biasanya lebih dititikberatkan kepada perempuan, di mana ia merupakan kasih pertama bagi anaknya. Sebab perempuan identik dengan pekerjaan domestik dan melakukan pengurusan anak. Terkadang, pekerjaan yang bersifat caring atau perawatan tidak dihitung sebagai pekerjaan yang dinilai berharga atau dipandang tidak produktif.

Pengasuhan dipandang menjadi tidak penting sebab tidak menghasilkan uang. Jadi, sepertinya sebagian orang beranggapan bahwa ketika anak diberi makan, ia akan tumbuh dengan sendirinya dan baik dengan sendirinya. Bertumbuh besar mungkin iya, namun apakah akan menjadi manusia yang baik? Itulah yang jadi soalan.

Dalam tradisi Arab kuno, banyak bayi-bayi yang lahir di kota yang memang dititipkan kepada ibu asuh di kampung. Dengan pertimbangan, kondisi Arab pedalaman lebih baik, sehingga dapat mendidik anak-anak mereka dengan perilaku yang baik. Selain itu, kondisi alam di pedalaman memang masih asri, tidak seperti yang ada di kota.

Tradisi menitipkan anak dan mengasuh anak dalam keluarga lain sepertinya belum menjadi kebiasaan. Begitu juga kriteria pemilihan pengasuh untuk anak. Salah satunya adalah memiliki perilaku yang baik, memiliki pengetahuan tentang pengasuhan dan tumbuh kembang anak.

Jadi, siapa yang seharusnya mengasuh anak yang orang tuanya pekerja? Tetangga, Orang lain yang dibayar, orang lain yang melakukannya secara sukarela, atau orang tuanya sendiri sambil membawa anaknya ke tempat kerja –itu pun jika tempat kerjanya tidak berbahaya dan pemberi kerja memfasilitasinya. Sebuah pertanyaan yang kadang luput dari perbincangan ketika orang tua mulai bekerja keduanya.

Sudah saatnya merumuskan bagaimana cara paling efektif untuk mengatasi kesenjangan  pengasuhan untuk orang tua yang bekerja. Selain kepedulian dari berbagai pihak, tentu bagi insan yang telah dan akan memiliki anak perlu mempertimbangkan keberadaan anak dan kesejahteraan anak. Pilihan yang rumit, tapi memang perlu dipikirkan secara matang.

* Kebetulan tanggal 20 Februari diperingati sebagai Hari Pekerja Nasional

**  Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Noor Shalihah atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//